Search
Close this search box.

[Resensi Buku] Coming Out; Fenomena Perkembangan LGBT Indonesia

Oleh Jane Maryam*

Suarakita.org- Mendapati buku Coming Out yang ditulis oleh Hendri Yulius pertama kali adalah rasa penasaran. Sampul luarnya saja menarik dan terkesan elegan; ada sayap dengan motif warna pelangi. Ketika itu saya berpikir si penulis akan bercerita banyak tentang pengalaman dirinya sendiri yang seakan-akan ‘keluar’ dari sangkar burung. Merdeka dan ekspresif dalam menuangkan kata-katanya kedalam buku tersebut. Akan tetapi, jauh dari apa yang saya bayangkan. Ibarat istilah don’t judge book by its cover, buku ini sebenarnya lebih menyoroti fenomena-fenomena umum tentang LGBT, terutama perkembangan gay di Indonesia.

Kecerdasan penulis dapat dilihat dengan begitu banyaknya kutipan buku atau sumber dari luar negeri yang ia muat sebagai penguat gagasan yang dituangkannya dalam buku tersebut, baik itu ketika menjabarkan tentang sejarah homoseksualitas, relasi homoseksualitas dan kaitannya dengan sosiokultural, serta menyisipi BDSM (Bondage, Domination, Sado-Masochism). Menurut saya si penulis cukup jitu membangun kerangka berpikir yang berperspektif feminis seperti analisa konsep kecantikan,

…perempuan memang lebih sering ditempeli mitos kecantikan daripada lelaki. Dan kini, lelaki pun menjadi korban mitos kecantikan tersebut. Suka atau tidak, perlu dicatat bahwa mitos kecantikan dibuat atas dasa kepentingan bisnis dan kapitalisme…“ (Hal. 67)

Di kalangan gay tidak dipungkiri bahwa memiliki tubuh ideal yang gagah, berotot, dan perut rata dianggap sebagai figur yang punya peluang besar untuk memperoleh pasangan. Hendri bahkan bercerita sekilas dalam bukunya tentang bagaimana ia mentransformasi tubuh gempal menjadi tubuh ideal tersebut dan ternyata tidak menjamin kebahagiaan diperoleh 100 persen. Dalam hal itu penulis menegaskan bahwa tubuh bukan sekedar tubuh biologis itu sendiri, melainkan ada kelekatan bentukan sosial.

Anggapan-anggapan miring tentang gay yang diidentikkan sebagai pembunuh, pedofilia, dan penyebar HIV berusaha dipatahkan oleh sang penulis dengan menjelaskan tentang bagaimana media massa cenderung tidak netral dalam membahasakan berita yang hendak disampaikan. Karna ternyata kasus kekerasan domestik yang banyak dilakukan rumah tangga heteroseksual tidak lebih baik dari homoseksual.

Yang menarik lagi dari buku yang ditulis Hendri ini adalah tentang fleksibilitas gender di Korea seperti istilah ggeotminam yang berarti lelaki cantik, dimana bukan merujuk pada orientasi seksual gay. Tetapi lebih kepada ekspresi gender yang melahirkan babak baru dalam konsep maskulinitas. Hendri juga membandingkan dengan fenomena bissu di Indonesia yang tidak berpatok pada sebuah gender semata. Cairnya seksualitas dan gender menurut penulis jika dikolaborasikan dengan baik tanpa mengkotak-kotakkan dapat menjadi solusi yang tepat dari sebuah masalah.

Hendri juga menerangkan peran perfilman dan kesusastraan Indonesia memberi kontribusi terhadap perjalanan LGBT di Indonesia, mulai dari film Arisan sampai novel berjudul Lelaki Terindah memberi penguatan bahwa gay itu ada di sekitar kita dan menurut Hendri selayaknya juga diikuti oleh penceritaan yang happy ending dan tidak selalu berakhir dengan kematian atau ditinggal pergi. Sebagai pembaca bukunya, Hendri juga semestinya menguak lebih dalam fonemena mengapa belum ada publik figur seperti artis atau aktor film di Indonesia yang secara terang-terangan mengakui dirinya gay atau lesbian?

Sekilas penjelasan tentang kisah Sodom dan Gomorah dari kacamata perspektif Hendri dibukunya membuat saya sebagai pembaca tergilitik untuk memertanyakan lagi cinta yang seperti apa yang telah Tuhan buat sehingga homoseksualitas itu ada. Apakah agama telah berhasil menjawab persoalan homoseksual itu hanya dengan dalil dosa, haram, dan neraka? Sama halnya perilaku anal seks, dimana dalam buku ini dijelaskan tidak semua gay itu nyaman melakukan anal seks, begitu pula sebaliknya tidak sedikit pula pasangan heteroseksual yang menikmati adegan anal seks. Jadi salah betul ketika homoseksualitas itu dikaitkan 100 persen dengan anal seks.

Meskipun saya tidak mendapati cerita yang menginspirasi tentang awal mulanya sang penulis coming out kepada keluarganya, atau bagaimana beruntungnya kehidupan yang ia jalani sebagai gay yang kerja kantoran, penulis, dan memiliki pendidikan yang baik, tetapi sebagai pembaca kita akhirnya diberi pencerahan tentang beberapa hal sebelum coming out sebagai bagian dari LGBT, dimana bisa dimulai ketika sudah akrab dengan orang yang kita temui atau bisa juga benar-benar memproklamirkan diawal perkenalan. Dan kesemuanya membutuhkan trik dan ekspektasi dari pribadi pendukung seperti ramah, baik, sehingga mendapatkan penerimaan sosial.

Hendri juga menjabarkan penerimaan sosial yang diperoleh dari sahabat perempuan dan teman laki-lakinya yang heteroseksual tersebut besar kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan,

“…Mungkin karena selain Matt memang berpendidikan, ia juga banyak membaca buku, mulai dari filsafat hingga ekonomi. Inilah yang membuatnya berpikir kritis dan tidak asal menelan mentah-mentah konstruksi sosial yang homofobik.“ (Hal. 142)

Menurut saya, Hendri tidak sepenuhnya benar bahwa seseorang yang berpendidikan bisa terbuka hatinya terhadap eksistensi LGBT. Karna ada banyak sekali orang yang berpendidikan tinggi di Indonesia akan tetapi sangat homofobik. Mungkin variabel-variabel penerimaan sosial itu yang kurang digali dalam buku tersebut. Selain daripada memertanyakan kembali tentang seberapa pentingkah coming out itu bagi LGBT? Apakah dengan mengungkapkan diri sebagai gay atau lesbian sudah cukup memberi kebaikan pada diri sendiri dan orang lain?

 

Buku ini menurut saya layak dibaca bagi setiap orang, terutama cendekiawan, pelajar, guru, dan bahkan ahli agama untuk menjawab fenomena perkembangan homoseksualitas baik yang terjadi di Indonesia maupun diluar negeri. Meskipun pertanyaan tentang coming out itu sendiri belum terjawab sepenuhnya.

 

*Penulis adalah lulusan psikologi Universitas Diponegoro yang gemar meditasi Yoga dan baca buku.