Search
Close this search box.

[Opini] Pendidikan Kesehatan Seksual Bagi Anak Muda Indonesia: Untuk Apa?

pendidikan-seksOleh: Wida Puspitosari

Suarakita.org – Ketika anak muda tumbuh, mereka akan menghadapi masa-masa penting terkait keputusan menjalin hubungan, seksualitas dan perilaku seksual. Keputusan yang mereka buat tentu akan berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan di dalam hidupnya. Setiap anak muda pada dasarnya memiliki hak untuk mengatur kesehatan hidup dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mempersiapkan generasi penerusnya melalui pemberian pendidikan kesehatan seksual yang komprehensif, dimana hal ini bertujuan membantu mereka dalam membuat keputusan yang sehat pula. Kendati demikian, tidak cukup rasanya jika pendidikan kesehatan seksual ini hanya melibatkan hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang dianggap pantang (penahanan nafsu) dan wacana kontrasepsi dalam membantu mereka menghindari kehamilan yang tak diinginkan atau penularan penyakit seksual. Pendidikan kesehatan seksual yang komprehensif semestinya melampaui itu. Pendidikan seksual harus memberikan informasi yang jujur dan patut umur untuk membantu anak muda dalam mengambil keputusan personal demi kesehatan dan kesejahteraannya di masa depan. Di bawah ini adalah argumen saya menyoal pendidikan seksual yang efektif, tantangan yang dihadapi dan bagaimana hal tersebut bisa berdampak pada kehidupan anak muda di Indonesia.

 

Apa itu Pendidikan Kesehatan Seksual?

Melalui sebuah artikel yang diunggah oleh situs Advocates For Youth, pendidikan seksual adalah perbekalan informasi tentang tumbuh kembang tubuh, jenis kelamin, seksualitas dan jalinan hubungan, yang bersamaan dengan skill-building bermaksud untuk membantu anak muda dalam mengkomunikasikan dan membuat keputusan terkait pilihan dan kesehatan seksual mereka. Pendidikan seksual pada dasarnya mesti dialami oleh anak muda di berbagai tingkat pendidikan melalui informasi yang pantas dengan mempertimbangkan perkembangan diri dan latar belakang kulturnya. Pendidikan seksual umumnya mencakup pubertas dan reproduksi, kepantangan, kontrasepsi, jalinan hubungan, pencegahan kekerasan seksual, imaji kebertubuhan, identitas gender dan orientasi seksual. Pendidikan seksual juga sepatutnya diinformasikan bedasarkan bukti dan data guna mencegah kehamilan yang tak diinginkan dan infeksi transmisi seksual – serta memberikan penghargaan kepada hak anak muda untuk memutuskan dan mendapatkan informasi yang jujur. Dan yang tidak boleh ketinggalan, pendidikan seksual wajib memperlakukan perkembangan seksual sebagai sesuatu yang normal dan natural dalam hidup manusia.

 

Mengapa Pendidikan Kesehatan Seksual Penting Bagi Kesehatan dan Kesejahteraan Anak Muda?

Pendidikan kesehatan seksual komprehensif mencakup rentangan topik-topik yang dapat diberikan kepada anak muda di berbagai level pendidikan. Bersama dengan dukungan orang tua dan masyarakat, pendidikan kesehatan seksual dapat membantu mereka dalam menghindari konsekuensi buruk kesehatan, dimana setiap tahun di Indonesia terdapat ribuan perempuan usia 15-49 tahun mengalami kehamilan tidak diinginkan dan anak muda (20-24 tahun) dengan rasio 17% dari 6144 orang, telah terinfeksi HIV*. Pendidikan seksual dalam hal ini mengajarkan upaya-upaya bagi mereka untuk melindungi dirinya sendiri. Hal yang tidak kalah penting yang ditawarkan oleh pendidikan seksual komprehensif ialah memungkinkan adanya komunikasi menyoal seksualitas dan kesehatan seksual. Pada umumnya, selama hidup, banyak orang akan mengkomunikasikan seksualitas kepada orang tua, kawan dan pasangannya. Bilamana pembelajaran mengenai kontrasepsi serta aktivitas seksual yang belum siap mereka lakukan didiskusikan secara bebas dan terbuka, maka hal ini akan melindungi mereka selama hidupnya. Pendidikan seksual komprehensif juga mengajarkan pemahaman tentang pola-pola hubungan yang sehat dan tak sehat. Dalam rangka menjaga hubungan yang sehat, tentu saja membutuhkan kemampuan – yang banyak anak muda belum mengetahuinya: seperti komunikasi positif, manajemen konflik dan penegosiasian keputusan seputar aktivitas seksual. Ketidakcukupan atas pemahaman ini akan beresiko menciptakan hubungan yang tidak sehat dan kekerasan di antara mereka – dimana satu dari sepuluhnya dicatat mengalami kekerasan fisik dan verbal dari pasangan masing-masing. Pendidikan seksual komprehensif dalam jangka panjang tidak hanya mampu mengajarkan dasar-dasar pubertas, namun juga menanamkan pengertian pada anak muda bahwa mereka memiliki hak untuk memutuskan perangai apa yang hendak dilakukan dan berani mengatakan tidak pada aktivitas seksual yang tidak dikehendaki. Sehinga, peraasan kepemilikan penuh atas nilai dan otonomi tubuh dapat berkontribusi pada imaji kebertubuhan itu sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, pendidikan seksual yang baik akan menolong seseorang untuk mengerti hal-hal apa yang memicu kejahatan seksual serta mampu menunjukkan rasa hormat terhadap semua orang dengan berbagai latar belakang tanpa meliyankan orientasi seksual atau identitas gendernya. Dalam beberapa dekade terakhir, sebetulnya kita telah mengalami beberapa langkah yang cukup progresif terkait persamaan hak atas kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dan Undang-Undang penghapusan kekerasan. Namun, anak muda yang berdaulat sebagai bagian dari LGBT sendiri hingga kini rupanya masih mengalami diskriminasi dan pelecehan baik secara fisik maupun mental.

 

Tantangan Pendidikan Kesehatan Seksual Komprehensif di Indonesia

Dunia dimana banyak anak muda tumbuh sekarang sudah benar-benar sangat berbeda dari generasi kakek neneknya. Hal ini rupanya juga berlaku di Indonesia. Jika dibandingkan dengan iklim sosial generasi pendahulunya, anak muda Indonesia dewasa ini lebih memiliki peluang-peluang namun juga tantangan. Mereka bisa jadi lebih mandiri dan memiliki akses yang kian meningkat terhadap televisi, media sosial dan internet, serta memasuki masa pubertas lebih awal dan lebih sehat dengan menunda pernikahan dan kehamilan usia dini – namun lebih mungkin melakukan aktivitas seksual sebelum menikah.

Dalam merespon perubahan sosial yang besar ini, peneliti, pendidik, pembuat kebijakan dan orang tua sepantasnya mulai menaruh perhatian pada pendidikan seksualitas komprehensif untuk menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks. Di lain sisi, kita rupanya juga patut bangga pada kualitas dan kuantitas penelitian evaluasi terkait pendidikan seksualitas yang secara dramatis meningkat selama dekade terakhir, yang cukup membantu anak muda untuk menunda aktivitas seksual tidak aman. Paradoksnya, fakta akan tetap menjadi fakta bahwa anak muda Indonesia dewasa ini tidak mendapatkan dasar pendidikan seksual sekalipun. Dalam mengimplementasikan pendidikan kesehatan seksual komprehensif memang memunculkan suatu tantangan tersediri. Untuk menanggapi tantangan ini, dibutuhkan respon lebih kuat dari pemerintah, mayarakat, keluarga dan anak muda sendiri dalam kebijakan dan program pendidikan seksual. Hal penting yang juga patut digarisbawahi di sini ialah kebijakan kesehatan seksual komprehensif harus didasarkan pada hak asasi manusia, kebutuhan serta pengalaman anak muda itu sendiri.

Tantangan lain yang tak kalah penting untuk dipikirkan bersama adalah upaya pemerintah Indonesia yang ingin mengaplikasikan pendidikan seksual dengan pendekatan ‘memperkuat pantangan’ dan menegakkan kesalehan. Tidak ada yang salah dengan pantangan dan tidak ada yang salah dengan menagakkan kesalehan selama perkara tersebut terlekat pada diri dan privasi. Namun, konteks dunia yang kian berubah dan iklim global yang mendera jauh lebih memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi kesehatan seksual anak muda Indonesia. Dalam beberapa dekade terakhir, khususnya di Indonesia, fokus dari pendidikan seksual – setidaknya diantara politikus dan kumpulan orang saleh – dan beberapa perancang kebijakan – mencoba untuk meyakinkan anak muda untuk menunda aktivitas seksual sampai menikah. Pendekatan ini menaruh premisnya bahwa aktivitas seks sebelum menikah adalah masalah dan secara moral salah. Program “abstinence-only-until-marriage” ini berfokus pada manfaat yang ‘terduga’ jika anak muda tidak atau menahan untuk melakukan aktivitas seksual. Padahal program ini sebetulnya mampu membelokkan tujuan dan secara aktif memperburuk keefektifan perilaku seks yang aman. Tidak ada yang salah disini, namun jika kita meminjam untaian kalimat David Millband (presiden International Rescue Committee) “the higher you build the wall, the more you empower the smugglers” – akan membuat kita sadar jika semakin pendidikan kesehatan seksual ditabukan (diekslusifkan), maka akan memberikan peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membelokkan ‘narasi’ dan melanggengkan ‘hegemoni mayoritarianisme’. Konsekuensi lebih jauh dari pentabuan pendidikan seksual ialah ‘pasifisme’ – yang saya artikan sebagai proses pembentukan indivi-individu (dalam hal ini anak muda) yang akan pasif dengan tubuh dan masa depan seksualitasnya sendiri, serta sulit menaruh hormat pada kebertubuhan orang lain yang berbeda dengannya. Tentu, hal ini akan membahayakan iklim sosial di masa depan, dimana kekerasan dan pelecehan berbasis seksual akan sering terjadi. Oleh sebab itu, pentinglah sekiranya pendidikan seksual secara komprehensif mulai dicanangkan dan didorong kesuksesannya agar kelak ketika generasi kita ketika melihat orang lain yang berbeda tidak cepat-cepat berhasrat untuk menguasai, tapi melindungi.

 

* Laporan Perkembangan HIV/AIDS triwulan 4 tahun 2015 oleh Kementerian Kesehatan.