Search
Close this search box.

Tragedi Kekerasan Seksual JIS Dalam Berbagai Dimensi : Moral Bangsa Indonesia, Kelas Sosial dan Pengetahuan Seksual Aparat Negara

Penulis : Tanti Noor Said*

Suarakita.org- Tragedi kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta International School baru-baru ini memicu keprihatinan dan perhatian yang luar biasa dari masyarakat Indonesia dan ekspatriat.

Tragedi ini menghiasi headline dalam setiap surat kabar, media online dan televisi. Kasus ini bergulir secara gencar, diiringi dengan berita-berita kekerasan seksual yang terkesan terjadi secara beruntun seperti halnya virus atau trend. Sejumlah aktifis gerakan perempuan dan LGBTIQ dengan serentak mengibarkan status Jakarta darurat kekerasan seksual.

Namun kasus ini jauh lebih rumit dan problematis dari sebuah tindak pidana kekerasan seksual. Beberapa media juga mengulas kasus ini dengan judul dan sudut pandang yang sangat provokatif dan tidak bertanggungjawab. Tribunnews dan Republika adalah dua media yang dengan sangat jelas menyebut tentang bahaya pedofilia dan homoseksual sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak. Kasus tragis ini telah dibahas secara gegabah dan ada tendensi untuk dipergunakan dalam rangka mengusung agenda mendiskreditkan kelompok yang selama ini jelas sudah dimarginalkan posisinya, yaitu mereka yang hidup secara terbuka sebagai gay.

Pada saat memahami kasus perkosaan atau kekerasan seksual yang terjadi dalam konteks Indonesia, kita dapat juga memperhatikan banyak aspek dan permasalahan sosial yang terkait. Kasus kekerasan seksual adalah permasalahan yang sangat sensitif dalam sebuah masyarakat yang mengusung kata “tabu” sebagai garda dan kata kunci untuk menjaga tradisi kesopanan dan harga diri. Aspek-aspek yang tidak boleh luput dalam memahami kasus ini adalah aspek hirarki sosial dan kesenjangan ekonomi yang sangat besar antara para pelaku dan orang tua murid serta JIS sebagai lembaga tempat mereka bekerja. Faktor-faktor tersebut akan menjadi penentu yang sangat penting bagaimana lembaga-lembaga pemerintah sekolah, media dan publik akan bereaksi pada kasus ini.

Institusi negara dan referensi moral
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh mengungkap tentang perilaku intim yang tidak biasa antara siswa JIS dan guru pada Tribunnews. Ia juga mengatakan bahwa dirinya telah menerima laporan tentang kontak fisik yang ada antara guru dan siswa, dan juga interaksi yang sangat intim antara siswa perempuan dan laki-laki. Selain itu, Asrorun juga mengkritik cara berpakaian siswa perempuan di JIS yang menurutnya terlalu seksi. Ia mengaitkan cara berpakaian dan perilaku siswa tersebut dengan “nilai Barat.”

Asrorun juga menyebutkan bahwa ia menerima laporan tentang seorang guru gay yang bekerja di JIS. Kemudian juru bicara Polda Metro Jaya, Kombes Rikwanto juga mengatakan : “Tersangka adalah petugas kebersihan yang dapat dikategorikan sebagai gay .” Juru bicara kepolisian ini menambahkan kategorisasi gay sebagai “penyakit mental.”

Yang perlu kita ingat sekali lagi adalah bahwa KPAI dan Polda Metro Jaya adalah dua institusi penting dan mendapatkan kepercayaan dari publik dalam menangani kasus ini. Orang tua korban dan masyarakat mengandalkan kedua institusi ini untuk menuntaskan kasus kekerasan seksual dan membawa para pelaku ke pengadilan.

Alih-alih memfokuskan permasalahan ini kepada perlindungan siswa dari bahaya predator seksual, KPAI dan polisi justru membuat pernyataan yang menyalahkan perilaku siswa dan guru JIS, serta mendeskriditkan guru JIS yang berorientasi gay. Pernyataan yang menyebut pedofilia dan gay memiliki kesamaan dan gay merupakan sebuah penyakit mental adalah bentuk ketidaktahuan dan juga kecerobohan seorang aparat negara, yang diberi kepercayaan untuk melindungi masyarakatnya. Bagaimana mereka dapat dipercaya untuk melindungi masyarakat tanpa melihat orientasi seksualnya, jika para petinggi ini bahkan tidak mengerti perbedaan antara pedofilia dan homoseksual?

Satu-satunya pernyataan yang seharusnya dibuat oleh KPAI kepada publik adalah bahwa orang dewasa seharusnya tidak diperbolehkan untuk melakukan kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak, ataupun bentuk kekerasan lainnya, terlepas dari pakaian yang dikenakan si anak, maupun perilaku anak murid JIS tersebut.

Tindakan dan sikap Suara Kita terhadap KPAI dan Polda
Suara Kita adalah sebuah organisasi berkomitmen dan bekerja selama beberapa tahun terakhir ini dalam isu keadilan dan keberagaman jender di indonesia. Di bawah kepemimpinan Hartoyo, Suara Kita juga sangat aktif dalam mempromosikan keadilan bagi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Suara Kita, sedari awal bergulirnya kasus ini, menyatakan keprihatinannya terhadap tragedi JIS – dan juga tentang upaya nyata oleh beberapa pihak yang terlibat untuk menghubungkan masalah kekerasan seksual ini dengan homoseksualitas.

Pada tanggal 17 April, Suara Kita mengirimkan surat protes terbuka kepada Kombes Rikwanto. Dalam surat ini, Suara Kita menuntut Polda Metro Jaya untuk memprioritaskan menghukum para pelaku dengan tegas dan menekankan empati yang dalam pada korban. Suara kita juga menjelaskan dalam surat bahwa tindakan pedofilia harus dilihat sebagai tindakan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa pada anak-anak. Dengan demikian, pedofil tidak memiliki arti yang sama dengan homoseksual. Makna homoseksual adalah laki-laki atau perempuan yang secara seksual dan emosional tertarik pada orang dari jenis kelamin yang sama.
Surat protes ini, yang juga ditujukan kepada KPAI mengungkapkan keinginan untuk menghindari kesalah kaprahan informasi yang akan berakibat pada timbulnya kebencian dan kekerasan terhadap mereka yang homoseksual atau tidak menganut heteronormatif. Yang lebih penting, Suara Kita juga menekankan bahwa pendidikan seksual yang baik yang dapat dimulai sejak dini dapat memecahkan banyak masalah tentang jender dan seksualitas yang ada di negara ini.

Status sosial korban, pelaku dan institusi bergengsi
Tidak dapat kita pungkiri, masih banyak kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual di tanah air kita, bukan hanya baru-baru ini, tapi sejak lama. Namun, kasus-kasus tersebut tidak mendapatkan perhatian dari media dan publik sebesar kasus yang menimpa JIS.
Korban perkosaan selama ini beragam, perempuan , waria dan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Mungkin mereka bukanlah korban yang memiliki latar belakang sosial elit. Namun derita secara emosional, psikis dan fisik tidaklah berbeda dan sama nyatanya. Pengalaman traumatis korban hanya diabaikan saja di negeri ini. Karena mereka hanya dapat diam, tidak memiliki uang untuk membayar pengacara mahal. Keberadaan kasus mereka hanya menjadi daftar laporan, jika tidak disimpan dalam trauma besar seumur hidup korban.

JIS dikenal sebagai sekolah untuk anak-anak diplomat dan pengusaha asing. Posisi penting JIS sebagai institusi elit, menyebabkan sekolah ini mendapatkan perhatian yang luar biasa, tidak hanya dari media , tetapi juga polisi, pemerintah dan masyarakat . Tidak butuh waktu lama bagi polisi untuk menahan sejumlah tersangka. Tersangka yang adalah petugas kebersihan yang berpenghasilan rendah tidak akan mampu untuk membayar pengacara. Bahkan, salah satu tersangka telah bunuh diri dalam keadaan mencurigakan saat dalam tahanan polisi. Peristiwa kekerasan seksual dapat mengarah pada cara penanganan yang berbeda jika keadaan ekonomi pelaku kekerasan seksual lebih baik dari korban, dimana hal ini yang seringkali terjadi.

Pendidikan seksual bagi anak
Kita terbiasa bersembunyi di balik norma-norma dan nilai-nilai yang kita percaya bisa menyelamatkan kita dan anak-anak kita dari kekerasan seksual, kehamilan yang tidak diinginkan dan infeksi penyakit menular seksual. Kita sangat bangga dengan tradisi yang kita pikir dapat melindungi diri kita dari kebebasan yang melanggar moral.

Tapi kita tidak mungkin dapat melindungi dan mengawasi anak-anak kita selama 24 jam per hari. Mereka juga akan berada di sebuah titik dalam hidup mereka yang dihadapkan dengan pertanyaan tentang seksualitas dan mungkin dengan perilaku seksual orang lain terhadap mereka yang tidak mereka sadari atau bahkan tidak mereka inginkan. Namun malu dan tabu, menjadi sebuah perangkap bagi mereka untuk menentukan sendiri apa yang mereka inginkan. Hal ini juga menghambat mereka untuk bersikap terbuka pada orang-orang yang harusnya dapat mereka percaya.

Kita-kita ini, orang tua, negara , lembaga pendidikan – atau masyarakat pada umumnya – harusnya dapat memberikan anak-anak tersebut pemahaman yang lebih baik mengenai pengetahuan akan tubuh mereka, sentuhan yang diinginkan dan tidak, yang bahaya dan tidak. Jika sampai waktunya nanti, kita dapat menyediakan kepada mereka informasi bagaimana melakukan hubungan seks yang aman dan mempertahankan diri dari perilaku seks orang lain yang tidak mereka inginkan. Karena seks adalah kawan dari kasih dan keindahan. Ia juga merepresentasikan kebebasan (liberation) tubuh seseorang. Kemudian, kita mungkin hanya dapat berharap, bahwa semua kasus pelecehan seksual dapat ditangani dengan adil, terlepas dari status sosial korban, dengan sistem penegakan hukum yang mampu membedakan antara homoseksualitas dan pedofilia.

Catatan: Artikel ini sudah diterbitkan versi bahasa Inggrisnya oleh Jakarta Globe.

*Penulis adalah antropolog dengan area penelitian : Globalisasi, transnationalism, jender dan seksualitas