Oleh: Apriasong Apui*
Buku berjudul Bissu; Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis merupakan karya Halilintar Latief yang diterbitkan oleh Desantara pada Juli 2004. Dalam buku ini, pergulatan dan peranan bissu di masyarakat Bugis dari dahulu hingga sekarang dituliskan. Penulis memang memusatkan perhatiannya kepada kebudayaan-kebudayaan komunitas ritual dan kesenian tradisional. Oleh karena itu, beliau membahas seluk-beluk para bissu dan eksistensi mereka yang mulai pudar di masa kini.
Pergeseran pemahaman terhadap agama di zaman ini juga menggeser tradisi yang telah lama dijalankan. Hal ini terjadi disertai dengan perubahan sistem kepemimpinan yang semula berupa hierarki kerajaan menjadi sistem demokrasi negara kesatuan. Kekuasaan ini sudah cukup kuat untuk menggantikan posisi sakral para bissu dalam adat bugis. Buku ini berusaha mengingatkan kembali eksistensi para bissu di adat bugis sebagai bagian tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
Bissu merupakan istilah dalam bahasa bugis yang disematkan bagi orang-orang yang dianggap suci. Para bissu sendiri adalah transpuan yang memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding transpuan biasa. Bissu bertugas memimpin upacara-upacara sakral karena dianggap menghubungkan dunia nyata dan dunia maya. Oleh karena tugasnya pula, kehidupan mereka wajib menjauhi nafsu duniawi dan hanya melakukan hal-hal baik demi menjaga kerajaan dari kemalangan. Bissu dianggap perempuan sempurna yang tidak mengeluarkan darah haid. Meskipun begitu, ada banyak pantangan-pantangan di kehidupan para bissu.
Dalam adat bugis, bissu memegang peranan penting untuk menjaga kemakmuran dan kedamaian kerajaan. Kehidupan sehari-hari dibiayai oleh kerajaan, tetapi para bangsawan yang mengundang untuk memimpin upacara akan memberikan mereka upah juga. Menjadi bissu adalah tugas yang berat sekaligus terhormat sehingga proses untuk menjadi bissu cukup rumit. Untuk mendapatkan gelar bissu, para waria wajib mendapat panggilan jiwa dari alam gaib. Hal inilah yang menentukan ia dapat menjadi penghubung dunia nyata kepada dunia maya.
Tradisi upacara-upacara yang memerlukan bissu di masa kini tentu sudah tidak sepopuler dahulu. Agama-agama langit kini menjadi mayoritas di negeri ini sehingga menggantikan upacara-upacara leluhur yang dahulunya wajib dilakukan. Kehadiran agama membuat kegiatan yang dilakukan oleh bissu berubah menyerupai penyembahan berhala yang mengakibatkan dosa. Kehidupan setelah kematian adalah misteri bagi setiap manusia. Oleh karena itu, berbagai agama maupun tradisi seperti bissu berusaha menolong manusia menghadapi dunia akhirat. Karena posisinya sebagai pemantik keberhalaan, maka bissu dan upacara-upacara yang berkaitan dengannya menjadi kegiatan yang tidak diperkenankan.
Pada sisi lain, masyarakat juga berusaha melestarikan warisan budaya dari leluhur mereka. Para bissu diberikan sedikit ruang yang sepertinya tidak begitu terlihat. Hal yang memprihatinkan adalah kesakralan dari upacara para bissu berganti menjadi ikon wisata oleh pemerintah. Selain itu, sawah dan tanah kerajaan telah menjadi hak milik negara sehingga mata pencaharian para bissu juga lenyap. Oleh sebab itu, akibatnya sebagian besar mereka hidup dalam kemiskinan.
Buku ini sangat teliti dalam menjelaskan peranan bissu di kehidupan masyarakat Bugis. Penggunaan bahasa sedikit berbelit-belit namun masih bisa dipahami. Penulis telah melakukan kajian yang panjang dan mendapati para bissu juga diatur dalam tatanan kekuasaan dari yang tertinggi hingga posisi terendah. Selain itu, diperlihatkan juga kehidupan pribadi dan proses menjadi bissu. Bissu adalah orang yang kebal jika ditusuk belati. Apabila ia tidak kebal, maka belum layak menjadi bissu.
Buku ini terlihat berusaha mengingatkan masyarakat akan kekuasaan yang ada di dalam diri setiap bissu. Perlakuan yang tidak menyenangkan mulai dialami para bissu di masa kini. Kehadirannya diletakan pada posisi antara ada dan tiada. Tentunya, setiap orang berhak menentukan pemahamannya sehingga tidak masalah apabila ada yang memilih untuk mengikuti ajaran-ajaran tertentu. Meskipun demikian, atas dasar kemanusiaan tidak diperkenankan memaksa seseorang melepaskan tradisi demi sesuatu yang tidak diimaninya. Bagi anda yang tertarik dengan kehidupan transpuan suci, maka buku ini akan sangat sesuai bagi anda.
Perguliran zaman akan seiring dengan seleksi alam. Cara berpikir manusia akan memilah apa yang menurutnya benar dan menyingkirkan yang menurutnya tidak benar. Tidak semua orang berada di paham yang sama sehingga ada bagian-bagian tertentu yang mungkin terlupakan. Buku ini mengulas kembali mengapa bissu penting bagi kehidupan dunia ini. Misalnya upacara mappalettu dan mappalili yang wajib dilakukan demi hasil panen yang baik atau berlimpah.
Penulis memaparkan materinya dengan upaya menempatkan kepastian bagi posisi bissu yang tergantikan oleh agama dan sistem pemerintahan. Hal ini terjadi pasca kemunculan agama samawi dan perubahan sistem pemerintahan. Ketika agama muncul dan dianut masyarakat, maka posisi semua orang menjadi setara. Upacara-upacara yang sebelumnya wajib dilakukan pun mulai ditinggalkan. Posisi adat juga mulai melemah. Semua itu terbukti ketika wewenangnya tergantikan oleh pejabat pemerintah seperti para camat.
Semuanya hal yang dibahas tersebut dijelaskan secara detail oleh penulis dalam bukunya. Pembahasannya juga telah dipetakan dengan baik. Oleh sebab itu, pastikan membaca buku ini dengan pikiran yang tenang dan terbuka.
*Penulis adalah seorang Mahasiswa yang tengah menjalankan program magang di Suara Kita.