Oleh: Aris Kurniawan*
Suarakita.org- Bagaimanakah masyarakat kita memandang keragaman orientasi seksual? Barangkali jawaban dari pertanyaan itu dapat kita lihat melalui dunia sastra kita. Seperti kita tahu, tema lesbian gay biseksual dan transgender (LGBT) mulai banyak diangkat dalam dunia sastra kita sekurangnya sejak dua dekade terakhir. Mulai banyak diangkat, artinya tema LGBT sebenarnya sudah pernah muncul dalam sastra kita bahkan jauh lebih lama lagi. Dalam kumpulan cerpen karya S.N. Ratmana, salah satu cerpennya yang berjudul Sang Professor (1974) memunculkan tokoh gay. Tokoh gay itu tak lain sang professor sendiri.
Suatu malam, Sang professor mencumbui Ramli salah satu murid sang profesor yang sangat mengagumi dan memujanya. Ramli merasa shock, betapa professor yang sangat dikaguminya berprilaku ‘menyimpang’. Kekagumanya kemudian berbalik menjadi kebencian dan rasa jijik kepada sang professor. Meskipun mahasiswa itu akhirnya memaafkan ketika professor yang dikaguminya itu berada dalam keranda yang diusung dan diiringkan pengantar yang begitu panjang ke peristirahatan terakhir. Namun permaafaan si mahasiswa muncul bukan oleh kesadaran bahwa orientasi seksual sang professor sebagai sesuatu keberbedaan yang juga memiliki hak yang samadengan yang umum, melainkan sebagai sebuah ‘kedaifannya’ sebagai manusia. Sikap si mahasiswa tampaknya mewakili pandangan pengarangnya yang menempatkan gay sebagai sebuah ketidaksempurnaan manusia.
Inilah agaknya yang membedakan tema LGBT yang muncul dalam dunia sastra sebelum dekade 90-an dengan sesudah dekade tersebut. Tema-tema LGBT yang muncul sesudah era tersebut melihat LGBT dengan cara yang lebih terbuka, santai, bahkan semacam pendobrakan. Ini bisa kita lihat dalam novel Saman Ayu Utami, Supernova Dee, Garis Tepi Seorang Lesbian Herlinatiens, beberapa novel Remy Sylado serta sejumlah novel lainnya. Lantas bagaimankah perkembangannya pada karya-karya sastra yang lahir dari penulis-penulis yang paling terkini?
Belum lama ini kita mendapatkan sebuah kumpulan cerpen karya Norman Erikson Pasaribu berjudul “Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu”. Hampir seluruh cerpen dalam buku ini mengetengahkan kisah murung tokoh-tokohnya yang gay dengan aneka persoalan yang menelikung mereka terkait orientasi seksualnya. Dalam tulisan pendek ini, baiklah saya hanya akan mengulas salah satu saja yang bagi saya menarik, berjudul Tentang Mengganti Seprai dan Sarung Bantal.
Dalam cerpen ini kita bertemu aku penutur yang setia merawat luka karena ditolak dan dianggap tak lazim terkait tubuh dan orientasi seksualnya. Aku hanya bisa mencintai, menjumpai, dan menjaga kamu melalui cerita-cerita yang ditulisnya. Sementara pada saat yang sama, kamu sekalipun ingin membalas cinta aku berupaya meredamnya atau menyangkalnya lantaran stigma yang akan segera ditempelkan ke jidat kamu apabila membalas cinta aku. Akibatnya kamu jadi pemarah, dan bersikap kasar.
“Apakah kamu tak tahu bahwa kamu sebetulnya tidak kasar. Kamu hanya kesepian,”.
Aku adalah seorang lelaki yang terlahir dengan tubuh feminine. Aku merasa hancur oleh sikap dan penolakan lingkungan terhadap tubuh aku yang dianggap tidak lazim. “Seharusnya laki-laki tidak seperti itu. Seharusnya seperti ini…” Sebagai pembaca kita melihat kehancuran yang dialami aku tidak semata-mata oleh penolakan lingkungan melainkan juga oleh cara aku memandang tubuhnya sendiri. Aku secara diam-diam juga justru mengakui adanya ‘kesalahan’ diri dan tubuhnya. Hal ini ditunjukkan dalam penuturuan bahwa aku seharusnya mati bersama saudara kembarnya saat mereka dilahirkan. Namun sesatu yang tak aku kenal menjejalkan aku ke dalam tubuh saudara kembarnya yang perempuan. Aku yang laki-laki kemudian hidup dalam tubuh saudara kembarnya.
Aku agaknya mewakili cara pandang dan sikap pengarangnya yang belum mampu menerima homoseksualitas sebagai sesuatu yang terberi, dan oleh karenanya harus diterima dan diberikan hak-haknya sebagaimana kepada kaum heteroseksual. Dari titik ini, barangkali dapat disimpulkan bahwa, kemurungan dan pada taraf tertentu kefrustrasian, dalam fiksi-fiksi LGBT bukan hanya desakan dari luar kaum LGBT (baca: masyarakat) tapi juga datang dari kaum LGBT sendiri. Akibatnya, tema-tema LGBT yang hadir dalam sastra Indonesia terkini alih-alih mampu mengangkat isu homoseksualitas pada ranah ilmiah, tapi justru menariknya kembali ke dalam sudut-sudut sejarah dan hanya muncul lewat gumaman-gumaman penuh keluh kesah dan kegamangan yang mengharu biru.
*Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, reportase, esai untuk sejumlah penerbitan. Bukunya yang telah terbit Lagu Cinta untuk Tuhan (Kumpulan cerpen, Logung Pustaka, 2005,) Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, Komunitas Kampung Djiwa, 2007). Ayah tiga anak ini sehari-hari bekerja sebagai wartawan freelance untuk sejumlah media Jakarta.