Search
Close this search box.

Persekusi di Rumah Sendiri? Rencanakan Kerja dalam Mengadapinya

Oleh: Lena Tama*

SuaraKita.org – Keluarga bukan hanya tempat tumbuh dan berkembangnya anak, tetapi juga bisa menjadi lingkungan yang tidak aman dan berbahaya bagi mereka. Sayangnya, hal ini kerap terjadi kepada kawan-kawan ragam gender & seksual yang masih menggantungkan hidup kepada keluarga. Biasanya, keluarganya menentang identitas sehingga mereka harus menghadapi risiko pergi dari rumah sendiri.

Oleh karena itu, butuh banyak persiapan untuk menghadapi situasi seperti itu. Salah satunya dengan membangun diri yang mandiri secara keuangan sejak dini, baik itu dengan menabung atau bekerja. Dengan menumbuhkan kemandirian, kawan-kawan dapat membekali diri untuk berjuang menjalani kehidupan yang jauh dari keluarga.

Gita (nama samaran), sosok lesbian berusia 33 tahun, telah menghadapi peristiwa serupa pada tahun 2016 akibat persekusi keluarga yang dihadapinya. Namun, berkat kemandiriannya keuangan dan ditambah dukungan dari komunitas pada saat itu, ia dapat bertahan ketika pergi dari rumah hingga sekarang.

Usai lulus kuliah, Gita mulai bekerja sebagai staf audit kepatuhan untuk sebuah perusahaan retail di Jakarta Timur pada tahun 2015. Selama 10 tahun lebih, Gita cukup aman dan nyaman bekerja di perusahaan ini. Selain mendapatkan fasilitas kerja secara semestinya seperti asuransi kesehatan dan cuti libur, rekan-rekan kerjanya pun (mungkin) menerima identitasnya.

“Anak-anak (staf) baru ada yang belum tahu ataupun menerima. Ada satu atau dua orang yang masih mempermasalahkan identitasku. Tetapi, teman-teman kerja dan manajer lamaku mendukung dan membelaku. Jadi kerjaku bisa tetap produktif dan aman,” ucapnya.

Kisah Kabur dari Rumah
Pada tahun 2016 saat masih tinggal dengan keluarga, Gita mendapat status pekerjaan tetap di tempat bekerjanya. Saat itu, ia menjalin hubungan dengan pasangannya secara diam-diam dan belum melela (coming out) kepada keluarganya terkait identitas dirinya.

Namun, suatu malam, orang tua Gita menguping percakapan antara ia dan pasangan melalui telepon di kamarnya. Seketika itu pula keluarganya menanyakan orientasi seksualnya dan menyerukan keresahan atas identitasnya.

Situasi di rumah Gita menjadi makin keruh seiring waktu berjalan. Ia bercerita, “Bapak dan ibu merasa saya mempermalukan kehormatan keluarga. Sampai mereka bawa-bawa masalah standar moral dan tuntutan untuk punya keturunan.”

“Puncaknya adalah ancaman dari bapak. Beliau menyita sepeda motorku. Sementara ibuku mulai berhenti menyiapkan makan siang untuk dibawa ke kantor,” lanjutnya.

Di tengah menghadapi ujaran kebencian dari keluarga, Gita mulai belajar lebih dekat soal SOGIESC (orientasi seksual, identitas & ekspresi gender, karakteristik seks) dan komunitas kawan-kawan ragam gender & seksual yang dapat memberikan bantuan. Saat itu juga, ia menyimpulkan bahwa keluarganya tidak mau ia tinggal di rumah lagi. Ia pun memutuskan perlu kabur dari rumah.

Gita pergi dari rumah pukul 3 dini hari. Namun, keluarganya mengadang dan berhasil merenggut ponsel pribadi yang ia beli sendiri. Walau begitu, ia tetap berhasil kabur ke tempat berlindung komunitasnya. Lalu, ia menghubungi pasangannya dan menyampaikan bahwa ia belum bisa kembali bekerja karena situasi darurat.

Beberapa hari kemudian, Gita kembali bekerja di kantor. Namun, masalahnya dengan keluarga belum selesai. Bapak dan ibunya mendatangi kantor dan menuntutnya untuk pulang ke rumah dan keluar dari tempat kerja itu.

Setelah menjalani proses mediasi antara keluarga Gita dengan komunitasnya, akhirnya ketegangan ini mulai mereda, walaupun hubungan mereka sudah tidak sama lagi. Ia mengaku, “Sekarang sudah ada komunikasi lagi dengan keluarga, tapi tidak terlalu akrab seperti dulu.”

Pentingnya Pekerjaan dan Membangun Kemandirian
Berkaca dari pengalaman ini, Gita menyadari bahwa pekerjaan dan keamanannya secara finansial ini adalah salah satu faktor penting. Hal tersebut dapat membantunya bertahan hidup melewati pengalamannya tadi. Pasalnya, ia memiliki tabungan pribadi dan sudah berstatus pegawai tetap ketika harus pergi dari rumah.

Oleh karena itu, bagi kawan-kawan minoritas seperti ragam gender & seksual, Gita merasa bahwa uang punya nilai yang sangat kuat. Cara apapun yang aman dan legal untuk mendapatkan uang adalah kesempatan besar untuk membangun kemandirian. Contoh untuk menempuh hal tersebut seperti menabung uang saku pemberian orang tua maupun bekerja.

Gita pun menambahkan, “Tuntutan orang tua yang tinggi terhadap anaknya di keluarga ‘tuh akan sangat melemahkan kemampuan anak mereka untuk mandiri dan mengetahui karir atau kemampuan yang mereka bisa. Hasilnya, anak jadi sangat bergantung sama orang tua dan terjadi ketimpangan kuasa di rumah.”

Namun, Gita juga menyadari bahwa ia keluar dari rumah dalam kondisi yang jauh sangat beruntung. Sebab, ia memiliki modal pekerjaan, tabungan, maupun gelar pendidikan tinggi. Terlebih, keluarga pasangannya sangat mendukung dan menerima dirinya.

Sementara itu, masih banyak kawan ragam gender & seksual lainnya yang pergi dari rumah tanpa pekerjaan, tabungan, maupun gelar pendidikan tinggi. Kemudian, ada juga kawan-kawan remaja yang masih sekolah dan bergantung pada orang tua, tetapi selalu takut di ambang persekusi apabila keluarga mengetahui identitas mereka.

Gita sendiri merasa peristiwa tahun 2016 yang lalu terjadi saat dirinya kurang bijak dalam menghadapi keluarganya.

“Melela pada saat itu kurang tepat. Beberapa masalahku saat itu, barang-barang berharga yang kubeli banyak yang disita orang tua. Jadi, walaupun aku sudah bekerja, situasiku belum stabil,” Gita bercerita.

Bagi Gita, situasi di rumah saat itu akan lebih baik bila ia tidak melela dan tetap menuruti kemauan keluarganya. Dengan begitu, ia dapat merencanakan strategi untuk tinggal terpisah lebih baik dengan persiapan yang lebih matang.

Hal ini juga ingin ia tekankan bagi kawan-kawan ragam gender & seksual lainnya yang saat ini menghadapi masalah serupa. 

Ia mengatakan, “Berbohong kepada diri sendiri itu sakit, tapi dengan kita menuruti kemauan orang tua dan tidak asal melela, kita bisa mengumpulkan modal hidup yang lebih baik. Nantinya bisa punya tabungan, punya gelar pendidikan tinggi. Lalu, akhirnya punya kerjaan yang layak supaya kita lepas dari keluarga.”

Pandangan Gita terkait melela di saat yang tepat juga dirasakan oleh kawan-kawan lainnya, baik itu di keluarga sendiri maupun lingkungan pekerjaannya. Contohnya, kawan-kawan pengajar pun sampai sekarang masih bergelut dengan budaya masyarakat yang memaksa mereka untuk memalsukan diri dan berbohong agar bisa tetap menjalankan profesi mereka.

Namun, terkadang kawan-kawan remaja ragam gender & seksual juga menghadapi masalah yang berada di luar kendali mereka. Contohnya, tertangkap oleh keluarga dan seketika dikeluarkan dari rumah, meskipun tidak melela kepada keluarga mereka.

Dalam hal ini, Gita tetap menekankan kepada mereka untuk segera mencari pekerjaan apapun demi bertahan hidup, asalkan aman dan tanpa efek buruk jangka panjang. Kemudian, ia menyarankan kawan-kawan untuk mencari bantuan komunitas dan bantuan hukum, bila mereka membutuhkannya.

“Perjalanan dan perjuangan ini sangat panjang. Kita harus punya persiapan dan keteguhan untuk sadar bahwa hidup akan lebih keras ke depannya,” ucap Gita.

Membangun kesadaran atas kemandirian finansial di kalangan komunitas
Pengalaman Gita bukan hanya menjadi pelajaran berharga, tetapi juga tamparan realita. Karena, kasus yang ia alami masih sering terjadi di antara kawan-kawan ragam gender & seksual, terutama kawan-kawan remaja.

Oleh karena itu, ia berharap kawan-kawan maupun komunitas bisa membangun rasa kemandirian. Ia kembali menekankan pentingnya memiliki tabungan dan/atau pekerjaan bila harus menghadapi persekusi dari keluarga sendiri.

Teruntuk kawan-kawan remaja yang masih sekolah, Gita berharap mereka dapat berkamuflase dan tidak gegabah melela kepada keluarganya. Hal tersebut bertujuan agar mereka bisa mengumpulkan modal hidup untuk masa depan, terlepas dari pahitnya keputusan itu.

Ia menambahkan lagi, “Mau tidak mau, kita kasih makan ego mereka, tetapi jangan turuti semua kemauan orang tua. Kayak harus menikah dan punya anak seperti yang mereka mau. Kita turuti mereka, tetapi masih dengan pertimbangan prinsip dan identitas yang menopang kita. Paling tidak, sampai punya gelar sarjana, punya tabungan yang cukup, dan punya kerjaan.”

Terakhir, Gita merasa kasus seperti ini masih terjadi karena kuatnya ujaran kebencian dan ketidaktahuan di lingkungan keluarga masyarakat. Terutama, kurangnya kemauan keluarga untuk berpihak dan menerima identitas anak mereka. Oleh karena itu, ia sangat ingin kawan-kawan juga lebih siap merancang rencana untuk menghadapi ketidakberpihakan ini.

“Mengubah pemikiran orang lain itu sulit. Apalagi keluarga sendiri yang hubungan dan komunikasinya memang sudah kurang baik. Jadi, perlu ada perubahan pola pikir kita sendiri. Kuncinya adalah berstrategi. Baik itu untuk bertahan hidup dengan keluarga, memberi pemahaman kepada mereka, ataupun pergi dari rumah,” pesan Gita.

 

*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ