Search
Close this search box.

Saatnya Membangun Dunia Kerja yang Inklusif Bagi Kelompok Marjinal

SuaraKita.org – Perkumpulan Suara Kita berdialog dengan para pemangku kepentingan dalam pertemuan di Jakarta pada Selasa (27/10) untuk berkolaborasi mengatasi tantangan stigma dan diskriminasi untuk mewujudkan lingkungan kerja yang inklusif bagi keragaman gender dan seksual.

Pertemuan itu diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya pada pagi hari diikuti dengan khidmat oleh 60 orang peserta dari perwakilan beberapa lembaga dan dihadiri juga oleh perwakilan dari Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemenaker RI) dan semuanya adalah warga negara Indonesia.

Sebagai warga negara, hak untuk bekerja dan mendapatkan pekerjaan yang layak telah diatur dalam konstitusi RI, pada pasal 27 (2) UUD 1945 dengan bunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Kemudian diatur kembali pada peraturan turunan UU No.13/2013 Tentang Ketenagakerjaan dan diperbarui melalui pengesahan UU No.11/2020 Tentang Cipta Kerja/Omnibus Law.

Tetapi sampai dengan saat ini, kelompok LGBTIQ+ masih kesulitan mengakses pasar kerja khususnya sektor formal, seperti disampaikan oleh Bambang Prayudi, Direktur Perkumpulan Suara Kita yang menjelaskan tujuan dari diadakannya “Konferensi multi-sektor : Membangun Dunia Kerja yang Inklusif Bagi Kelompok Marjinal”.

“Suara Kita berkepentingan dengan inklusi dunia kerja dengan keragaman gender dan seksual minoritas, karena dalam keragaman tersebut khususnya untuk teman-teman trans perempuan (transpuan/waria) dan trans laki-laki (transpria/priawan) masih sulit mendapatkan akses pekerjaan, bertolak dari proses rekrutmen yang mementingkan penampilan luar atau fisik daripada kualitas calon pekerja. Dan dalam kegiatan ini kami melibatkan perwakilan multisektor (Kementerian Ketenagakerjaan RI, International Labour Organization/ILO, perwakilan buruh dan pelaku usaha dari komunitas untuk membicarakan inklusivitas bersama,” katanya.

Yudi kembali menjelaskan bahwa pertemuan ini sangat penting terutama untuk berdialog dengan para pemangku kepentingan. “Tantangan dan peluang kami yakin masih ada tapi dengan dialog kami yakin akan memecah dinding-dinding kebisuan antara pembuat regulasi dan pelaku regulasi serta (kelompok) keragaman gender dan seksual minoritas,” tuturnya.

Sebagai pengantar sebelum diskusi panel yang dipaparkan oleh 4 orang narasumber, materi diawali dengan paparan hasil riset Suara Kita pada 2018 tentang dampak inklusi ekonomi bagi kelompok keragaman gender dan seksualitas dan pemutaran film singkat berdasarkan kisah nyata yang dialami seorang transgender.

Riset menunjukan bahwa kerentanan berlapis terutama dialami sebagian besar transpuan akibat stigma, diskriminasi, ancaman persekusi dan kekerasan seksual yang dimulai dari lingkungan keluarga dan masyarakat.

Sebagian besar transpuan hidup sendiri tanpa keluarga dan putus pendidikan formal pada usia anak, tidak memiliki identitas (E-KTP/KK). Dampaknya sebagian besar transpuan terutama lansia mengalami kemiskinan ekstrim tanpa akses jaminan sosial dan tentu saja hal ini berdampak merugikan bagi pembangunan negara.

Pendampingan kepemilikan E-KTP dan jaminan kesehatan serta sosial bagi transpuan telah dilakukan oleh Suara Kita sejak berdiri pada 2007, kemudian berdasarkan hasil riset tersebut, Suara Kita sepanjang 2018-2021 telah bekerjasama dengan para pelaku usaha untuk mengadakan sejumlah diskusi untuk peluang menciptakan lingkungan kerja inklusif bagi kelompok rentan dan marjinal.

Selanjutnya, pada 2021 sampai dengan saat ini Suara Kita bekerjasama dengan Asian Development Bank (ADB) dalam pengembangan protokol safeguard policy dengan menyertakan SOGIESC yang akan diterapkan pada sistem ketenagakerjaan di ADB.

Penghargaan keragaman gender dan seksual minoritas mengawali inklusi.

Sebelum diskusi panel yang disampaikan oleh para narasumber, Suara Kita mengajak peserta menyaksikan film pendek berdasarkan kisah nyata yang menyampaikan pesan inklusi dalam dunia pendidikan. Dewi, seorang guru Bahasa Inggris yang berprestasi di sekolah dasar dan membawa murid-muridnya menjuarai kompetisi terancam dipecat karena berbeda ekspresi gender yang kebetulan diketahui oleh rekan guru lain di luar sekolahnya.

Dalam rapat evaluasi yang dipimpin oleh kepala sekolah dan diikuti oleh tiga orang guru termasuk Dewi, dikeluarkan syarat bagi Dewi agar “menyesuaikan” ekspresi gender di luar sekolah berdasarkan usulan dari salah satu rekan guru yang berkeberatan dengan alasan bahwa perilaku Dewi dapat mempengaruhi anak didiknya.

Dewi dengan terpaksa menolak syarat tersebut, namun murid-muridnya yang berprestasi tidak mengizinkan guru tersebut keluar dari sekolah. Akhir cerita, Dewi berhasil bernegosiasi dengan pihak sekolah untuk mengizinkan dirinya tetap mengajar dengan ekspresi gender yang berbeda.

Ada pesan kuat yang disampaikan dalam film singkat tadi, bahwa penghargaan terhadap keragaman gender dan seksual minoritas dapat menjadi dukungan bagi akses hak bekerja dan mendapatkan pekerjaan layak bagi kelompok LGBTIQ+.

Peserta memberikan tepuk tangan meriah menyambut baik pesan dari film tersebut, kemudian konferensi dilanjutkan dengan diskusi panel yaitu pemaparan oleh narasumber.
Dialog dan kolaborasi multi sektor menuju kebijakan inklusi dan interseksional kelompok marginal dan rentan

Perwakilan dari ILO, Early Dewi Nuriana, menyampaikan bahwa ILO telah berupaya mendorong pelaku usaha khususnya di sektor formal untuk melihat bahwa diskriminasi terhadap pekerja LGBTIQ+ seperti dalam film singkat sebelumnya akan menimbulkan dampak kerugian bagi perusahaan atau pelaku usaha, misalnya biaya tinggi dalam proses rekrutmen kandidat.

Dan saat ini pihaknya tengah mengembangkan panduan terbaru untuk inklusi bagi LGBTIQ+ di tempat kerja dimana hal tersebut sebagai bagian dari upaya penerapan perlindungan sosial bagi kelompok keragaman gender dan seksual yang diterapkan dalam dunia usaha sekaligus harapannya dapat menjadi konsep bisnis yang menguntungkan bagi pelaku usaha.

“Peran ILO memberikan arahan ke negara anggota, dan dalam proses pengambilan keputusan dalam inklusi terhadap keragaman gender dan seksual minoritas dalam dunia kerja penting untuk diterapkan dialog sosial bipartit misalnya antara pengusaha dan buruh dan atau tripartit yaitu pemerintah, pengusaha dan buruh,” katanya.

Pemaparan kedua, oleh Sulistri, perwakilan dari Federasi Serikat Buruh Makanan Minuman Pariwisata Restoran Hotel dan Tembakau (FSB KAMIPARHO) menekankan pada tiga tolak ukur pembangunan yaitu akses hak ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang belum terbuka untuk semua golongan dalam dunia kerja khususnya pada pekerja sektor informal dan masih ada diskriminasi, misalnya ketiadaan jaminan sosial bagi pekerja sektor informal dari pemerintah.

Disoroti oleh Sulistri bahwa sejauh ini kebijakan nasional melalui Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah (Undang-Undang No. 4/1997 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah 43/1998 tentang Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas) yang mendukung inklusi dunia kerja bagi kelompok marginal diterapkan untuk kelompok penyandang disabilitas.

Menurutnya hal yang sama bisa diterapkan oleh pemerintah untuk inklusi keragaman gender dan seksual pada dunia kerja. “Sudah ada penerapan kebijakan kuota 1% dari penyandang disabilitas untuk inklusi pada perusahaan dan 2% bagi instansi pemerintah,” ujarnya.

Sulistri juga menanggapi kebijakan ILO yang mendukung inklusi bagi kelompok LGBTIQ+ khususnya pada sektor formal menurutnya kebijakan tersebut harus terintegrasi dengan kebijakan nasional. Selain itu, ia juga mengingatkan pentingnya untuk bergerak bersama melalui ajakan berorganisasi, bermitra dan berdialog antar lembaga serta meningkatkan kapasitas untuk mendukung dialog. “Agar semakin besar suara yang dapat didengar luas sehingga dengan begitu kita dapat memenuhi kebutuhan kita,” tuturnya.

Pemaparan ketiga oleh Gunawan, perwakilan pelaku usaha komunitas yang bergerak di bidang perhotelan dan UMKM telah menerapkan inklusi bagi kelompok LGBTIQ+ termasuk penyandang disabilitas sebagai pekerja sebanyak hampir 40% yaitu 17 orang dari total pekerja sebanyak 35 orang. Seperti diakui Gunawan tidak mudah untuk melatih pekerja penyandang disabilitas tuna rungu namun bukan berarti tidak bisa dilakukan.

Berangkat dari kesulitan tersebut Gunawan memformulasikan pelatihan karyawan yang disesuaikan dengan kebutuhan penyandang disabilitas juga menyertakan pemahaman SOGIESC sebagai ruh utama dalam inklusi keragaman gender dan seksual. “Dan hati-hati untuk menggunakan kata waras atau tidak waras, saya belajar dari pengalaman bahwa masyarakat umum masih menganggap teman-teman kita yang berbeda ekspresi gendernya dan penyandang disabilitas tidak waras,” ujarnya.

Tidak hanya mengafirmasi inklusi, Gunawan juga menyebarluaskan pengalamannya melalui pelatihan publik sebagai dialog sosial dan edukasi bagi masyarakat atau pelaku usaha. Dan saat ini diakui oleh Gunawan usahanya telah menjadi best practice bagi pelaku usaha serupa di sekitar dan masyarakat agar terbuka dan mau mempekerjakan kelompok marginal.

“Menghargai harkat dan martabat kemanusiaan, sehingga kesempatan di dunia kerja lebih terbuka,” ungkapnya.

Pemaparan terakhir oleh Suherman, perwakilan Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemenaker RI), menyampaikan untuk kebijakan khusus inklusi keragaman gender dan seksual dalam dunia kerja perlu dukungan dari semua pihak selain juga akan merujuk pada kebijakan ILO.

Suherman menanggapi perwakilan dari buruh dan lembaga juga dapat melakukan audiensi atau dialog dengan Kemenaker. “Kementerian ketenagakerjaan perlu menyerap berbagai macam masukan untuk mendorong kebijakan dan untuk itu perlu dukungan dari semua,” ujarnya.

Sebagai penutup dari diskusi panel oleh para narasumber disampaikan kesimpulan oleh moderator dari Suara Kita, Verawati BR Tompul, bahwa untuk melahirkan kebijakan inklusi pada dunia kerja bagi kelompok marginal ada mekanisme tersendiri dan untuk dapat melakukannya, kita tidak bisa sendiri. (Fio)