Search
Close this search box.

[Liputan] Cara Putra Bangkit dari Keterpurukan Berkat Dukungan Sebaya

 

Oleh: Fajar Zakri*

Setiap 20 November, Hari Peringatan Transgender atau Transgender Day of Remembrance diperingati di seluruh dunia untuk mengenang para transgender yang dibunuh akibat transphobia. Nyatanya, pembunuhan terhadap kelompok transgender tidak melulu berarti harfiah berupa kematian secara fisik, namun juga ‘pembunuhan’ terhadap akses terhadap lapangan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik.

Menutup bulan November ini, Suara Kita bertemu dengan Putra (27 tahun, bukan nama sebenarnya), salah satu transman yang sempat ‘dibunuh’ oleh sistem industri yang diskriminatif.

“Saat bekerja di pabrik untuk pertama kalinya, aku belum mengidentifikasikan diri sebagai transman, jadi aku tidak menemukan kesulitan saat bekerja di sana. Nah, masalah baru muncul setelah aku keluar dari pabrik tersebut dan mencoba mencari pekerjaan di pabrik kedua, sementara di kala itu aku sudah mengidentifikasi diri sebagai transman dan mulai melakukan terapi hormon,” jelasnya.

“Dengan adanya perubahan fisik, cukup sulit bagiku untuk diterima di tempat kerja baru. Pihak personalia di pabrik tersebut awalnya tidak mau menerima seseorang dengan ekspresi gender seperti laki-laki tetapi jenis kelamin di KTP tertulis perempuan. Meski ditolak, untungnya ada satu supervisor di pabrik itu yang mengenalku dan dia memberikan jaminan agar aku diterima di pabrik tersebut.”

Sayangnya, tak lama bekerja di sana, Putra mengundurkan diri karena habisnya bahan produksi. Masalah baru kemudian muncul saat dirinya mendaftar ke pabrik lainnya.

“Waktu itu fisikku sudah semakin berubah. Saat melamar, pihak personalia mengira aku adalah laki-laki cis, jadi dia menerimaku bekerja sebelum membuka lembar lamaran. Ketika aku sudah mulai bekerja, aku dipanggil secara khusus dan identitasku yang sebenarnya dipertanyakan. Personalia mengira aku menggunakan identitas orang lain,” cerita Putra. 

“Aku mencoba memberikan penjelasan, namun pihak personalia tidak mempercayai itu. Tetapi dia memberikanku kesempatan untuk terus bekerja di sana. Sayangnya team leader aku bertindak diskriminatif dan mencoba membuatku merasa tidak aman dan nyaman di tempat kerja. Baru empat hari bekerja, aku terus-menerus diceramahi agar segera berubah dan bertobat jika ingin terus bekerja dengan nyaman di pabrik itu. Akhirnya aku memilih untuk mengundurkan diri lagi.”

Memupuk semangat dan memperbaiki hidup

Perlakuan seperti itu tentu berdampak besar pada kondisi mental Putra.  Dirinya menjadi putus asa, kurang percaya diri, kecewa, sedih dan menutup diri.

“Aku benar-benar merasa sangat jatuh dan terpukul. Apalagi kejadian itu juga sangat berdampak terhadap kondisi finansialku, sampai-sampai terapi hormonku sempat berhenti kurang lebih selama 6 bulan karena terus berkurangnya ketersediaan dana untuk membeli hormonnya,” kenang Putra.

Beruntung Putra memiliki pasangan sekaligus kawan-kawan sesama transman yang suportif.

“Salah satu kawanku justru adalah orang pertama yang memberikan aku pemahaman tentang keberagaman gender, bahkan istilah transman itu sendiri. Kami saling menguatkan satu sama lain dan dia juga mengenalkanku ke beberapa kawan transman lain. Dari situ aku merasa kuat kembali karena aku sadar bahwa aku tidak sendiri dan bukan satu-satunya transman yang mengalami kesulitan hidup seperti itu,” ungkap Putra. 

Putra menyimpulkan, berbagi pengalaman dengan kawan-kawan berlatar belakang sama dan terus meningkatkan kapasitas pengetahuannya.

“Penting ketika kita hidup di lingkungan yang cenderung tidak ramah terhadap ragam gender dan seksualitas. Dari pengetahuan itulah kita bisa menilai apa yang perlu kita ucapkan atau lakukan ketika berhadapan dengan situasi diskriminatif,” kata Putra.

Dukungan sebaya ini pula yang membukakan akses pekerjaan kembali bagi Putra.

“Kawanku menawarkan berjualan secara online sebagai drop shipper. Dari situ aku terus belajar dan menekuni pekerjaan baruku ini. Sedikit demi sedikit aku mulai memperbaiki kondisi finansialku, walau masih ada saja tantangan, mulai dari ditipu reseller dan tidak balik untung karena harus mengganti uang customer.

“Tapi semua itu tidak bikin aku putus asa karena aku nyaman bekerja seperti ini. Apalagi aku bekerja di rumah sehingga minim terpapar tindak diskriminasi seperti yang aku alami saat bekerja di pabrik. Aku berharap pekerjaanku saat ini bisa terus aku tekuni dan mencukupi kebutuhan hidupku ke depan,” jelas Putra.

Identitas, bukan kejahatan

Putra beranggapan bahwa kelompok transman di Indonesia masih cukup tertinggal dibandingkan kelompok transpuan. Menurut pengamatannya, dari segi kapasitas pengetahuan maupun eksistensi di ruang publik, kelompok transpuan masih lebih berani speak up terkait perjuangan mereka.

“Tetapi transman justru sebaliknya. Aku tidak tahu alasan pastinya apa, tapi itulah realitas yang aku lihat. Bahkan meski sudah ada beberapa organisasi khusus transman, jumlahnya masih kurang banyak dibandingkan dengan organisasi transpuan atau orientasi seksual dan identitas gender minoritas lainnya.”

Oleh karenanya, Putra berharap ada lebih banyak organisasi berbasis SOGIESC yang bersedia memberikan kesempatan dan ruang untuk mewadahi kelompok transman agar mereka lebih turut serta dalam berorganisasi sekaligus meningkatkan kapasitas mereka di berbagai sektor. 

“Lebih dari itu, aku ingin kelompok transgender di Indonesia lebih diterima dan dilibatkan dalam konteks sosial, budaya dan ekonomi. Aku juga ingin masyarakat lebih meningkatkan rasa toleransi dan kemanusiaannya. Pemerintah pun perlu membukakan peluang yang sama dalam berbagai bidang bagi kelompok trans sekaligus berani dan mampu untuk memenuhi kesejahteraan kelompok trans, karena trans adalah identitas gender, bukan tindak kejahatan,” tutupnya.

 

*Penulis adalah penerjemah dan pekerja kreatif yang berbasis di Jakarta. Fokus aktivismenya turut meliputi pergerakan hak hewan dan lingkungan, terutama kedaulatan tanah dan pangan, sebagai bagian dari kredo anti opresi yang konsisten.