Search
Close this search box.

Toleransi sebagai sebuah bom waktu dan simbol ketidaksetaraan

Oleh : Tanti Noor Said*
Suarakita.org- Apa yang kita selama ini bayangkan jika kita menyebut negara-negara Barat, yang kita oposisikan oleh Timur, yang kita sebut sebagai kiblat dari bangsa kita? Adalah negara yang modern, maju dan terbuka dengan keberagaman dalam berbagai bentuk. Berbagai bentuk tersebut termasuk jender dan orientasi seksual. Asumsi yang problematis.

Asumsi ini problematis, karena kita menafikan keberagaman yang ada dalam setiap masyarakat. Belum lagi, tidak semua negara yang ada di belahan Eropa, yang berkulit putih (maaf harus menyebut sebuah ras) atau yang tidak menganut agama sebagai dasar berpijak dari negaranya adalah terbuka untuk keberagaman. Belum lagi, tidak semua orang yang ada di dalam sebuah masyarakat memiliki pemikiran yang sama, bahwa semua orang dilahirkan dengan hak yang sama, meskipun dengan perbedaan-perbedaannya.

Selain itu, sikap toleransi sebagai sebuah kata kunci untuk menyikapi keberagaman terbukti sebagai bom waktu yang dapat meledak kapanpun. Saya telah lama meninggalkan kata ini. Apa yang berbahaya dari kata toleransi? Toleransi adalah sebuah kata yang digunakan oleh mayoritas untuk tidak melakukan tindakan melarang ataupun tindakan yang mengancam keberadaan kaum minoritas yang tidak sesuai dengan mereka atau tidak disukainya.

Ketika kita berbicara mengenai “hidup bersama dalam keberagaman,” apapun bentuk keberagamannya, kita akan dengan mudah menggunakan kata toleransi ini. Misalnya, kita harus toleransi terhadap orang-orang yang beragama lain. Atau, kita juga kerap mendengar, “negara-negara barat adalah negara-negara yang menganut sikap toleransi.”

Apa yang terjadi saat ini pada kaum homoseksual di negara Rusia? Rusia memberikan denda dan hukuman kepada pelaku homoseksual. Kaum homoseksual juga mengalami kekerasan, baik fisik maupun non-fisik. Artinya, toleransi yang pernah diberikan itu sekarang ditarik, karena tidak sesuai dengan kepentingan politik Presiden Poetin dan pendukungnya. Negarapun tidak lagi menjadi payung pelindung bagi kaum homoseksual di Rusia. Toleransi adalah pemberian, seperti juga ijin, yang ketika saatnya tidak cocok atau saatnya bergeseran dengan kepentingan politik pemegang dominasi, ia akan ditarik kembali.

Australia, salah satu negara yang dahulu “menerima” (kata yang sarat dengan makna keterpaksaan) pengungsi LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender)  yang membutuhkan suaka, kini juga mulai merubah sikapnya. Australia bahkan akan mengirim para pengungsi dengan kapal ke Papua Nugini, dimana homoseksual dijatuhi hukuman 14 tahun penjara.

Semua peristiwa ini tentu membuat kita terkejut. Saya makin menyadari, toleransi bukanlah sikap yang ideal untuk menyikapi keberagaman, karena mengandung makna memberi dan diberi. Ada yang diatas, yaitu yang memberi dan yang dibawah, yaitu yang diberi. Toleransi merupakan bukti tidak diakuinya kesetaraan. Selama kita berada dalam posisi mayoritas dan sejalan dengan pemegang kekuasaan, maka posisi kita akan aman. Namun, jika kita ada di posisi yang berlawanan dan tidak sesuai dengan penguasa, kita hanya menunggu, kapan hak kita tersebut diambil kembali.

Petisi ini bisa ditanda tangani, mungkin kita membantu saudara-saudara kita yang saat ini terancam posisinya. Atau sekedar dukungan pada mereka. Salam kesetaraan!

https://www.allout.org/en/actions/australian-home-taf

*Penulis adalah Antropolog lulusan program Master Antropologi Budaya dan Sosiologi Masyarakat Non-Barat Universiteit van Amsterdam dan kontributor Our Voice