Lagu untuk Joshua

Oleh: Isti Toq’ah*

SuaraKita.org – Angin malam di Jakarta terasa dingin menusuk, namun bukan itu yang membuat telapak tangan Joshua berkeringat. Ia duduk di bangku taman yang sepi, menghadap ke sebuah kafe kecil yang jendelanya memancarkan cahaya hangat. Malam ini adalah malam pertemuan bulanan komunitas pendukung (support group) yang selama ini ia ikuti. Malam ketika ia berjanji pada dirinya sendiri akan mengatakan yang sebenarnya.

Dua puluh lima tahun Joshua hidup di balik topeng hetero, seorang lelaki yang “seharusnya” tertarik pada perempuan. Setiap kali ayahnya bertanya tentang prospek pernikahan, Joshua hanya mampu mengalihkan pandangan. Rasanya seperti berenang melawan arus yang deras, perlahan-lahan membuatnya kehabisan napas.

Malam ini, peti di sudut hatinya terasa begitu sesak. Ia tahu, keluar berarti melepaskan beban, tetapi juga membuka diri pada kemungkinan penolakan yang paling ia takuti.

Joshua meraih ponselnya. Ia memutar lagu “Joshua’s Song (Songs with Pride)” dari Smith and Thell, dua composer kesayangannya dari Swedia yang memang pro dengan orang-orang seperti Joshua, khususnya para pengungsi (refugee) yang harus lari dari negaranya untuk mencari perlindungan (asylum) seperti sosok Joshua yang ada di dalam lagu itu, yang juga entah kebetulan, atau memang itulah cara Semesta merangkulnya. Ketika melodi yang melankolis itu mengalun, Joshua merasakan getaran aneh. Sudah sering ia mendengar lagu ini, tetapi malam ini, ia merasa lagu itu tidak lagi hanya tentang seseorang bernama Joshua. Lagu itu adalah untuk dirinya. Ini adalah pertama kalinya ia merasa Semesta mengirimkan sebuah surat, dan surat itu ditujukan langsung ke nama lahirnya.

Lirik yang muncul, mencerminkan risiko terbesar yang ia hadapi:

“When I opened up and told my parents about my sexuality, me being gay. My dad did not like it so he told me you had to go away from my home and never come back here, or I will call the police.”

(Terjemahan: “Ketika aku membuka diriku dan memberitahu orang tuaku tentang seksualitasku, bahwa aku adalah seorang gay. Ayahku tidak menyukainya, lalu dia bilang bahwa aku harus pergi jauh dari rumah dan jangan pernah kembali, atau dia akan memanggil polisi.”)

Jantung Joshua mencelos, seolah-olah melompat ke luar dari bingkai dadanya, ia membayangkan skenario penolakan itu.

Namun, lagu itu berlanjut, membawa janji yang memberinya kekuatan:

“One day we will tell bedtime stories about this son’s love was a crime on our streets… And we are all gonna think it’s crazy… Teach your kids about it and then go to sleep. At least that’s what I hope for. You know one day this will be history. Like a scary tale book that we read.”

(Terjemahan: “Suatu hari nanti kita akan menceritakan dongeng sebelum tidur tentang cinta seorang anak lelaki yang dianggap sebuah kriminalitas di jalan-jalan di sekitar kita, dan kita akan merasa bahwa ini adalah hal yang gila. Ajari anak-anakmu tentang cerita ini sebelum pergi tidur. Paling tidak itu yang aku harapkan. Kamu akan paham bahwa suatu hari nanti cerita ini akan menjadi sejarah, mirip seperti buku dongeng horor yang pernah kita baca.”)

Joshua terhenyak. Air matanya menetes, bukan hanya karena kesedihan, tetapi juga karena rasa dikenal. Ia merasa Semesta memberinya pelukan, sebuah pengakuan bahwa penderitaannya valid, tetapi juga sementara, tidak abadi. Harapan itu, bahwa penolakan akan menjadi ‘kisah menakutkan’ dari masa lalu, adalah cahaya yang ia butuhkan. Lagu itu adalah sebuah amin, sebuah restu dari luar dirinya yang selama ini ia cari dan butuhkan.

Ia menggenggam gantungan kunci berbentuk pelangi kecil di saku jaketnya. Ia bangkit, kakinya kini terasa ringan. “Lagu ini untukmu, Joshua,” bisiknya pada diri sendiri. “Sekarang, kamu harus menyanyikannya, bukan dengan berbisik, tetapi dengan lantang. This is your life soundtrack (Ini adalah lagu tema hidupmu).”

Ia melangkah masuk ke kafe yang telah disewa komunitasnya itu. Setelah beberapa orang berbagi cerita, Lentera, seorang tranpuan yang menjadi moderator malam itu, bertanya, “Apakah ada yang ingin berbagi?”

Joshua mengangkat tangan. Tangannya kini bergetar karena resolusi, karena telah diizinkan, diizinkan oleh Semesta.

“Namaku Joshua,” katanya, suaranya parau. Ia menarik napas dalam-dalam. “Aku… Aku telah lama membawa rahasia ini. Aku datang ke sini karena aku lelah berpura-pura.”

Ia memandang lurus ke depan.

“Aku seorang lelaki. Dan aku… aku mencintai lelaki juga. Aku adalah seorang gay. Aku tahu risikonya. Aku tahu aku mungkin akan kehilangan banyak hal, seperti yang kuceritakan dalam lagu yang aku dengar,” katanya. “Tetapi aku tidak bisa lagi bersembunyi. Aku ingin hidup sampai hari di mana kisahku, diusir karena cinta, akan menjadi ‘kisah menakutkan’ dari masa lalu yang semoga semakin berkurang intensitasnya untuk terulang pada orang lain sepertiku di masa depan.”

Air mata Joshua menetes. Kata-kata itu, didorong oleh keberanian yang ia serap dari lagu yang kini ia rasa adalah miliknya, terasa seperti pelepasan.

Ruangan itu hening. Lalu, tepuk tangan lembut, tulus, dan penuh dukungan mulai terdengar. Joshua mengangkat kepalanya.

“Terima kasih, Joshua,” kata Lentera, suaranya penuh haru. “Selamat datang. Dan terima kasih telah membagikan lagu itu.”

Joshua tersenyum. Senyum itu terasa nyata. Untuk pertama kalinya, ia merasa namanya adalah sebuah melodi, dan semesta sedang mendengarkan. Ia telah keluar dari bayangan. Ia telah mengatakan, “I’m Coming Out.” Mungkin dia baru melela ke lingkaran yang membuatnya merasa aman dan diterima. Lingkaran kecil yang menjadi semesta bagi Joshua, his small circle that he trusted. Tentang ayahnya, biarlah itu urusan nanti. Mungkin nanti setelah ia pulang dari bekerja setahun dengan working holiday visa (visa liburan kerja) di Australia, jika memang semesta menginginkannya untuk ‘pulang,’ atau bisa jadi negeri kanguru itu akan menjadi ‘rumah barunya untuk benar-benar bisa PULANG.’

Ia meletakkan pelangi kecil itu di meja. Ia siap untuk menjadi bagian dari sejarah yang dibimbing oleh sebuah lagu yang terasa special baginya, diciptakan khusus, hanya untuknya.

 

*Isti berasal dari Balikpapan, Kaltim, namun kini berdomisili di sekitar Jakarta Selatan. Ia aktif di beberapa media sosial terutama instagram: @buildingpeace dan LinkedIn: Isti Toq’ah.