Search
Close this search box.

[Foto] Rully: Waria Sarjana Memutuskan Jadi Pengamen

Rully (52), seorang waria yang bergelar sarjana tari memutuskan untuk menjadi pengamen. (Foto: Hartoyo/ourvoice)

Ourvoice.or.id – Cuaca hari itu sangat panas, pukul menunjukan sekitar 12.00 tetapi beberapa waria tetap terus menyanyi mendekati mobil-mobil yang berhenti di pertigaan lampu merah Maguwo-Yogyakarta.

Kawasan lampu itu memang sehari-hari menjadi tempat para pengamen waria untuk mencari nafkah. Saya sudah hampir 3 tahun ngamen disini mas, ujar Rully (52) yang hari itu mengenakan baju warna biru dengan aksesoris topi dengan sendal berhak tinggi dibalut stocking berwarna coklat kulit. Disini lebih nyaman mas dibandingkan tempat lain ungkap Rully siang itu.

Rully bersama teman waria lainnya biasanya mengamen dikawasan itu dari pukul 10.00 – 17.00 WIB dengan pendapatkan rata-rata Rp 30.000 – 50.000 per hari. Tetapi itu tergantung nasib mas, kalau misalnya tidak ada razia dari Satpol PP dan rajin ngamennya ya bisa dapat juga Rp 100.000 per hari, ungkap Rully. Tapi kalau baru saja ngamen dan ada razia satpol PP, maka siap nasib tidak dapat uang untuk makan hari itu, tambah Endang waria asal Purworejo-Jawa Tengah. Kawasan lampu merah memang menjadi tempat yang dilarang mengamen dan berjualan dibanyak kebijakan pemerintah daerah di Indonesia.

Rully adalah waria yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga muslim di Bone-Sulawesi Selatan. Tidak seperti kebanyakan waria, keluarga Rully khususnya ibu sangat menghormati dan demokratis terhadap identitas dirinya. Sehingga Rully sampai bisa meyelesaikan pendidikan menengah kejuruan jurusan pendidikan guru Sekolah Dasar di tempat kelahiran. Rully sendiri juga pernah mengabdi sebagai pegawai negeri (guru SD) di salah satu pulau propinsi Nusa Tenggara Timur.  Walau akhirnya Rully memutuskan untuk menanggalkan statusnya sebagai pegawai negeri.

Setelah meninggalkan status sebagai pegawai negeri, Rully kemudian “keliling” Indonesia bahkan di beberapa negara dunia untuk “mencari” identitas diri. Saya harus jujur dan harus jadi diri sendiri, ungkap Rully. Sejak itulah Rully banyak berinteraksi sesama teman-teman waria diseluruh Indonesia sampai akhirnya Rully menetap dan bergabung di Lembaga Swadaya Masyarakat Kebaya di Yogyakarta.

Kebaya sendiri adalah organisasi yang membantu teman-teman waria khususnya tentang HIV dan AIDS. Di kota Yogya-lah kemudian Rully meyelesaikan pendidikan Sarjana jurusan seni tari di Institut Seni Indonesia.

Lain Rully lain pula Endang, dia adalah waria yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Orang tuanya dari keluarga miskin dan sejak remaja sudah meninggalkan keluarga dan memutuskan untuk menjadi waria. Sehingga hanya pendidikan SD yang diterima oleh Endang. Karena tidak mempunyai pendidikan dan skill yang cukup Endang akhirnya harus turun di jalan dan menjadi pekerja sex. Dulu ketika saya masih muda kerja keluar malam mas di Taman Lawang, Jakarta Pusat, tempat dimana biasa teman-teman waria bekerja sebagai pekerja sex. Tapi sekarang udah “tubang” (baca:tua) mas jadi akhirnya ngamen deh, ungkap Endang sambil bertawa.

Endang adalah waria yang paling ceria dalam bekerja. Endang selalu senyum dan tertawa walau sang pengendara mobil tidak memberikan uang sepeserpun. Ngamen ini selain untuk cari makan, tapi juga untuk menghilangkan stress mas, ungkap Endang.

Rully dan Endang adalah dua dari ribuan wajah waria di Indonesia, hidup dalam garis kemiskinan dan diskriminasi sebagai warga negara. Bukan hanya tidak punya akses pekerjaan tetapi jauh dari itu, tidak diakuinya hak dasar atas identitas kependudukan sebagai waria. Tidak punya KTP, rendah pendidikan, tidak ada akses pekerjaan disektor formal dan hidup penuh stigma maka lahirkan masyarakat yang bodoh dan terpinggirkan.Itulah wajah waria Indonesia bahkan mungkin didunia.

Sampai kapan pemimpin dan masyarakat Indonesia bisa empati dan peduli pada mereka? Mereka yang kehilangan kemanusiaan hanya karena mereka berbeda. Berbeda, agama, orientasi seksual, identitas gender, kelas ekonomi dan pandangan perbedaan agama.

Walau dalam kondisi seperti itu, Rully memutuskan untuk tetap akan terus berjuang dan membantu teman-teman waria di Yogyakarta, ungkapnya. Ini sudah panggilan hati saya mas memperjuangkan identitas diri saya sebagai waria dan bisa membantu teman-teman waria lainnya.  Saya percaya rezeki pasti ada kalau kita benar-benar yakin bekerja dengan cinta, ungkap Rully ketika berteduh di warung kecil sambil menunggu hujan redah. (Hartoyo, Bandara Adi sucipto, 3 Maret 2013)