Search
Close this search box.

Perang Antara Ketulusan Dengan Kebencian Dan Hipokrisi

 

Oleh:

Sebastian Partogi*

Sampul Novel (Sumber: Internet)
Sampul Novel
(Sumber: Internet)

Suarakita.org- Penyanyi, pianis, penulis lagu, aktivis dan gay-friendly straight woman asal Amerika Serikat Tori Amos pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Piece by Piece: A Portrait of An Artist: “di balik pesan agama Kristen mengenai cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri, ada kisah yang kelam. Orang Kristen tidak akan menunjukkan belas kasih pada dirimu kalau engkau sudah dianggap sebagai seorang pendosa.

Seringkali, gereja dan kekristenan tidak menunjukkan belas kasih tersebut pada saudara-saudaranya yang terlahir sebagai gay atau lesbian, karena mereka dianggap sebagai pendosa. Meskipun banyak orang Kristen yang benar-benar menapaki jalan kasih Kristus dan bersikap toleran terhadap homoseksualitas, namun sayangnya masih banyak anggota lingkar dalam gereja yang masih bersikap sebaliknya.

Drama pertarungan antara ketulusan kasih pasangan lesbian dengan kebencian dan hipokrisi gereja dengan jelas ditampilkan dalam novel Jodi Picoult bertajuk “Sing You Home” (Penerbit Allen & Unwin Australia, 2011).

Dalam melodrama dengan plot yang complicated (rumit -red) setebal 464 halaman ini, Jodi menceritakan tentang perjuangan sepasang lesbian untuk bisa mendapatkan embrio yang ingin mereka besarkan sebagai anak mereka.

Zoe Baxter telah berjuang selama 10 tahun untuk memiliki anak dengan suaminya, Max. Setelah tiga kali mencoba fertilisasi in vitro, Zoe selalu mengalami keguguran. Sebuah konflik akhirnya meruntuhkan rumah tangga Zoe dan Max.

Zoe, yang menjalani profesi sebagai musical therapist – membantu berbagai orang yang menderita berbagai macam penyakit untuk kembali fungsional dengan bantuan musik – kemudian berkenalan dengan Vanessa, seorang konselor sekolah yang memintanya untuk melakukan terapi terhadap Lucy, muridnya yang menderita depresi dan selalu terobsesi dengan keinginan untuk bunuh diri.

Lama kelamaan, Zoe dan Vanessa sadar bahwa mereka saling jatuh cinta. Mereka kemudian menikah setelah mendapat restu dari ibu Zoe.

Setelah menikah, Zoe dan Vanessa berpapasan dengan sepasang lesbian lainnya yang sedang sibuk mengejar-ngejar seorang anak laki-laki yang berlarian kesana kemari. Saat itulah pasangan itu menyadari bahwa mereka merindukan kehadiran seorang anak. Mereka pun berencana untuk melakukan fertilisasi in vitro pada Vanessa dengan embrio hasil pembuahan antara Zoe dan Max, yang masih disimpan dalam ruang pendingin klinik fertilisasi.

Namun, situasi menjadi rumit ketika peraturan hukum mempersyaratkan Zoe dan Vanessa untuk meminta izin kepada Max terlebih dahulu untuk menggunakan embrionya. Max, mantan alkoholik yang selalu menemui kegagalan sepanjang hidupnya, telah bergabung dengan sebuah gereja evangelis yang anti terhadap homoseksualitas.

Max, yang terkejut oleh rencana istrinya, kemudian melakukan konseling dengan pendeta Clive Lincoln yang ultra-konservatif untuk bertanya tentang apa yang seharusnya ia lakukan. Sang pendeta kemudian mengutip beberapa ayat Alkitab untuk meyakinkan Max bahwa homoseksualitas adalah perilaku  penuh dosa, dan lebih jauh lagi, bahwa lawan dari homoseksualitas bukanlah heteroseksualitas melainkan kesucian.

Ia kemudian meminta Max untuk tidak memberikan sang istri dan pasangannya izin untuk membawa embrio miliknya, karena ia yakin bahwa sang istri dan pasangannya, sebagai pasangan lesbian yang sesat dan merupakan titisan Iblis, pasti akan merusak sang anak yang seharusnya dibesarkan untuk menjadi anak Tuhan.

Max pun menyewa seorang pengacara ultra-konservatif yang telah diperkenalkan oleh sang pendeta kepadanya. Berbagai taktik yang tidak masuk akal mulai dari menyitir ayat-ayat Alkitab sampai melakukan fitnah dilakukan oleh sang pengacara untuk mengalahkan Zoe dan Vanessa dalam persidangan. Sang pengacara, yang cukup populer di kalangan sayap kanan garis keras Amerika Serikat bahkan sampai muncul di televisi untuk mengatakan bahwa Vanessa dan Zoe berada dalam “garis depan” untuk membuat seluruh umat Tuhan di Amerika menjadi cabul dan titisan Iblis – kata pengganti untuk homoseksual.

Dalam sebuah komplikasi cerita, terungkaplah bahwa Lucy, murid yang ditangani oleh Zoe dan Vanessa untuk menyembuhkan depresi yang ia derita karena di-bully oleh teman-temannya, ternyata adalah seorang lesbian. Lebih jauh lagi, ternyata Lucy adalah anak tiri dari pastor Clive sendiri! Sang pastor, yang merasa panik karena reputasinya terancam, melakukan tindakan yang sangat pengecut sekali: ia kemudian menyalahkan Zoe dan Vanessa, dan menuduh mereka telah membuat anaknya menjadi sesat dan lesbi, dan otomatis menghancurkan karir mereka berdua.

Zoe dan Vanessa kemudian kalah di pengadilan, dan hak untuk memiliki embrio kemudian jatuh pada Max, seorang mantan alkoholik yang sebetulnya sama sekali tidak berniat untuk membesarkan seorang anak. Namun novel ini memiliki akhir yang sama sekali tak terduga bagi para pembacanya. Silakan baca sendiri hingga halaman terakhir.

Novel yang berpotensi menguras air mata dan emosi pembaca ini, selain membahas tentang efek musik yang luar biasa, juga mempertontonkan secara jelas kemunafikan kaum Kristen ultra-ortodoks yang selalu menyitir kalimat-kalimat Tuhan dan berdoa seolah-olah mereka adalah orang yang paling saleh, namun di sisi yang lain, menunjukkan kebencian yang amat sangat pada kaum homoseksual. Dalam sebuah adegan novel, Jodi menceritakan tentang demonstrasi yang dilakukan oleh umat pendeta Clive saat mereka menentang homoseksualitas di mana mereka membawa poster-poster yang bertuliskan seperti ini:

GOD HATES FAGS (Tuhan membenci para banci)

GAY = GOD ABHORS YOU (GAY = Tuhan membenci Anda)

ADAM AND EVE, NOT ADAM AND STEVE (Adam dan Hawa, bukan Adam dan Steve)

TorI Amos, Sang Penulis (Sumber: Internet)
TorI Amos, Sang Penulis
(Sumber: Internet)

Yang menarik adalah, novel ini membawa kita pada sebuah pertanyaan kritis: mengapa orang-orang fundamentalis (baik dari agama Kristen maupun dari agama lain) sangat terobsesi dalam mengutuki homoseksualitas? Padahal banyak sekali larangan Tuhan yang kita semua langgar secara terang-terangan, misalnya: jangan berbohong, jangan menginginkan milik orang lain, dan sebagainya. Mengapa semua hal yang berkaitan dengan seksualitas selalu menjadi sasaran empuk kaum fundamentalis? Apakah, seperti kata ahli psikoanalisa Sigmund Freud, sebetulnya kaum fundamentalis ini hanya memproyeksikan ketakutan mereka akan dosa yang mereka perbuat sendiri pada orang-orang yang mudah untuk dijadikan kambing hitam karena mereka adalah minoritas, seperti kaum homoseksual?

Novel Jodi Picoult ini sangat berpotensi membangkitkan empati pembaca terhadap pasangan homoseksual dan membantu kita sadar bahwa homoseksualitas tidak melulu berurusan dengan seks saja, tetapi juga berhubungan dengan kasih dan ketulusan. Semoga kita menjadi individu religius yang benar-benar menerapkan prinsip belas kasih, dan bukan prinsip kebencian dan hipokrisi.

 

*Penulis adalah wartawan harian berbahasa Inggris The Jakarta Post