Oleh: Sebastian Partogi*
Suarakita.org – Belakangan ini ada fenomena menarik yang saya amati di media sosial, dimana ada beberapa anak-anak ‘muda’ yang berusia 20-an tahun menulis status seperti ini di hari ulang tahunnya:
Aduh, umur gue udah 24 nih sekarang, tambah tua aja…
Umur gue 28 tahun nih, ya udah tua deh…
Beberapa tahun yang lalu ada seorang teman saya yang menggerutu tentang kebiasan anak-anak muda berusia 20-an tahun tersebut mengeluh bahwa diri mereka sudah “tua”.
“Jangan berani-berani menyebut diri sendiri tua kalau belum berusia 70 tahun!” ujarnya dengan berapi-api. Ngomong-ngomong, tiga tahun yang lalu, teman saya itu berusia 58 tahun.
Teman saya yang kebetulan seorang jurnalis, kemudian menyebutkan nama tokoh yang sangat ia idolakan yaitu Herawati Diah, seorang jurnalis senior.
“Kamu baca biografinya Herawati Diah nggak, Gi? Herawati Diah pernah bercerita, waktu berusia 70 tahun dia menonton berita tentang bencana tsunami yang melanda Nangroe Aceh Darussalam. Ketika itu dia membatin, ah, seandainya saya ini 10 tahun lebih muda, pasti sudah berangkat ke Aceh sana! 10 tahun yang lalu kan berarti waktu dia sudah berusia 60 tahun!” lanjut teman saya barusan dengan bersemangat.
Kurang lebih saya setuju dengan ide teman saya tersebut. Penuaan bukanlah soal usia kronologis, namun soal semangat. Yang sangat disayangkan, banyak individu dari beragam usia kronologis mulai mengeluh: “aduh, maklum deh kalau gue udah mulai lupa-lupa, namanya juga faktor U”. (U yang dimaksudkan disini adalah Usia).
Ada juga yang memutuskan untuk berhenti beraktivitas saat menginjak usia tertentu, bukan karena kondisi fisiknya sudah menurun, namun karena sudah apriori oleh “usia tua”. Seorang aktivis pencegahan Alzheimer yang pernah saya wawancarai, DY Suharya, pernah mengatakan bahwa seringkali tubuh kita berhenti berfungsi karena sudah tidak kita gunakan, bukan sebaliknya.
Oleh karena itu, banyak pakar ilmu saraf, termasuk Norman Doidge (yang menulis buku The Brain that Changes Itself) menyarankan bahwa seorang individu tidak berhenti membuka diri pada hal-hal, aktivitas-aktivitas, serta ‘petualangan-petualangan’ baru sepanjang hidupnya, agar otak dan fisiknya senantiasa berfungsi baik hingga usia tua.
Ternyata, kegiatan-kegiatan baru yang bisa kita pelajari sampai usia tua bukan hanya mempelajari bahasa baru, mengambil kursus melukis atau musik. Ternyata ada juga beberapa orang tertentu yang mengalami kebangkitan seksual (terjemahan saya untuk istilah sexual awakening) di atas usia 70 tahun. Bukan sekadar pergi ke tempat tidur dengan pasangan baru, namun juga menemukan identitas seksualnya yang sejati. Setidaknya, hal itulah yang diceritakan oleh film Beginners (2011).
AJAIB SEKALIGUS ANUGERAH
Lagu tradisional Amazing Grace dengan sangat baik dapat menggambarkan kasus-kasus individu homoseksual yang baru membuka diri setelah selama bertahun-tahun berpura-pura hidup sebagai seorang heteroseksual. I once was lost but now I’m found, was blind but now I see (pernah saya tersesat namun saya telah menemukan, pernah saya buta namun saya telah melihat).
Tidak mudah menjadi individu homoseksual di dalam masyarakat yang sangat heteronormatif. Oleh karena itu banyak individu lines atau binan yang, demi memenuhi harapan sosial, memilih untuk berpura-pura menjadi hetero. Beberapa di antara mereka bahkan menjalani pernikahan heteroseksual dan memiliki anak-anak biologis.
Namun meskipun mereka telah menikah dengan lawan jenis serta memiliki anak-anak kandung, identitas seksual mereka yang sejati tidak pernah lenyap. Beberapa di antara mereka yang memasang topeng sosial ini kemudian tetap mempertahankan hubungan seksual dengan sesama jenis (secara diam-diam tentu saja).
Alhasil, mereka tidak bisa menjadi sosok suami/istri/ayah/ibu yang utuh dalam rumah tangga mereka. Pernikahan kamuflase yang mereka jalani ini kemudian membawa penderitaan bukan hanya pada si individu homoseksual saja tetapi juga pada istri/suami serta anak-anak mereka.
Dan pernikahan bunglon ini bisa bertahan sangat lama, dalam kasus film Beginners ini sampai 44 tahun.
(Bagi pembaca yang tidak suka dengan spoiler, mohon berhenti membaca sampai sini).
Pada usia 75 tahun, Hal Fields, seorang manajer museum seni rupa, yang baru saja kehilangan istrinya dua tahun yang lalu karena penyakit kanker, menyatakan kepada anak lelaki semata wayangnya, Oliver (Ewan Mc Gregor), bahwa dirinya gay.
“Saya tidak mau hanya menjadi gay secara teoritis, saya ingin melakukan sesuatu tentangnya.”
Kemudian Hal mulai mengadopsi gaya hidup yang benar-benar berbeda saat ia sudah berusia 75 tahun: ia menggunakan pakaian yang lebih seksi, ia pergi ke pesta-pesta, ia ikut gerakan hak-hak LGBT, ia berlangganan majalah khusus gay yaitu The Advocate, ia memasang iklan untuk mencari jodoh. (Akhirnya ia mendapatkan pacar yaitu Andy, lelaki yang jauh lebih muda daripada dirinya).
“Ayah saya menolak saya karena identitas seksual saya; karena itulah saya selalu tertarik pada lelaki yang lebih tua,” kata Andy.
Semua kegiatan dan rutinitas baru ini diadopsi Hal saat usianya sudah 75 tahun. Dan ini mempertahankan semangat hidupnya dan membuat dirinya selalu bertenaga untuk melaksanakan berbagai macam hal, bahkan saat ia sudah divonis menderita kanker paru-paru stadium 4, yang kemudian membuat waktunya untuk ‘berpulang’ akhirnya datang 3 tahun kemudian.
Dalam perjalanan alur film yang tidak linear dan cenderung menceritakan tiga kerangka waktu (masa kecil Oliver, masa lalu dimana ayahnya muncul sebagai gay dan masa kini Oliver setelah ayahnya meninggal dunia) secara paralel ini, kemudian diceritakan bahwa Hal sebetulnya telah menyadari bahwa dirinya homo sejak usia 13 tahun.
Namun, situasi pada tahun 1955, saat kejadian ini terjadi, masihlah sangat menekan dan membatasi bagi individu LGBT. Dokter-dokter masih menganggap homoseksualitas sebagai penyakit.
“Penyakit yang dapat disembuhkan, namun beberapa orang tidak dapat disembuhkan dari penyakit ini.”
Belum ada gerakan hak-hak LGBT di Amerika Serikat. Gerakan ini baru mulai pecah di tahun 1960-an, berbarengan dengan pecahnya tuntutan akan hak-hak sipil, perempuan, gerakan anti-kapitalisme serta protes anti perang Vietnam. Meskipun pada masa itu sudah ada penyair Allen Ginsberg yang terbuka akan identitas seksualnya, namun homoseksual pada umumnya masih takut untuk membuka diri karena “takut akan konsekuensi yang tidak menyenangkan.”
Pun diceritakan bagaimana Hal harus bercinta dengan sesama jenis secara sembunyi-sembunyi di bilik toilet umum waktu itu.
Diceritakan pula, bahwa Hal telah bercerita pada istrinya Georgia, bahwa dirinya gay. Georgia tidak masalah dan mereka pun menikah. Namun Hal tidak bisa hadir secara emosional baik sebagai suami maupun sebagai seorang ayah. Dampak absennya Hal dari kehidupan sang anak, yakni terhadap bangunan kepribadian Oliver yang rapuh akan ditelusuri juga dalam film ini. Bagaimana pernikahan bunglon ayah ibunya mempengaruhi hubungan Oliver yang heteroseksual dengan perempuan-perempuan yang singgah dalam hidupnya (meskipun hanya satu yang ditampilkan secara detail, yaitu Anna yang diperankan oleh Melanie Laurent).
Namun terlepas dari semua itu, yang saya dapatkan dari film ini adalah, kita tidak pernah terlalu tua untuk mencoba sesuatu yang baru dan ‘mengerikan’, apapun itu. Kita juga tidak akan pernah menjadi terlalu tua untuk mengakui bahwa kita selama ini telah berbohong pada diri sendiri dan orang lain, dan memutuskan untuk menjadi diri kita sendiri.
ISTILAH KERENNYA, RENUNGAN. ISTILAH KURANG KERENNYA, CURHAT COLONGAN.
Maaf karena saya gagal menahan hasrat saya untuk curhat colongan setelah menulis resensi pendek ini. Saya juga mulai memutuskan untuk menjadi pribadi yang otentik pada usia yang ke-26 ini (meskipun ini tidak terkait dengan identitas seksual; soal identitas seksual, telah saya selesaikan 6 tahun yang lalu).
Namun selama ini karena saya selalu rendah diri dengan identitas seksual saya sebagai gay, saya senantiasa menempel-nempel orang lain yang saya anggap ‘keren’ dan mencoba untuk mengimitasi kehidupan mereka. Saya berpikir bahwa dengan meraih standar-standar yang mereka tetapkan tentang apa itu ‘keren’ dan ‘sukses’, saya akan bisa merasa baik tentang diri sendiri, yang senantiasa merasa inferior karena gay.
Saya terus melakukan itu, sampai saya sendiri kelabakan karena merasa kehilangan kepribadian saya yang asli.
Saya baru menyadari hal ini beberapa minggu belakangan. Renungan ini juga muncul setelah berminggu-minggu mengalami sakit parah lantaran berusaha terlalu keras untuk memenuhi standar-standar kesuksesan dan kebesaran yang ditetapkan oleh beberapa orang yang sempat saya anggap keren itu.
Ternyata mereka juga tidak sekeren kelihatannya. Kebanyakan dari mereka hanya bagaikan sang kaisar yang berhasil dikelabui dan mengelabui banyak orang dengan memakai baju yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu yang memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan (padahal sebetulnya mereka tidak pakai baju).
Setelah saya sembuh, saya menyadari bahwa saya merasa begitu nyaman dengan lingkungan sosial saya dan apa yang saya kerjakan. Banyak pintu-pintu baru terbuka untuk saya, saya juga menemukan banyak orang baru yang menghargai saya apa adanya, dengan demikian memberi ruang bagi saya untuk menjadi diri saya sendiri.
Saya juga berhasil dipertemukan dengan beberapa orang keren (kali ini keren ‘ori’, bukan keren KW), yang memiliki belas kasih luar biasa dan menekankan pentingnya gaya hidup otentik. Beberapa orang keren ‘ori’ tersebut juga telah mendorong saya pada kesadaran untuk setia pada siapa diri saya sendiri, bukan pada apa yang dianggap orang lain sebagai kesuksesan, kehebatan, apapun itu.
Oleh karena itu saya membuat motto seperti ini: Aku adalah aku. Aku tidak mau menjadi orang lain, betapapun keren orang itu tampak dari penampilan luarnya…
Resolusi tersebut jadi makin mantap setelah selesai nonton film Beginners ini. Lumayanlah dapat insight baru.
*Penulis adalah jurnalis, penulis esai dan fiksi