Oleh : Jafar Suryomenggolo*
Suarakita.org- Berita tentang dilegalnya perkawinan sejenis di Amerika Serikat menuai debat hangat di banyak kalangan di Indonesia. Beragam reaksi, penolakan ataupun dukungan. Dari kubu penolakan, yang umumnya menjadi dasar alasan adalah hukum-hukum yang tertuang dalam kitab agama, terutama dari kitab Qur’an. Ancaman kutuk atau laknat dari Sang Pencipta kerap disitirkan. Khususnya pula, kisah azab ala Sodom-Gomora dijadikan rujukan utama. Sementara itu, dari kubu dukungan juga tidak mau kalah dalam menawarkan tasfir-tasfir yang diklaim sebagai ‘progresif’. Sehingga akhirnya malah terjadi ‘perang antar-ayat’.
Semua debat ini sangat menarik dalam memahami seberapa jauh agama bisa bersanding dalam penerimaan atas perkawinan sejenis. Meski demikian, timbul serangkaian pertanyaan: Apakah hukum dan teks agama adalah satu-satunya sumber kesahihan? Apakah tidak ada cara lain melihat agama dalam memotret kaum minoritas LGBT? Bagaimana Islam yang ‘kaku’ atau juga ‘progresif’ itu menjadi panduan kehidupan keseharian kaum LGBT?
Kedua buku ini, Hijab dan Living out Islam, mengangkat kisah perjalanan hidup sejumlah Muslim yang kebetulan adalah anggota kaum minoritas LGBT. Kedua buku ini berangkat dari pengalaman-pengalaman riil bagaimana Islam sebagai agama dialami dan dimaknai oleh mereka yang seksualitasnya sering tidak diakui oleh masyarakat. Jadi, tidak dibahas tentang ayat-ayat Qur’an (dan tafsirnya), atau juga debat ajaran hukum Islam berdasarkan ulama-ulama tertentu. Tidak ada pembahasan tentang sah atau tidaknya perkawinan sejenis menurut Islam.
Tentunya, pendekatan empiris yang berdasarkan pengalaman riil ini sangat penting. Sebab, pengalaman merupakan bagian dari kenyataan hidup, dan memberi konteks bagi penghayatan agama. Jadi, pertanyaannya bukan lagi, “Apakah Islam menerima kaum LGBT?”, tetapi lebih ‘membumi’ dan nyata yaitu, “Bagaimana kaum LGBT yang beragama Islam memaknai hidup dan seksualitas mereka?”.
Di dalam kedua buku ini terdapat kisah pergulatan keseharian kaum gay, lesbi dan transgender di dalam memaknai Islam. Di dalam pergulatan itu terdapat keraguan dan penolakan, tetapi juga penerimaan dan pemberian makna baru atas Islam. Semuanya dilakukan berdasarkan kehidupan sehari-hari yang nyata, tidak abstrak larut dalam hukum agama.
Buku Hijab memuat 22 kisah hidup orang biasa (masing-masing sekitar 4-6 halaman): 14 laki-laki gay, 2 laki-laki hetero, dan 6 perempuan lesbian. Kesemua kisah ditulis oleh mereka sendiri, yang memang hidup, dibesarkan dan tinggal di Afrika Selatan. Di antara 22 kisah itu, terdapat kisah satu migran dari Somalia yang mesti kabur meninggalkan negaranya karena pertikaian politik dan juga menghindari kejaran keluarganya. Dua laki-laki hetero menuliskan pengalaman hidupnya dalam interaksi dengan komunitas kaum LGBT dan juga, pengalaman satu adiknya yang gay. Meski pernikahan sesama jenis di Afrika Selatan sudah dilegalkan sejak tahun 2006, masih terdapat juga beberapa kasus diskriminasi di dalam kehidupan sehari-hari atas kaum LGBT. Jadi, jaminan hukum belum benar-benar tertancap di dalam kehidupan dan perilaku sosial. Terutama juga, di dalam lingkungan keluarga yang masih tabu membicarakan seksualitas dan menolak mengakui keberadaan kaum LGBT di dalam masyarakat. Dari 22 kisah ini, terlihat faktor tekanan di dalam keluarga memang masih sangat dominan.
Sementara itu, buku Living Out Islam berdasarkan wawancara yang dilakukan atas para gay, lesbian dan transgender yang tinggal di Amerika Serikat, Kanada, Inggris Raya, Belanda dan Afrika Selatan. Oleh si penulis, kelima negara ini dipilih karena sebagai negara wawancara dilakukan atas sejumlah orang penggiat LGBT yang tidak segan-segan tampil ke publik. Yang ditekankan adalah persoalan identitas gender (gender identity) di dalam kehidupan pribadi dan juga, dunia publik. Jadi, buku Living Out Islam ini tampil sebagai bacaan akademis, berbeda dari buku Hijab yang lebih bersifat catatan pengalaman.
Ada satu yang menarik dari kisah-kisah di dalam buku Hijab. Yaitu, dua kisah yang bercerita pengalaman si penulis saat mengunjungi Mekah. Satu kisah dalam rangka menunaikan haji, dan satu kisah lain dalam rangka jalan-jalan biasa. Di dalam kota suci itu, kedua penulis menceritakan pengalaman rohani mereka. Namun, ada juga dicatat tentang pengalaman fisik. Satu penulis menuliskan dengan cukup detail perilaku seksual laki-laki di Mekkah yang disaksikannya sendiri. Dapat dikutip sebagian di sini (hal.11):
I was especially surprised to see how casual the men were about sex. I was walking past a toilet in Mecca where there were many men standing around… I stood watching for a while and noticed that they would signal each other and then enter the toilet together. About half an hour later, they came out separately with smug looks on their faces. They had a look of satisfaction. I had a culture shock, men in Mecca were yearning for other men and engaging with their feelings.
Aku terutamanya terkejut begitu menyadari para laki-laki cukup santai menyikapi seks. Aku berjalan melewati satu toilet di Mekkah tempat banyak laki-laki berdiri-diri di sekitarnya… Aku berdiri mengamati barang sebentar dan menyaksikan mereka mengirim tanda satu sama lain dan masuk ke dalam toilet bersama-sama. Sekitar setengah jam kemudian, secara terpisah mereka keluar dengan muka menyeringah. Wajah mereka terlihat puas. Aku merasakan geger-budaya, banyak laki-laki di Mekkah merindukan sesama laki-laki dan dengan melibatkan perasaan mereka juga.
Kiranya pengamatan langsung tentang perilaku seksual sejumlah laki-laki di Mekkah ini sangat penting untuk meruntuhkan mitos tidak adanya laki-laki gay di kota yang dianggap suci itu.
Kedua buku ini mungkin cukup sulit diperoleh di tanah air (dan rasa-rasanya, sulit juga terbit terjemahannya), sehingga peminatnya hanya punya kesempatan meliriknya lewat ulasan ini. Di dalam keterbatasan demikian, ulasan ini hendak menekankan pentingnya pengalaman-pengalaman riil di dalam pergulatan agama. Kita di Indonesia jangan melulu berkutat dengan hukum-hukum Islam berdasarkan teks ataupun ajaran-ajaran abstrak. Mencatat dengan seksama pengalaman hidup (dan merefleksikannya!) adalah juga sama pentingnya. Ia menjadi salah satu cara rujukan sosial. Kiranya, pengalaman-pengalaman riil ini pula dapat mendorong penerimaan dengan lapang kaum LGBT di dalam masyarakat, tanpa adanya diskriminasi hukum – termasuk juga, dalam soal perkawinan.
*Penulis adalah peneliti di Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Kyoto, Jepang.