Search
Close this search box.

Coming Out: Bukan Dalam Ruang Hampa

Jakarta. Ourvoice – Ciptaan Allah tidak ada yang tidak normal, semuanya sempurna. Itulah salah satu kutipan dialog dalam fim “Ummi Aminah”, sebuah film yang menceritakan tentang ustazah Aminah dalam menghadapi persoalan  keluarganya. Salah satu permasalah yang dihadapi Ummi Aminah adalah kepribadian anak lelakinya, Zidan, yang feminim dan berprofesi sebagai pekerja salon. Di film ini diperlihatkan Ummi Aminah ikhlas menerima Zidan apa adanya, pun sifat keperempuanannya.

Comming out  atau pernyataan diri adalah satu titik dari  suatu proses panjang dalam menerima jati diri bagi kelompok lesbian gay biseksual dan transgender (LGBT).  Pada dasarnya comming out merupakan wujud kebebasan individu dalam mengungkapkan keinginannya. Meskipun begitu, kewajiban untuk comming out dalam individu LGBT masih menjadi perdebatan yang serius. Apakah perlu seorang LGBT mengungkapkan orientasi seksualnya di depan  keluarga dan publik?

Untuk itu, Ourvoice Indonesia, selaku organisasi LGBT yang bergerak di bidang media informasi mengadakan acara Halal Bihalal dengan nonton bareng film “Ummi Aminah”, performance kebudayaan dari kelompok LGBT dan diskusi santai mengenai coming out, Jum’at (24/8/2012). Diskusi santai ini mengundang Yanti Muchtar, keta dewan pengurus Kapal Perempuan. Di awal diskusi Yanti meminta berbagi pengalaman teman LGBT yang sudah coming out, ada tiga rekan yang mau berbagi kisah coming out mereka.


Sebut saja namanya, Dodo, seorang  yang suka berdandan perempuan dan berpenampilan feminim bercerita tentang pengalaman dirinya dengan keluarga. Waktu itu ketika pulang “dugem”,  Dodo punya kebiasaan menempelkan bulu mata palsu di cermin kamarnya. Hingga suatu pagi sang ibu melihat bulu mata palsunya, dan langsung ibu pun bertanya bulu mata palsu ini milik siapa? Dodo pun mengaku kalau itu miliknya dan dirinya memang senang berdandan perempuan. Reaksi sang ibu biasa saja, hingga akhirnya Dodo pun berani memperkenalkan pacar lelakinya kepada keluarga.

Lain lagi cerita Faisal, seorang gay asal Aceh. Dia tertangkap basah sedang bermesraan dengan pacar lelakinya di rumah orang tuannya. Orang tuannya pun kaget dan mengusir kekasihnya itu. Akhirnya dia dibawa ke seorang psikolog dan sang psikolog pun memberikan solusi agar dia tidak bersentuhan lagi dengan hal hal yang bersifat feminim. Namun solusi sang psikolog tidak ampuh, Faisal tetap menjadi gay dan dia merasa lebih bahagia dengan menjadi gay, ungkapnya.

Kisah lain datang dari seorang transgender asal kota Bogor, Nunu. Dia menceritakan bahwa sebenarnya dari kecil orang tuanya sudah melihat gelagat feminim dari anaknya itu. Keluarga Nunu pun bereaksi keras. Mereka memaksa supaya Nunu berubah menjadi lelaki ‘normal’.  Kakak lelaki Nunu menyuruh teman temannya agar memukuli Nunu, kemudian memaksa Nunu untuk meminum minuman keras. Bahkan Nunu sempat diancam akan dibunuh.

Perlakuan itu tidak membuat Nunu berubah. Akhirnya keluaga Nunu memutuskan untuk mengirim Nunu ke subuah Yayasan kejiwaan agar mengubah Nunu menjadi ‘lelaki sejati’.  Di Yayasan itu, Nunu diberikan pekerjaan yang berat berat, mengangkut berkarung karung pupuk, mencangkul tanah dan sebagainya. Namun hal itu tetap tidak membuat Nunu berubah. Hingga akhirnya Nunu keluar dari rumah dan “bersumpah” akan melakukan sesuatu yang bisa membuat keluarganya bangga. Nunu pun bertahan menjadi transgender hingga kini, dan orang tuanya pun sudah tidak terlalu kontra dengan dirinya.

Dari kisah kisah itu, Yanti memaparkan bahwa coming out bisa jadi fase yang sangat sulit, untuk itu komponen penting dalam proses coming out LGBT harus punya organisasi atau tempat yang bisa menguatkan dirinya dalam menghadapi penolakan keluarga. Organisasi LGBT dapat membuat zona aman di luar selain di keluarga mereka. Tempat alternative, tegas Yanti.


Menurut Yanti, memang perlu ada proses pendidikan bagi keluarga dan masyarakat untuk mampu melihat dan menghargai perbedaan karena logikanya semakin mampu suatu keluarga menerima perbedaan maka semakin mudah LGBT untuk coming out. Karena coming out bukan hanya persoalan individu dengan keluarga, tetapi ada aspek lain yang membuat proses coming out mengalami sulit, yaitu cara pandang masyarakat dan Negara. Untuk itu, menurut Yanti, individu-individu LGBT pun harus berani meng-edukasi masyarakan bagaimana menerima keberagaman seksualitas. Dan dilakukan secara sistematis melalui wadah/organisasi, jelas Yanti.

Terakhir, jadikan organisasi menjadi rumah “lain” yang aman bagi setiap LGBT untuk berjuangan salah satunya proses coming out, ungkap Yanti. (Teguh)