SuaraKita.org – Perkumpulan Suara Kita berdialog dengan para pemangku kepentingan dalam pertemuan di Jakarta pada Selasa (27/10) untuk berkolaborasi mengatasi tantangan stigma dan diskriminasi untuk mewujudkan lingkungan kerja yang inklusif bagi keragaman gender dan seksual.
Sebagai warga negara, hak untuk bekerja dan mendapatkan pekerjaan yang layak telah diatur dalam konstitusi RI, pada pasal 27 (2) UUD 1945 dengan bunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Kemudian diatur kembali pada peraturan turunan UU No.13/2013 Tentang Ketenagakerjaan dan diperbarui melalui pengesahan UU No.11/2020 Tentang Cipta Kerja/Omnibus Law.
Tetapi sampai dengan saat ini, kelompok LGBTIQ+ masih kesulitan mengakses pasar kerja khususnya sektor formal. Seperti pada paparan hasil riset Suara Kita pada 2018 tentang dampak inklusi ekonomi bagi kelompok keragaman gender dan seksualitas.
Riset menunjukan bahwa kerentanan berlapis terutama dialami sebagian besar transpuan akibat stigma, diskriminasi, ancaman persekusi dan kekerasan seksual yang dimulai dari lingkungan keluarga dan masyarakat.
Sebagian besar transpuan hidup sendiri tanpa keluarga dan putus pendidikan formal pada usia anak, tidak memiliki identitas (E-KTP/KK). Dampaknya sebagian besar transpuan terutama lansia mengalami kemiskinan ekstrim tanpa akses jaminan sosial dan tentu saja hal ini berdampak merugikan bagi pembangunan negara.
Pendampingan kepemilikan E-KTP dan jaminan kesehatan serta sosial bagi transpuan telah dilakukan oleh Suara Kita sejak berdiri pada 2007, kemudian berdasarkan hasil riset tersebut, Suara Kita sepanjang 2018-2021 telah bekerjasama dengan para pelaku usaha untuk mengadakan sejumlah diskusi untuk peluang menciptakan lingkungan kerja inklusif bagi kelompok rentan dan marjinal.
Suara kita, suara kami dan suara mereka untuk kebijakan kerja yang inklusif bagi keragaman gender dan seksual (LGBTIQ+)
Mari kita simak bersama suara mereka, yaitu sejumlah orang yang mengikuti konferensi multisektor Suara Kita dan mendukung upaya penghapusan stigma dan diskriminasi yang masih menjadi tantangan utama LGBTIQ+ dalam mengakses pekerjaan terutama di sektor formal.
Suara pertama disampaikan oleh Verawati BR Tompul, akademisi, praktisi dan pengurus Suara Kita. Selaku moderator pada konferensi multi sektor, Vee kembali merangkum bahwa jaminan pemenuhan hak bekerja dalam konstitusi, yaitu UUD 1945 Pasal 27 (2) dengan bunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan UU No.13/2003 Tentang Ketenagakerjaan belum dapat diwujudkan saat ini.
“Banyak sekali penelitian yang menunjukan kesulitan untuk mengakses pekerjaan masih sulit, sehingga perlu aturan khusus mengenai perlindungan hukum, peraturan turunan tentang pemenuhan hak gender dan seksual minoritas sebagaimana dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan RI untuk penyandang disabilitas melalui Peraturan Menteri,” katanya.
Vee, begitu dia biasa dipanggil melanjutkan, perlu juga dirumuskan petunjuk pelaksana dan atau teknis dari peraturan turunan atau peraturan pelaksana yang menjadi kewajiban diterapkan perusahaan sampai dengan berlaku pada standar operasional prosedur (SOP) perusahaan, sehingga tidak ada lagi diskriminasi seperti yang dialami mulai dari proses open recruitment dan interview seperti yang dialami oleh teman-teman dalam penelitian.
Hal lain yang ditekankan oleh Vee yaitu langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh NGO yang memiliki kerinduan dan kepedulian yang sama bagi pemenuhan hak untuk inklusi LGBTIQ+ adalah elaborasi untuk merespon usulan dari kemenaker pada jalur audiensi, sehingga audiensi dapat terealisasi bersama.
Peserta lain, Becca, perwakilan dari Hivos turut menyuarakan hal yang senada disampaikan Vee usai diskusi panel oleh narasumber, menurutnya berdasarkan sebuah penelitian ada situasi tantangan mengakses pekerjaan formal adalah stigma di perusahaan terutama terhadap transpuan atau waria. “Bukan karena tingkat pendidikan rendah melainkan stigma pada proses rekrutmen,” tuturnya.
Becca menyoroti stigma tersebut telah menjadi hal yang kontra produktif, sehingga kita perlu mendorong Kemenaker untuk membuat petunjuk pelaksana dan teknis sehingga tidak ada lagi hal serupa dialami oleh tenaga kerja transpuan atau waria.
Masih senada dengan Vee dan Becca, turut disampaikan Leni, perwakilan Jaringan Transgender Indonesia bahwa stigma gangguan mental terhadap mereka perlu dihapuskan terutama pada dunia kerja.
Sementara peserta lain, Wawan perwakilan lembaga OPSI pada diskusi tanya jawab dengan narasumber mengingatkan kita semua bahwa pada sektor informal, sebagian transpuan berprofesi sebagai pekerja seks namun sampai saat ini profesi tersebut tidak diakui oleh negara dan Wawan juga menyampaikan agar kebijakan ILO khususnya yang mendukung bagi pemenuhan hak bekerja LGBTIQ+ dapat terintegrasi dengan kebijakan nasional.
Inklusi keragaman gender dan seksual, Interseksionalitas dan kemitraan
Rosa, salah seorang aktivis LSM Yayasan Srikandi Sejati sekaligus focal point dari Suara Kita untuk pendampingan E-KTP wilayah Jakarta Pusat menyampaikan bahwa teman-teman transpuan masih kesulitan untuk mengakses pekerjaan pada sektor formal, “Mulai pada seleksi administrasi atau interview, tidak boleh berambut panjang dan ekspresi gender lainnya. Berbeda dengan teman-teman gay yang tidak memiliki ekspresi gender seperti transpuan,” katanya.
Harapan yang disuarakan Rosa, “Komunitas transpuan atau waria tidak dibatasi hanya bekerja ngamen, mangkal karena tingkat pendidikan yang rendah, ada juga sebagian yang berbakat misalnya punya keterampilan IT lulusan sarjana, manajemen atau sekretaris atau lainnya, tetapi masih ada stigma dan diskriminasi dari masyarakat karena ekspresi gender kami,” ujarnya.
Rosa melanjutkan bahwa kelompok waria juga manusia, “hak kita sama dengan yang lain untuk mendapatkan pekerjaan, kalau penyandang disabilitas bisa diterima bekerja di perusahaan dan instansi pemerintah kenapa kita tidak bisa? Kami setara, maka kami perlu disertakan dalam peraturan yang mendukung agar kami bisa bekerja di sektor formal,” tuturnya lagi.
Senada dengan Rosa, suara berikutnya dari seorang pekerja kemanusiaan perwakilan ADRA, Yusi Bidi, “Saya bersyukur kembali diingatkan melalui konferensi ini dan saya setuju dengan paparan materi dari perwakilan ILO bahwa cara pandang terhadap keragaman dan inklusi harus dimulai dari diri kita sendiri, sehingga keluarannya terlihat dalam cara kita berkomunikasi, cara kita berbisnis secara luas termasuk cara menjalankan kerja-kerja kemanusiaan termasuk pada kebijakannya,” katanya.
Belajar dari inklusi penyandang disabilitas dalam dunia kerja menurut Yusi, menempatkan mereka sebagai manusia dan warga negara maka hak mereka untuk dilibatkan sebagai subjek dalam pekerjaan sektor formal dan dilibatkan dalam dialog yang terkait dengan layanan.
Pada sisi lain, Yusi juga menyadari bahwa untuk inklusi keragaman gender dan seksual, kita akan kembali berhadapan dengan pemerintah dan masyarakat Indonesia yang mengadopsi nilai agama pada kebijakan yang mempengaruhi tekanan yang melahirkan pembatasan kesempatan bagi pemberi kerja.
Yusi juga menyebutkan bahwa beberapa negara maju yang memisahkan nilai agama pada ranah personal dan agama, tidak mengalami hal yang serupa dengan Indonesia. Belanda, Jerman dan Thailand juga beragama tetapi mereka tidak mengadopsi nilai agama dalam kebijakan yang membatasi hak kelompok minoritas seperti terjadi di Indonesia.
Maka Yusi melihat penting untuk dimulai dari diri kita sendiri sebagai individu untuk mengubah cara pandang terhadap keragaman gender dan seksual minoritas dan untuk itu kita juga bisa mempelajari melalui cara pandang terhadap penyandang disabilitas.
“Bukan diawali dengan mengasihani mereka dan kembali menempatkan mereka sebagai penerima charity saja, sebab sama saja berarti kita membatasi mereka dengan keterbatasannya. Tetapi cara berpikir menghormati dignity mereka yang setara dengan kita dan memberikan mereka kepercayaan serta kesempatan dengan kapasitas yang berbeda-beda,” ujarnya dengan penuh keharuan.
Ketika mengubah konsep berpikir terhadap keterbatasan mereka, Yusi menyadari hal itu akan mengubah keputusan sebelumnya yang tidak melibatkan karena rasa kasihan atas keterbatasan menjadi memberikan kepercayaan untuk melibatkan mereka untuk ikut berkontribusi dalam perusahaan sebagai subjek yang mutual sebagai mitra dan pada akhirnya dapat mempengaruhi cara pandang masyarakat.
Selanjutnya, pelibatan mereka dalam profesi sektor formal tentu saja dimulai dari cara berpikir dari para leader atau manajemen lembaga yang dapat mempengaruhi karakteristik atau proses bisnis secara keseluruhan dari nilai atau prinsip dan cara pandang yang kemudian diadopsi lembaga atau perusahaan sampai terlihat pada praktek kebijakan atau aturannya.
“Membuka kesempatan seluasnya untuk keragaman gender dan seksual dan penyandang disabilitas, diikuti dengan aturan teknis pelaksanaan seperti misalnya dukungan alokasi dana anggaran, infrastruktur dan fasilitas yang tepat mendukung aksesibilitas dengan kebutuhan yang berbeda-beda,” ujarnya.
Tidak mungkin kemudian menyamakan anggaran yang sama dengan non-disabilitas, seperti disampaikan oleh salah satu narasumber penyandang disabilitas netradari sesi focus group discussion, Retha. “Disabilitas netra misalnya membutuhkan pendamping untuk datang pada kegiatan tertentu, berarti perlu dukungan anggaran yang menyertakan kebutuhan pendamping,” tuturnya lagi.
Selain itu juga perlu mengenali adanya kebutuhan yang berbeda dari setiap penyandang disabilitas dengan keragaman keterbatasan yang ada. Sehingga untuk merumuskan kebijakan yang pro inklusi atau mengevaluasi layanan perlu melibatkan mereka sebagai subjek.
Pada sisi lain, Yusi juga menyadari bahwa untuk inklusi keragaman gender dan seksual, kita akan kembali berhadapan dengan pemerintah dan masyarakat yang mengadopsi nilai agama pada kebijakan yang mempengaruhi pembatasan kesempatan bagi pemberi kerja. (Fio)