Oleh: Lintang*
SuaraKita.org – Di balik setiap meja kerja, layar komputer, dan rapat daring yang kita jalani setiap hari, ada kehidupan pribadi yang disembunyikan dengan hati-hati. Tidak semua orang datang ke kantor dengan identitas yang sepenuhnya terlihat. Sebagian datang membawa beban rahasia yang harus mereka jaga rapat-rapat.
Bagi banyak karyawan LGBTQ+, ruang kerja bukan hanya tempat mencari nafkah, melainkan juga arena sosial yang terus menegosiasikan eksistensi diri. Apakah aman jika jujur tentang siapa saya? Apakah kantor ini siap menerima saya apa adanya?
Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana, tetapi tersimpan ketakutan yang nyata di baliknya. Ketakutan akan diperlakukan berbeda, dijadikan bahan gosip, dan bahkan kehilangan kesempatan karier.
Proses pengungkapan identitas yang disebut coming out sering kali disederhanakan oleh orang luar sebagai “sekadar mengaku”. Padahal, bagi banyak individu LGBTQ+, coming out bukan peristiwa tunggal, melainkan perjalanan panjang menuju keberanian dan penerimaan diri di dunia yang masih sering tidak ramah pada keberagaman.
Menjadi Diri Sendiri di Tempat yang Tidak Selalu Ramah
Human Rights Campaign (HRC) dalam panduannya Living Authentically menulis bahwa tidak ada satu cara tunggal untuk coming out. Setiap orang memiliki ritme, konteks, dan kenyamanan yang berbeda. Ada yang memilih berbicara langsung kepada rekan kerja terdekat. Ada yang menunjukkan identitasnya lewat simbol-simbol kecil seperti, foto pasangan di meja kerja, pin pelangi di tas, atau cara berpakaian yang lebih sesuai dengan jati diri. Namun, ada juga yang memilih diam, karena diam terasa lebih aman daripada kejujuran yang bisa menimbulkan risiko sosial atau profesional.
Keputusan untuk coming out di ruang kerja bukan hal sepele. Harvard Business Review (HBR) dalam artikelnya 7 Myths About Coming out at Work menegaskan bahwa banyak pekerja LGBTQ+ yang masih menyembunyikan identitasnya karena khawatir terhadap diskriminasi, penilaian negatif, atau hambatan karier. Meskipun di banyak negara telah ada perlindungan hukum terhadap orientasi seksual dan identitas gender, di tingkat praktik sehari-hari stigma masih melekat.
Di Indonesia sendiri, ketakutan itu lebih kompleks. Tidak adanya payung hukum yang tegas melindungi pekerja LGBTQ+ membuat keputusan untuk coming out di tempat kerja menjadi langkah yang penuh pertimbangan. Bagi sebagian orang, satu kata yang salah bisa berarti dijauhi rekan kerja, menjadi sasaran candaan, atau bahkan kehilangan pekerjaan.
Padahal, riset yang sama menunjukkan bahwa saat seseorang merasa aman menjadi diri sendiri di tempat kerja, kepuasan kerja, loyalitas, dan produktivitas akan meningkat secara signifikan. Seseorang yang tidak perlu mengedit dirinya setiap hari akan memiliki lebih banyak energi untuk fokus bekerja, bukan sekadar bertahan. Dalam bahasa sederhana, kebebasan untuk jujur membuat seseorang lebih hidup di tempat kerjanya.
Mitos-mitos tentang Coming out
Salah satu hambatan terbesar bagi inklusivitas di dunia kerja adalah banyaknya mitos tentang coming out. Mitos pertama yang sering terdengar adalah bahwa coming out tidak lagi relevan karena dunia sudah lebih terbuka. Kenyataannya, keterbukaan sosial tidak selalu sejalan dengan keamanan struktural.
Banyak perusahaan yang mengaku “ramah keberagaman” tetapi belum memiliki kebijakan yang konkret seperti, tidak ada perlindungan eksplisit dari diskriminasi berbasis orientasi seksual dan identitas gender, belum ada pelatihan keberagaman bagi manajer, dan belum ada fasilitas dasar seperti penggunaan nama atau gelar sesuai identitas gender seseorang.
Mitos kedua adalah bahwa coming out hanya perlu dilakukan sekali. Faktanya, bagi banyak orang LGBTQ+, proses ini berulang setiap kali mereka berganti tim, atasan, atau klien. Setiap perubahan lingkungan berarti keputusan baru dan kembali menimbulkan pertanyaan. Apakah aman untuk terbuka di sini? Apakah orang-orang ini akan memahami saya? Proses coming out adalah siklus yang tak pernah benar-benar selesai.
Mitos lainnya adalah bahwa coming out hanya menyangkut urusan pribadi dan tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa identitas seseorang memengaruhi pengalaman kerjanya secara langsung. Ketika seseorang harus terus menyembunyikan siapa dirinya, mereka hidup dalam kecemasan dan tekanan psikologis yang tinggi. Tekanan ini bisa menghambat komunikasi, kerja tim, dan bahkan kreativitas.
Banyak faktor eksternal yang ikut menentukan seperti budaya perusahaan, sikap manajer, norma sosial, hingga rumor di kantor. Bahkan tanpa berniat terbuka pun, seseorang bisa “terungkap” karena asumsi atau gosip. Hal ini bisa berdampak besar terhadap keamanan emosional maupun profesional mereka.
Inklusivitas Bukan Sekadar Poster
Beberapa perusahaan mungkin sudah mulai memajang poster di lobi kantor atau mengunggah unggahan bertema pelangi di media sosial saat bulan Juni, ketika Pride Month diperingati di seluruh dunia. Namun, muncul pertanyaan seperti, apakah inklusivitas itu benar-benar hidup dalam keseharian kantor?
Inklusivitas sejati tidak berhenti pada slogan atau simbol. Ia harus tumbuh dalam struktur, kebijakan, dan perilaku. Apakah HRD berani menindak kasus pelecehan berbasis orientasi atau identitas gender? Apakah rekan kerja berhenti melempar lelucon homofobik di ruang istirahat? Apakah sistem administrasi perusahaan memungkinkan karyawan trans menggunakan nama dan gelar sesuai identitasnya tanpa melalui birokrasi yang menyakitkan?
Dalam Coming out as Trans menyoroti bahwa bagi pekerja transgender, coming out di tempat kerja sering kali menyangkut hal-hal praktis contohnya, penggunaan toilet, seragam kerja, atau nama di kartu identitas. Hal-hal yang tampak sederhana ini bisa menjadi sumber kecemasan besar jika lingkungan tidak siap.
Inklusivitas berarti menciptakan ruang yang membuat seseorang tidak perlu terus-menerus menjelaskan keberadaannya. Ia adalah tentang memastikan bahwa setiap individu, apa pun orientasi dan identitasnya, merasa diakui dan dihormati.
Jalan Panjang Menuju Ruang Kerja yang Aman
Di Indonesia, pembicaraan tentang keragaman gender dan orientasi seksual masih sering dibingkai sebagai isu moral, bukan hak asasi manusia. Akibatnya, banyak pekerja LGBTQ+ memilih untuk “berkamuflase” demi keselamatan diri. Ada yang menghindari pembicaraan pribadi dengan rekan kerja, ada pula yang menciptakan “identitas palsu” dengan berpura-pura memiliki pasangan heteroseksual agar terhindar dari kecurigaan.
Kondisi ini pasti melelahkan. Tempat kerja yang seharusnya menjadi ruang profesional justru berubah menjadi arena pertunjukan yang membuat seseorang harus terus memainkan peran agar diterima. Padahal, ketika seseorang dipaksa untuk tidak jujur, bukan hanya semangat kerjanya yang hancur, tetapi juga rasa kemanusiaannya.
Namun, untuk menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif, perusahaan perlu melangkah lebih jauh dari sekadar jargon. Perlu ada komitmen nyata dalam kebijakan dan budaya organisasi. HRD harus dilatih untuk memahami isu keberagaman dan inklusi, termasuk cara menangani kasus diskriminasi dengan sensitif dan adil. Manajer harus dibekali kemampuan untuk memimpin tim yang beragam tanpa bias. Terakhir tidak kalah penting, setiap karyawan harus belajar menghargai perbedaan, bukan hanya menoleransinya.
Inklusivitas juga berarti keberanian untuk memperbaiki sistem yang bias. Misalnya, memperbaiki sistem formulir administrasi yang masih mengharuskan pilihan “laki-laki” atau “perempuan” tanpa ruang bagi identitas non-biner. Contoh lain juga, mengubah sistem evaluasi kerja yang menilai performa berdasarkan ekspresi gender yang dianggap “profesional” menurut standar heteronormatif. Perubahan kecil dalam struktur tersebut bisa berdampak besar bagi rasa aman seseorang.
Penutup
Coming out di tempat kerja adalah keputusan yang sangat personal dan tidak ada satu pun orang yang berhak memaksa atau menghakimi seseorang atas pilihannya. Namun, tanggung jawab moral dan sosial ada pada organisasi dengan cara memastikan bahwa siapa pun yang memilih untuk jujur tentang dirinya tidak akan kehilangan rasa aman, martabat, atau peluang kariernya.
Ruang kerja yang ideal bukanlah tempat semua orang harus sama, melainkan tempat setiap orang bisa berbeda tanpa takut dihakimi. Inklusivitas sejati dimulai dari kesadaran bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan kekayaan.
Selama ruang kerja masih membuat sebagian orang merasa harus bersembunyi untuk bertahan, artinya pekerjaan kita dalam membangun keadilan dan kemanusiaan belum selesai. Coming out bukan sekadar kisah tentang keberanian individu, tetapi juga cermin dari seberapa manusiawi tempat kerja kita hari ini.
*penulis adalah pekerja lepas berdomisili Bekasi, Jawa Barat.



