Oleh: Lena Tama*
SuaraKita.org – Bicara soal sejarah pergerakan Minoritas Gender dan Seksual di Indonesia, ada baiknya kita menoleh ke belakang sejenak dan mengenal lebih dekat rumah kita sendiri, Suara Kita. Untuk itu, kami berdialog dengan dua orang pendiri Perkumpulan Suara Kita yaitu Hartoyo dan Arvi Bastian, serta meringkas pengalaman dan harapan mereka dalam narasi ini.
Detik awal pembentukan Our Voice
Sebelum berganti nama menjadi Suara Kita, Our Voice bukanlah organisasi pertama atau kedua di Indonesia yang berpusat pada advokasi Minoritas Gender dan Seksual; julukan tersebut sudah dimiliki Gaya Nusantara yang sudah berdiri sejak tahun 1970-an hingga saat ini. Akan tetapi, isu yang diangkat kala itu masih berpusat pada isu HIV saja hingga tahun 2000-an dan hanya menitikberatkan teman-teman kelompok populasi kunci seperti Transpuan dan LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki).
Karena kurangnya perhatian terhadap isu advokasi Minoritas Gender dan Seksual selain pada isu kesehatan, muncul inisiatif dari Hartoyo yang telah aktif sebagai aktivis sejak awal tahun 2000-an dan Arvi yang sebelumnya bekerja sebagai konselor psikologi, yang kemudian berkenalan dengan Hartoyo.
“Tahun 2007, saya bertemu mas Hartoyo yang baru pindah dari Aceh. Saya belajar banyak dari beliau tentang pergerakan sosial serta identitas dan fleksibilitasnya. Setelah itu, saya, Hartoyo, dan tiga orang lainnya mulai membicarakan tentang pembentukan organisasi kami tahun 2008,” jelas Arvi.
Tiga orang lainnya yang turut bergabung dan membentuk lima anggota pertama Our Voice adalah Aldo, Verdi, dan mendiang Hari Kurniawan. Perkumpulan pertama kali berlangsung di Komunitas Utan Kayu di Matraman, Jakarta Timur dan kemudian berkembang menjadi pertemuan rutin di berbagai lokasi di Jakarta.
“Kami biasanya mencari kafe yang buka 24 jam karena sering kumpul sampai jam dua atau tiga malam, kadang sampai subuh untuk membahas draft organisasi, visi-misi, dan AD-ART organisasi; semuanya secara sukarela,” lanjut Arvi.
Dari diskusi rutin tersebut, lahirlah organisasi bernama “Our Voice” dengan struktur keanggotaan Hartoyo sebagai ketua, Hari Kurniawan selaku Wakil, Aldo sebagai Bendahara, Arvi dan Verdi sebagai pengawas.
Beragam aktivitas awal Our Voice
Pada awal pembentukannya, Our Voice dirancang menjadi organisasi Minoritas Gender dan Seksual yang mengadvokasikan isu-isu non-kesehatan. Our Voice kemudian merancang program untuk isu-isu pendidikan, ekonomi, kesetaraan sosial, politik tubuh, dan advokasi Minoritas Gender dan Seksual.
Advokasi pertama yang dilakukan Our Voice beberapa bulan setelah pembentukannya pada tahun 2008 dengan mengangkat kasus pembunuh berantai Very Idham Henyansyah a.k.a. Ryan “Jombang,” seorang homoseksual yang telah membunuh 11 orang. Our Voice hadir dengan argumen kontra pada masyarakat umum yang masih mengaitkan homoseksualitas dengan tindak kriminal. Our Voice tampil di depan siaran televisi nasional untuk membela komunitas Minoritas Gender dan Seksual yang terdampak.
“Kami berargumen bahwa identitas gender & orientasi seksual itu tidak berbanding lurus dengan tindak kejahatan seseorang. Waktu itu, kami semua kecuali Aldo tampil di SCTV, RCTI, ANTV. Setelah itu, tujuan kami tercapai berkat terbentuknya pemahaman tersebut di masyarakat,” ujar Arvi.
Usai advokasi tersebut, para anggota Our Voice kerap beraktivitas di markas besar mereka di daerah Mampang, Jakarta Selatan. Sedikit demi sedikit, jumlah orang yang turut berkumpul mulai bertambah dan para calon anggota tersebut diangkat menjadi anggota tetap setiap lima tahun sekali, berdasarkan ketentuan pada AD-ART saat itu.
Karena kesibukan, Arvi mulai jarang berkumpul dengan para anggotanya hingga akhirnya vakum. Sementara itu, Hartoyo terus menjabat sebagai ketua organisasi hingga tahun 2020 dan menjalankan beragam program untuk Minoritas Gender dan Seksual, termasuk mengubah nama organisasi menjadi Suara Kita (SK).
“Agenda kami banyak pendidikan melalui diskusi, pelatihan, dan tulisan pada situs kami SuaraKita.org. Wacana dalam beragam bentuk tadi sangat kuat di organisasi pada saat itu karena Suara Kita memang mau mengisi soal isu-isu wacana politik tubuh,” ujar Hartoyo.
Membandingkan konteks perjuangan Minoritas Gender dan Seksual pada tahun 2008 dengan saat ini
Lima belas tahun telah berlalu sejak berdirinya Our Voice. Dalam rentang waktu tersebut, banyak konteks perjuangan serta rintangan dalam advokasi Minoritas Gender dan Seksual yang kini nampak berbeda.
“Perjuangan kami saat itu berat karena memulai dari nol. Generasi muda saat ini sudah bisa menuai hasil kerja keras kami, jadi tantangannya saat ini adalah mempertahankan advokasi yang sudah berjalan,” ujar Arvi.
Akan tetapi, ada beberapa kelebihan dan kekurangan spesifik yang dirasakan para anggota awal ketika melihat advokasi saat ini. Dari segi bentuk dan skala ruang lingkup penyebaran advokasi, generasi muda sekarang sangat terbantu oleh beragam media sosial seperti Twitter (X), Facebook, TikTok, Instagram, dan YouTube, sedangkan teman-teman Our Voice pada tahun 2008 baru memiliki Facebook dan situs online.
Selain itu, ada juga perbedaan respons masyarakat terhadap komunitas Minoritas Gender dan Seksual. Meski pada tahun 2000-an mereka masih melontarkan ujaran-ujaran kebencian, masyarakat cenderung lebih terbuka. Menurut Hartoyo, “Awalnya isu Minoritas Gender dan Seksual belum dianggap sebagai isu politik dan tidak dianggap ancaman publik, jadi dulu bisa demo bawa bendera pelangi.”
Hal ini berbeda dengan persepsi masyarakat saat ini yang cenderung lebih agresif dan negatif terhadap isu-isu Minoritas Gender dan Seksual, tidak jarang juga karena mengaitkannya dengan agenda politik. Ditambah lagi, media sosial semakin membuka akses untuk advokasi Minoritas Gender dan Seksual serta ujaran-ujaran kebenciannya juga yang frekuensinya sangat banyak dan mudah viral.
“Isu Minoritas Gender dan Seksual kini lebih diketahui publik dan dianggap sebagai gerakan politik atau ancaman, maka advokasi sekarang jadi lebih hati-hati atas potensi ancaman dan kekerasan lebih mungkin terjadi sekarang. Politisasi Minoritas Gender dan Seksual sekarang sangat kuat,” lanjutnya.
Harapan para pendiri Suara Kita untuk perjuangan advokasi Minoritas Gender dan Seksual
Suara Kita telah melalui banyak rintangan sejak awal terbentuknya organisasi 15 tahun yang lalu, dan perubahan nama menjadi Suara Kita yang dilakukan 10 tahun yang lalu. Meski persepsi masyarakat serta perkembangan teknologi kian berubah, perjuangan kita untuk kesetaraan dan advokasi Minoritas Gender dan Seksual kian berlanjut. Sebagai dua orang pendiri Perkumpulan Suara Kita, Arvi dan Hartoyo memiliki banyak harapan untuk para anggota generasi muda.
“Hal paling penting adalah tumbuh kemandirian dalam setiap orang yang berbarengan dengan budaya sukarela yang positif. Untuk bisa membantu orang lain, kita harus matang terlebih dahulu dari berbagai sisi,” ujar Arvi.
Sementara itu, Hartoyo berharap, “Suara Kita bisa terus berkreasi dan kreatif untuk melakukan pendidikan bagi publik dan komunitas dengan menggunakan beragam media sosial, kemudian membangun jaringan dari beragam isu untuk memperkaya konsep dan pertemanan. Dalam kondisi sekarang advokasi kebijakan bisa dimulai dari hal-hal yang paling dibutuhkan komunitas dan realistis kita lakukan, misalnya soal E-KTP maupun jaminan sosial.”
Terima kasih banyak kepada Arvi dan Hartoyo yang memulai perjuangan kesetaraan hak-hak dan advokasi Minoritas Gender dan Seksual selama lebih dari satu dekade dengan membentuk Our Voice yang kini kita kenal sebagai Suara Kita. Penulis sebagai generasi muda penerus berharap dapat mempertahankan perjuangan advokasi Minoritas Gender dan Seksual dan dapat membantu lebih banyak lagi teman-teman queer di luar sana, meski rintangan yang ada di depan mata tampak lebih banyak dan berat.
*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ.