Oleh: Labora Avrina Pakpahan*
SuaraKita.org – Perbedaan merupakan suatu hal yang melekat dalam kehidupan. Setiap individu pasti mempunyai keragaman yang membuat timbulnya perbedaan, termasuk seksualitas. Keragaman seksualitas kerap kali kita temukan, tidak hanya di Indonesia, hampir di seluruh dunia kita dapat menemukan individu dengan keragaman seksualitas. Individu dengan keragaman seksualitas sering kali mendapat diskriminasi dari masyarakat sekitar. Hal ini memperlihatkan bahwa keragaman seksualitas merupakan suatu keragaman yang sulit untuk diterima oleh masyarakat.
Di bulan Juni, kelompok LGBT dan masyarakat yang pro-LGBT merayakan Pride Month, di mana mereka bebas mengekspresikan diri mereka yang beragam dan penuh perbedaan. Bulan ini seharusnya menjadi bulan yang penting dan menjadi ruang bagi setiap orang, terutama kelompok LGBT, untuk mengekspresikan diri mereka sesuai dengan keinginannya. Namun, tampaknya Indonesia masih menolak keras kebebasan ini dan tetap mendiskriminasi kelompok LGBT. Hal ini terlihat dari berbagai kasus pemecatan terhadap kaum LGBT dan larangan merayakan pride month di Indonesia, yang menunjukkan diskriminasi terhadap mereka (Website DW 2022)
Dalam buku berjudul Seksualitas dan Agama, penulis memaparkan bagaimana pandangan masyarakat terhadap LGBT. Mayoritas masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa LGBT merupakan perbuatan “dosa” dan “menyimpang”. Pandangan ini mengakibatkan identitas gender dan orientasi seksual kaum LGBT dianggap tidak perlu dilindungi. Selain itu, pandangan ini diceritakan secara turun temurun yang membuat kelompok LGBT kerap kali dijadikan sebagai sasaran dari “moral agama”.
Penulis juga menjelaskan mengenai berbagai pandangan agama terhadap keragaman seksualitas yang ada. Tiap agama memiliki pandangan yang berbeda. Jika kita melihat LGBT dengan kacamata agama Kristen, kita dapat melihat bahwa Tuhan hadir bagi mereka yang termarginalkan, termasuk LGBT. Namun dalam realitasnya, banyak umat Kristen yang mengabaikan mereka dengan menggunakan teks Alkitab sebagai dasarnya. Meskipun begitu, masih ada beberapa organisasi Kristen yang turut membantu LGBT dalam menyuarakan dan memperjuangkan hak mereka, seperti PGI.
Dalam Alkitab, memang diceritakan mengenai kisah Lot yang melindungi tamunya yang homoseksual dari orang-orang yang membenci perbuatan homoseksual. Akibatnya, perilaku homoseksual menyebar dan dinormalisasikan. Hal ini menyebabkan Tuhan mengutuk mereka (Zebua dkk. 2024, 109). Namun, bukan berarti kita jadi menggunakan kisah tersebut untuk mendiskriminasi kaum LGBT. Kita perlu mengingat bahwa Yesus datang tidak hanya untuk menebus dosa umat manusia, tetapi juga merangkul dan memapah mereka yang rapuh dan termarginalkan. Namun, pandangan buruk masyarakat terhadap LGBT yang diturunkan secara turun temurun membuat umat Kristen menutup mata terhadap fakta tersebut. Mereka malah ikut mendiskriminasi dan menghakimi kaum LGBT.
Di sisi lain, agama Buddha lebih terbuka dengan LGBT. Menurut mereka, seseorang tidak bisa memilih dia ingin dilahirkan dengan orientasi seksual, agama, dan ras sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu, mereka cukup terbuka dengan LGBT, asalkan mereka dapat merepresentasikan cinta mereka dengan kasih sayang, hormat, dan tanpa kekerasan.
Agama Islam mempunyai pandangan yang berbeda terhadap LGBT. Tentu tidak semua umat Islam pro terhadap LGBT, meski dalam Islam, LGBT memiliki sejarah. Sejarah LGBT dalam Islam sedikit berbeda dengan Kristen. Dalam Islam, diceritakan tentang nabi Luth AS yang melakukan perbuatan homoseksual. Namun, ada beberapa tafsir Alquran yang mengajak umat Islam untuk toleransi dan tidak langsung menghukum mereka. Sebaliknya, kita harus menerima, memahami, dan mengenal mereka lebih dahulu, sebagai sesama umat Islam.
Dengan berbagai sudut pandang agama ini, penulis mengajak pembaca untuk memberikan dukungan mereka terhadap kaum LGBT dalam memperjuangkan hak mereka. Selain itu, buku ini juga membuka wawasan dan pengetahuan baru mengenai LGBT dari sudut pandang agama, yang selama ini mungkin jarang disinggung, sehingga tidak kita ketahui informasinya. Buku ini mengajak pembaca untuk melihat LGBT tidak hanya sebelah mata, melainkan secara utuh.
Kita juga perlu mengingat bahwa agama tidak mengajarkan kita untuk melepas rasa kasih dan kemanusiaan kita kepada sesama. Dengan melakukan diskriminasi di berbagai tempat beribadah, kita malah membuat mereka semakin jauh dari Tuhan. Sebaliknya, agama mengajak kita untuk bersama-sama melangkah dan saling menguatkan, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kita adalah manusia yang rapuh, termasuk mereka yang LGBT. Hanya karena perbedaan orientasi seksual, kita sering kali mendiskriminasi kaum LGBT tanpa melihat bagaimana perasaan mereka. Oleh karena itu, tidak sedikit dari kaum LGBT yang mengalami depresi karena diskriminasi dari sekitar.
Keluarga yang dianggap bisa menerima nyatanya tidak segan-segan menolak mereka. Gereja yang seharusnya menjadi tempat aman malah menyudutkan mereka dengan berbagai ceramah yang menunjukkan penolakan terhadap LGBT. Jadi, tidak heran jika banyak studi yang mengatakan bahwa individu LGBT merupakan individu yang memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami depresi. Karena, mereka sering kali mendapat penolakan dari keluarga, teman, dan gereja, yang membuat mereka mengalami kesepian dan isolasi sosial (Hasibuan dan Masyhuri 2024, 18-9).
Lewat buku ini, pembaca diajak untuk memperluas wawasan dan melihat kondisi kaum LGBT, tidak hanya sebagai “mereka yang berdosa dan tidak bermoral”, melainkan sebagai “sesama umat manusia”. Selain itu, menggunakan kacamata agama dari sisi lain juga membantu pembaca untuk melihat kaum LGBT tidak hanya dari sisi “dosa”, tetapi juga dari sisi “kasih dan kemanusiaan”. Menegur dengan kasih lebih baik daripada menegur dengan kekerasan.
Buku ini mempunyai gaya bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti. Menurut saya, kosakata yang dipilih penulis cocok untuk pembaca, sehingga pembaca tidak kebingungan ketika membaca buku ini. Selain itu, penulis juga memberikan penjelasan yang mendetail jika ada kosakata yang mungkin asing di mata pembaca. Pembaca juga diberikan pengetahuan baru, terutama tentang SOGIESC, yang mungkin jarang orang ketahui. Selain itu, penulis juga memberikan pandangannya dalam melihat LGBT dengan menggunakan kacamata agama, baik itu Kristen, Islam, dan Buddha. Namun, setiap sub babnya tidak dibahas secara detail, sehingga pembaca kurang mendapat pemahaman yang lebih mendalam tentang sub bab tersebut.
Detail Buku:
ISBN: 978-602-0708-48-5
Penulis: Abdul Muiz Ghazali, dkk.
Penerbit: YIFoS Indonesia
Tahun Penerbitan: 2019
Tempat Penerbitan: Yogyakarta
Tebal: 232 halaman
DAFTAR ACUAN
“Pride Month: Potret Kebebasan LGBT di Indonesia.” Diakses 10 Juni 2025.
https://www.dw.com/id/pride-month-potret-kebebasan-lgbt-di-indonesia/a-62050251
Hasibuan, Nadila Sasinda dan Masyhuri. “Tinjauan Literature: Dampak Stigma dan Diskriminasi terhadap Well-being dan Kesehatan Mental pada Kelompok LGBTQ+.” Jurnal Ilmiah Psikologi Insani Vol. 9, No. 11 (November, 2024): 12-22. https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jipsi/article/view/5638/6151
Zebua, Kasieli, et. al. “Studi Kasus terhadap Gerakan LGBT dalam Perspektif Etika Kristen.” Jurnal Teologi Injili Vol. 4, No. 2 (Desember, 2024): 99-113. https://jurnal.sttati.ac.id/index.php/jti/article/view/144/40
*Penulis adalah mahasiswa STFT Jakarta yang tengah menjalani program Social Immersion di Suara Kita.