Search
Close this search box.

[RESENSI] Sirkus: Ketika Sang Liyan Diberi Panggung Cerita

Oleh : Teguh Iman Affandi

Suarakita.org- Sirkus kerap identik dengan sebuah seni pertunjukan yang menampilkan atraksi komedi, akrobatik, bahkan ekstrim. Tidak hanya itu,  sirkus pun kerap menampilkan sosok-sosok ganjil, aneh, yang melampaui manusia biasa. Kumpulan sosok itu dipajang layaknya benda dalam pameran. Mereka dibuat bisu.  Namun berbeda dengan Sirkus, kumpulan cerita pendek,  karya Abi Ardianda, penulis asal kota kembang, Bandung.  

Abi Ardianda membuat sirkus menjadi wadah atau forum untuk semua orang terbuang, terkucilkan, dianggap ganjil,  maju menceritakan kisahnya. Sosok perempuan korban perkosaan, perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, orang dengan masalah kesehatan mental, mewarnai cerita-cerita dalam naskah ini.  Bahkan sosok paling kontroversial di Indonesia sejak tahun 2016 yakni gay dan transgender pun ada di buku ini.

Di antara dua puluh lebih cerita pendek di buku Sirkus, ada tiga kisah yang menarasikan tokoh  LGBT. Tiga kisah tersebut adalah; Aroma Mint Di Bibir Jan, Mata Warna Merah Jambu, dan Halo.  Kesemua cerita tersebut menuliskan tokoh LGBT yang punya agensi.  Individu LGBT yang berani menantang apapun di depannya agar hidupnya lebih baik.

Kisah Aroma Mint Di Bibir Jan, menceritaka sepasang gay  bernama Jamal dan Jan. Jamal adalah orang Indonesia yang menikah dengan Jan, seorang warga negara Belanda.  Kisah cinta sesama jenis antara orang Indonesia dengan orang kulit putih mungkin sudah sangat pasaran. Namun bila pembaca mau membaca lebih mendalam, naskah ini bukan sekedar kisah cinta. Kisah Jamal yang tidak nyaman dengan Jan yang sangat ekspresif menunjukkan kemesraan. Akan tetapi  naskah ini memotret diskriminasi paling halus dalam masyarakat. Mungkin di level negara, diskriminasi terhadap kelompok LGBT bukan menjadi soal karena negara sudah membuat aturan yang tegas akan hal itu. Akan tetapi bagaimana situasinya di level masyarakat ketika tindakan diskriminasi bermertamorfosis menjadi bentuk yang paling halus?

“Jan, bisakah kau menjemput cucu Maggie tanpa berangkulan dengan kekasihmu? Anakku bertanya-tanya mengenai pemandangan dua lelaki yang berangkulan”,  keluh Tizzy, salah satu ibu dari murid di tempat cucu dari Maggie bersekolah.

Seorang Ibu komplain kepada Jan hanya karena Jan merangkul Jamal kekasihnya. Lantas apakah Jan hanya diam saja? Tentu tidak. Jan mengoreksi si Ibu tersebut.

“Apa yang salah  dengan menjelaskan bentuk kasih sayang pada anakmu? … Lantas apa rencanamu? Melanjutkan stigma yang sudah turun-temurun  di masyarakat bahwa hanya lelaki dan perempuan yang boleh berangkulan? … Bagaimana bila hal tersebut menimpa anakmu? Dia akan berpikir  bahwa tidak ada ruang yang disediakan bagi orientasi seksualnya dan itu akan membuatnya frustasi. … coba bayangkan seseorang melarangmu berangkulan  dengan suamimu. Bagaimana perasaanmu? Kita senang mencereweti kehidupan seseorang, tetapi tidak pernah siap bila seseorang mencereweti hidup kita sendiri.”

Dari penjelasan Jan, jelas menunjukkan bahwa Jan bukan gay yang hanya meratapi nasib, tetapi gay yang pejuang. Dia melihat suatu perilaku diskriminatif, lantas Jan menunjukkan agensinya,  tanpa ragu dia koreksi perilaku itu.

Pada cerita Mata Warna Merah Jambu, penulis menceritakan situasi umum yang menimpa kelompok LGBT di Indonesia  secara metaforis dan berandai-andai bagaimana bila kemungkinan paling buruk terjadi, yakni Mahkamah Konstitusi pada 2018 mengabulkan  permohonan pihak pemohon untuk memenjarakan kelompok LGBT hanya karena mereka menjadi diri mereka sendiri.

Tokoh Aku mengalami mutasi genetik yang membuat warna kornea matanya menjadi merah jambu. Menurut penuturan tokoh Aku, hanya karena warna mata merah jambu berbeda dari warna mata kebanyakan, maka warna mata merah jambu dianggap anomali.  Warna mata boleh hitam, coklat, hijau, atau biru tetapi tidak merah jambu. Hal itu karena warna mata merah jambu tidak pernah ada dalam sejarah manusia. Warna mata merah jambu pun tidak tercatat dalam teks-teks agama. Meskipun para ilmuwan sudah mengapus warna mata merah jambu sebagai kelainan, tetap orang-orang tidak peduli.   

Si Aku pun mengalami upaya-upaya ‘penyembuhan’ agar warna matanya berubah. Namun ketika warna matanya tidak berubah, sang ‘penyembuh’ pun putus asa. Dia malah menyarankan, “Kau pakai kontak lensa saja, pilih warna coklat atau hitam yang paling aman. Bila sudah begitu, Kau bisa berbaur di tengah masyarakat. Menikah dan punya anak.

Si Aku sadar bahwa memasang kontak lensa bukanlah solusi. Dia belajar  banyak dari orang dengan mata merah jambu seperti dirinya, yang memilih menggunakan kontak lensa. Selain membuat pasangan histeris ketika orang tersebut lupa memakainya, kontak lensa juga membuat mata mereka rusak. Kemudian  jiwa-jiwa mereka pun rusak. Akhirnya, mereka perlahan menjadi makhluk mati yang berpura-pura hidup.

Si Aku tidak kehabisan akal. Dia pun menyusun rencana yang beresiko tinggi, yakni pura-pura mati.  Rencananya, dia akan memalsukan kematiannya dengan bantuan dokter di rumah sakit, lalu bila semua urusan administrasi beres, dia akan kabur ke wilayah yang menerima orang-orang bermata merah jambu  apa adanya. Hijrah si Aku menunjukkan bahwa dia punya kuasa atas dirinya sendiri. Dia menunjukkan diri sebagai individu yang berpikir rasional; bila satu wilayah tidak aman bagimu, pilihan paling rasional adalah  pergi dari wilayah tersebut.

Lain lagi dengan cerita Halo. Kisah ini disusun dari kepingan adegan hidup Regina.  Jika tidak cermat membacanya mungkin pembaca akan sedikit bingung.  Regina adalah orang Jawa Indonesia yang menikah dengan pria bernama Gert. Regina sukses hidup di luar negeri, tetapi beban konflik yang dia tinggalkan di Indonesia membuat dia tidak tenang. Di tiap dini hari, dia kerap bangun, mencoba menelpon ibunya di Indonesia. Namun apa daya, kenangan akan sakitnya diusir oleh orang tuanya sendiri, membuat Regina ragu.

Di ujung cerita, penulis memberitahu bahwa  Regina dulunya bernama Regi, dia diusir “… karena pertentangannya dalam menentukan jenis kelamin.”, atau dengan kata lain Regina adalah seorang transgender.  Setelah membaca sampai selesai, barulah pembaca akan mengerti apa yang dimaksud dengan jarum-jarum suntik itu. Jarum-jarum suntik itu adalah penanda bahwa Regina melakukan terapi hormon.  Gert sebagai pasangan khawatir bila jarum-jarum suntik itu dapat melukai Regina. Namun dengan tegas Regina menjawab, “Tutup mulutmu Gert..

Individu transgender adalah sang liyan dalam masyarakat patriarkis dan heteronormatif. Sering kali masyarakat membuat kelompok transgender tidak memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri. Dari mulai melarang untuk memakai pakaian tertentu, hingga melarang kelompok transgender untuk melakukan terapi atau intervensi pada tubuhnya sendiri.  Jawaban Regina , “Tutup mulutmu Gert”, yang hanya tiga kata sebetulnya memiliki makna perlawanan yang lebih luas. Perlawanan terhadap dominasi lelaki, perlawanan terhadap  konstruksi jenis kelamin, dan perlawanan terhadap feodalisme orang tua. “Tutup mulutmu Gert”, bukan sekedar penolakan Regina kepada kekasih hatinya, tetapi merupakan cara Regina agar tetap bisa merayakan otoritas tubuhnya.

Dari ketiga cerita pendek di atas, pembaca bisa melihat keunikan tentang bagaimana penulis menarasikan kelompok LGBT. Biasanya produk budaya, entah itu film, novel, ataupun cerita pendek, menarasikan LGBT di Indonesia sebagai sekelompok orang aneh yang layak menjadi bahan candaan, sekelompok kriminal yang memangsa anak-anak dibawah umur, sekelompok pendosa yang segala amal kebaikannya tidak akan menghasilkan apa-apa, atau sekelompok orang yang tidak berdaya yang pasrah akan segala konstruksi sosial yang sudah melekat dalam hidupnya. Namun penulis Sirkus ini berbeda. Dilihat dari tokoh-tokoh ceritanya,  penulis seolah ingin mengajak kelompok LGBT yang kini mungkin sedang terpuruk agar bangkit kembali, mengambil kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Posisi penulis seperti inilah yang dibutuhkan  kelompok LGBT. Karya sastranya tidak sekedar menjadi karya sastra, tetapi menjadi karya sastra yang berguna dalam penguatan eksistensi kelompok LGBT untuk menjalani hidup. (R.A.W)