Search
Close this search box.

Film Layu Sebelum Berkembang : Perkawinan, UN Dan Fundamentalisme Agama

Layu Sebelum Berkembang

Suarakita.org-  Film Layu Sebelum Berkembang berkisah tentang dua anak perempuan, Dill adan Kiki yang sedang menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri di Unggaran Yogyakarta.  Ariani Djalal sang sutradara, penulis cerita sekaligus produser  film mengangkat kisah seharian dua anak perempuan (kelas 6 SD) dengan pergulatan beban pendidikan di  sekolah.  Film ini ditayangkan perdana di Pusat Perfilman Usmar Ismail Marzuki,  Jakarta, 13 Mei 2014, sekaligus dalam rangka peringatan pendidikan nasional.

Film ini menggambarkan keseharian dua tokoh tersebut baik di kehidupan rumah tangga sampai di sekolah yang akan mempersiapkan ujian nasional.

Fokus ini film lebih banyak memberikan porsi pada sisi cerita pendidikan agama Islam yang diberikan oleh siswa-siswa muslim di sekolah negeri.  Tentu kita akan berpikir apa yang salah dengan pendidikan agama Islam di sekolah negeri?

Film ini membongkar kepolosan, kelucuan dan kejujuran anak-anak menjelang remaja tentang pendidikan agama Islam yang  “dipaksakan”  masuk dalam kehidupan anak-anak tersebut. Dari mulai tekanan orang tua sampai kurikulum pendidikan sekolah.  Misalnya anak-anak tersebut bukan hanya sekedar belajar  agama  sebagai pemenuhan kurikulum tetapi diwajibkan mengikuti pembacaan ayat-ayat  Al-quran sampai ikut kegiatan pesantren kilat  di  sekolah.  Kita tahu kegiatan-kegiatan itu tidak ada dalam kurikulum pendidikan sekolah negeri.  Karena sekolah negeri dasarnya mestinya sekolah  yang dapat dimasuki  oleh semua agama pun sehingga mestinya harus  “bebas”  dari pendidikan  yang sangat doktrin ajaran  agama,  seperti belajar soal sampai pendidikan pesantren kilat.

Belum cukup itu saja,  anak-anak di sekolah negeri pendidikan  agama terintegrasi dalam setiap kegiatan sekolah walau tidak sedang pendidikan agama. Misalnya selalu melaksanakan  ritual  agama sebelum pelajaran dimulai,  sholat berjamaah disekolah,  belum lagi doktrin-doktrin pendidikan agama yang sama sekali tidak mengajarkan toleransi pada perbedaan tetapi justru ketakutan dan kebencian pada perbedaan  agama.

Belum cukup dengan itu, beban ujian nasional bagi siswa mengharuskan siswa harus ekstra belajar seperti mesin yang terus menerus bekerja.  Siswa dipaksa berpikir untuk mempersiapkan ujian nasional agar  bisa masuk ke sekolah menengah pertama (SMP) yang favorit. Untuk mencapai itu,  anak-anak tidak cukup dibebani dengan pelajaran bertubi-tubi tetapi juga dibeban ajaran agama, yang anak itu sendiri tidak mengerti maksud dari itu semua. Para guru sepertinya punya keyakinan, belajar keras tidak ada gunanya kalau tidak diiringi dengan doa-doa,  maka kemudian anak akhirnya dibebani atas doa-doa dan  ritual agama di sekolah selain terus harus belajar pelajaran umum.

Misalnya ketika menjelang ujian nasional,  orang tua Kiki, mengajak Kiki ke  “dukun”  untuk minta restu agar  lancar mendapatkan hasil yang maksimal. Maka berbagai ritual perintah sang dukun harus dilaksanakan oleh Kiki saat sebelum dan sesudah ujian nasional.

Film ini juga berhasil menggambarkan bagian “kenakalan” dan kelucuan anak-anak dalam memberikan respon atau cara resistensi seorang anak.  Misalnya ada satu adegan Dilla yang  diwajibkan membaca Al-quran  di sekolah tetapi Dilla benar-benar menampilkan sikap melawan dan hanya melaksanakan kewajiban semata. Dilla pun dengan cepat membaca Al-quran dan kemudian langsung pergi dengan buru-buru tanpa beban apapun,  persis kehidupan anak-anak yang memang ingin bebas. Dilla sendiri seorang anak perempuan yang senang bernyanyi, bermimpi bisa melakukan konser ala Celion Dion.

Kemudian, diakhir cerita, kedua anak tersebut harus bersaing lagi untuk masuk ke sekolah negeri, persaingan demi persaingan harus dilewati oleh anak-anak tersebut. Bukan berarti cara ini mulus dan disenangi oleh anak-anak.  Setiap saat anak-anak harus dibebani dengan target dan target, inilah realita sistem pendidikan di Indonesia. Menurut Ariani Djalal ketika memberikan kata sambutan, bukan Cuma anak-anak  yang  stress tetapi juga orang tua ikut stress dengan situasi ini.

Film yang berdurasi 90 menit ini dibuat oleh Ariani, sebagai bentuk protes dan kemarahan beliau sebagai seorang ibu yang juga anak-anaknya sedang menempuh pendidikan formal.  Ada banyak tindakan-tindakan irasional  yang  dilakukan dalam institusi pendidikan negeri  yang justru tidak membebaskan anak-anak. Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi lembaga pembebasan dan membangun kesadaran kritis tetapi malah menjadi lembaga penundudukan bagi anak-anak. Padahal substansi pendidikan menurut Soesilo Adinegoro,  penggagas Yayasan Anak Akar  Indonesia untuk memajukan nilai-nilai kemanusiaan,  toleransi dan kehidupan demokrasi.

Film  Layu Sebelum Berkembang rencananya di bulan Juni 2014 akan diputar di beberapa kota di Indonesia,  di antara  Padang,  Bandung,  Yogyakarta, Semarang,  Solo,  Malang, Surabaya,  Denpasar dan Palu.  Film sangat layak untuk ditonton ketika sistem pendidikan Indonesia terpuruk dan fundamentalisme  agama  menguat  di  sekolah-sekolah negeri.

Kritik terhadap film menurut saya ada persoalan teknis suara yang sedikit kurang baik sehingga sedikit menganggu ketika menonton, kurang jelas,  apalagi banyak  dialog berbahasa Jawa, mungkin akan sangat meyulitkan bagi orang yang tidak tahu bahasa Jawa. Tetapi terlepas dari kekurangan itu, bagi yang mungkin berminat melakukan pemutaran bisalangsung berhubungan dengan pihak produser sekaligus sutradara, Ariani Djalal(Hartoyo)