Oleh: Saidi Puang Matoa
Negara kepulauan Indonesia yang terdiri dari tidak kurang 17.000 pulau besar dan kecil, memiliki latar belakang yang sangat unik, karena masyarakatnya memiliki budaya dan ribuan bahasa yang saling memperkaya dan menguatkan satu sama lain
dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia, agama lokal atau kepercayaan asli masyarakat setempat, budaya dan masyarakat adat yang telah berakar sejak ribuan tahun yang lalu berkali-kali mengalami ancaman terkait dengan eksistensi kebendaannya baik dalam pelaksanaan ritual budayanya maupun dalam hal perampasan hak-hak ulayatnya.
Secara garis besar ancaman-ancaman yang menimpa komunitas adat dimulai pada saat masuknya agama-agama luar seperti agama Islam yang dibawa para pedagang-pedagang Gujarat, Persia dan lain-lain maupun agama Kristen yang dibawa oleh Misionaris-misionaris.
Ancaman lain adalah adanya kecenderungan negara untuk tidak mengakui bahwa telah menghilangkan budaya-budaya atau aliran-aliran kepercayaan lokal, yang dapat dilihat dengan diakuinya 6 agama-agama yang notabene bukan berasal dari masyarakat Indonesia.
Hal lain yang menjadi anacaman serius bagi keberadaan masyarakat adat adalah kepentingan global yang didorong oleh korporasi-korporasi raksasa melalui sebuah skenario liberalisasi untuk menguasai sumberdaya alam Indonesia yang mana
sangat meminggirkan hak ulayat masyarakat adat yang notabene adalah adalah pemilik sah sumber daya alam tersebut jauh sebelum Indonesia dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Demikian halnya yang dialami oleh komunitas Bissu yang berada di Kabupaten Bone, Kabupaten Wajo, Kabupaten Sopeng dan Kabupaten Pangkep. Ditengah terpaan ancaman-ancaman yang ada, komunitas ini berusaha kuat untuk tetap eksis di bawah kepemimpianan Puang Matoa Bissu untuk tetap mempertahankan dan menjalankan kemurnian ajaran Ilagaligo, sebuah kepercayaan yang diwariskan secara turun temurun yang tertuang dalam sebuah kitab “Sure” ILLAGALIGO yang sejarahnya ILAGALIGO merupakan anak dari Sawe Rigading yang merupakan Raja Luwu dengan istri bernama I We Cudai, sementara Raja Sawerigading sendiri merupakan putra dari hasil perkawinan Batara Guru yang merupakan putra dari Patoto ‘E Ri Boting Langi (pemimpin dunia atas atau kahyangan) dengan WENYILOTIMO yang merupakan putri dari Guru Salle (pemimpin dunia bawah/ bumi pertiwi).
Komunitas Bissu yang sejak keberadaannya sampai sekarang berjumlah 40 orang yang dipimpin Puang Matoa Bissu Saidi melaksanakan fungsinya selain fungsi yang disebutkan diatas juga berfungsi/ bertugas untuk menyiapkan alat-alat upacara seperti upacara “Bau Ade Si Wewang Lino” , upacara “Laowawang Lino”. Menentukan hati baik dan buruk dan menyemangati Sao Den Ra Kati disamping berbagai macam tugas-tugas lain seperti yang tertuang dalam kitab ILLAGALIGO.
Mencermati kondisi masyarakat adat di tengah ancaman yang tersebut diatas yang mana telah berdampak pada penghilangan jati diri bangsa bahkan pembunuhan komunitas adat. Langkah konsolidasi dan penguatan masyarakat adat termasuk Komunitas Bissu menjadi agenda utama yng harus secepatnya dan terus menerus/ berkesinambungan untuk dilakukan menuju masyarakat adat yang berdaulat. Yang lain adalah untuk mengakui sepenuhnya keberadaan masyarakatnya.
sumber : http://bissu-anbti.blogspot.com/2008/08/komunitas-bissu-di-tengah-kemajemukan.htmlBY: SAIDI Puang Matoa
Indonesia is a country which has 17.000 islands consist of large and small island, and a unique country background because the citizen has got very rich cultures and also languages which enrich and strengthen each other in one big frame called Bhineka Tunggal Ika (Unity in Diversity).
In the long history line of Indonesia, local belief; religion and culture which have already existed since thousand years ago, are threatened. It is related with its existence, cultural ritual activities, and also land right. Generally, the threats that the custom community were facing happened when other religions came to Indonesia, namely Islam by the merchants from Gujarat, Persia and so forth, then Christianity by the missionarists. In the other hand, also a thread, there is a tendency that the government does not confessed or it obliterates the local religions and cultures by only confessing 6 religions which do not come originally from Indonesian native.
The other serious threat is the global’s necessity which is supported by the gigantic corporation throughout a liberalization scenario in order to authorize the Indonesian natural resources. It alienates the local citizen’s right as the owner of the land, far before Indonesia got its freedom on August 17th 1945. That is what happened to the Bissu community in Bone, Wajo, Sopeng, and Pangkep region. Under this pressure, the Bissu community, lead by Puang Matoa Bissu keep trying and defending its existence and the purity of its belief which has been inherited and written in the “Sure” ILLAGALIGO bible. In the history, ILLAGALIGO the son of Sawe Rigading is Luwu King and has a wife named I We Cudai. Meanwhile, Sawe Rigading is the son of Batara Guru who is the son of Patoto ‘E Ri Boting Langi (The leader of heaven) and WENYILOTIMO who is the daughter of Guru Salle (the leader of earth).
The Bissu community, lead by Puang Matoa Bissu Saidi, which keeps its total number summed 40 until now, accomplishes its function to prepared all the equipment for the ceremony such as “Bau Ade Si Wewang Lino” and “Laowawang Lino” ceremony. It also determines the good and bad heart, and also supports Sao Den Ra Kati. Concerning on this problem which has obliterated the local community’s culture, consolidation and also support for the local communities, included Bissu community, have to be the main agenda to be done in order to make a better condition for their existence.
sources : http://bissu-anbti.blogspot.com/2008/08/komunitas-bissu-di-tengah-kemajemukan.html