Oleh: Samuel Joseph*
SuaraKita.org – Sering kali kita hanya mendengar apa yang ingin kita dengar. Tapi bagaimana dengan suara yang sengaja dibungkam demi kepentingan kelompok tertentu? Pertanyaan yang sangat reflektif. Buku yang berjudul Mendengar Suara Lesbian Indonesia menarik perhatian saya. Buku ini mengajak kita untuk mendengar mereka yang selama ini tidak diberi ruang bersuara, yaitu perempuan lesbian di Indonesia. Melalui kisah nyata dan analisis yang tajam, buku ini membuka mata pembaca tentang ketidakadilan hukum dan sosial yang mereka alami, meski mereka adalah warga negara yang sama seperti kita.
Buku ini menyampaikan kenyataan pahit tentang bagaimana negara belum hadir secara adil bagi kelompok lesbian. Perlindungan hukum yang seharusnya dijamin oleh konstitusi ternyata belum dirasakan oleh mereka. Banyak peraturan yang secara tidak langsung justru memojokkan kelompok LGBT, termasuk lesbian, karena mengikuti cara pandang mayoritas yang menganggap hanya hubungan heteroseksual sebagai sesuatu yang normal.
Penulis buku ini menjelaskan bahwa hukum di Indonesia masih sering membedakan kelompok masyarakat berdasarkan nilai-nilai sosial yang tidak inklusif. Misalnya, Undang-Undang Anti-Pornografi kerap digunakan untuk menstigma ekspresi gender atau orientasi seksual yang berbeda. Padahal, hukum seharusnya hadir untuk semua, bukan hanya untuk kelompok mayoritas.
Selain itu, buku ini juga menyoroti bagaimana paradigma heteronormatif. Heteronormatif adalah produk budaya yang seksis, bias, tak setara dan condong pada diskriminasi serta kekerasan structural (Website lakilakibaru). Heteronormatif juga sudah tertanam dalam struktur sosial dan hukum kita. Apalagi Indonesia juga masih memiliki budaya patriarki yang masih sangat kuat (Afdholy 2019, 66). Akibatnya, perempuan lesbian menjadi sasaran kekerasan, intimidasi, dan perlakuan tidak adil. Mereka dianggap melawan norma, padahal mereka hanya ingin menjalani hidup dengan aman dan bermartabat.
Yang menarik, buku ini tidak hanya mengangkat masalah, tetapi juga memberi arah solusi. Penulis mendorong adanya kerja sama antara aktivis HAM dan para korban pelanggaran untuk memperjuangkan keadilan. Ia juga mengajak pembaca membangun jaringan solidaritas yang lebih luas, melibatkan siapa pun yang peduli pada nilai kemanusiaan dan hak asasi. Sebagai penunjang, data dari Amnesty International menunjukkan bahwa kelompok LGBT di Indonesia masih menjadi salah satu yang paling rentan terhadap diskriminasi dan kekerasan (Amnesty International Indonesia, 2023). Hal ini semakin memperkuat pentingnya isi buku ini.
Saya merasa buku ini penting untuk dibaca, apalagi oleh generasi muda seperti saya. Penulis tidak memaksa pembaca untuk langsung setuju, tetapi mengajak kita berpikir ulang tentang apa itu keadilan dan siapa yang berhak menerimanya. Terlepas dari benar atau salah, setiap manusia memiliki hak keadilan.
Detail Buku
ISBN : 978-602-95116-0-4
Penulis : Marching, Soe Tjun dkk.
Penerbit : Ardhanary Institute.
Tahun penerbitan : 2013
Tempat Penerbitan : –
Tebal : 259 halaman
Daftar Acuan
Afdholy, Nadya. Negosiasi Heteronormativitas Pada Performativitas Transgender Dalam Film Lovely Man. Vol. 19 no. 1 (Mei 2019), 66. http://dx.doi.org/10.30996/parafrase.v19i1.2368.
Amnesty International Indonesia, Laporan Tahunan 2022–2023 (Jakarta: Amnesty International Indonesia, 2023), 26. Diakses 4 Juni 2025. https://www.amnesty.org/en/documents/pol10/5670/2023/id/.
lakilakibaru. “Heteronormatifitas Sebagai Bentuk Ketidaksetaraan Gender.” Diakses 4 Juni 2025. https://lakilakibaru.or.id/heteronormatifitas-sebagai-bentuk-ketidaksetaraan-gender/.
*Penulis adalah mahasiswa STFT Jakarta yang tengah menjalani program Social Immersion di Suara Kita.