Search
Close this search box.

Transpuan Lansia dan Kehadiran Negara

 

Oleh: Hartoyo

SuaraKita.org – Wajahnya cantik untuk ukuran “perempuan” Indonesia.  Apalagi dia merawat tubuhnya cukup serius, melakukan perlakuan medis terhadap tubuhnya dengan biaya cukup tinggi.  Sehingga terlihat perempuan “paripurna” untuk standar kaca mata publik.  

Dengan modal “tubuh dan kecantikannya” itulah câranya bertahan hidup untuk dâpat bernegosiasi dengan keluarganya. Tujuannya agar bisa diterima kembali sebagai bagian keluarga, dia yang selama ini telah terbuang. 

Beragam upaya dilakukannya untuk diterima oleh keluarga, minimal keluarga intinya. Walau ujung-ujungnya komunikasi dirinya dengan keluarga menggunakan media uang. Apalagi dirinya berasal dari keluarga miskin.  

Semua kebutuhan keluarga seolah-olah menjadi tanggung jawabnya.  Mulai kebutuhan orang tua,  sekolah adik,  sampai urusan tetek bengek keluarga inti menjadi bagian utama tanggung jawabnya. 

Dirinya terkesan bahagia dan ikhlas melakukannya,  walau beberapa kali mengeluh terasa bẻrat melakukannya. Tapi seperti tak ada câra lain untuk diterima keluarga, selain memberikan uang.   

Apalagi ketika dỉrinya sendiri yang hidup bermigrasi ke kota tanpa punya modal keterampilan dan pendidikan yang cukup. Modal utamanya kecantikan tubuh dan bagaimana bernegosiasi atas tubuhnya pada pihak yang menginginkannya. Itulah cara dirinya mengumpulkan uang bagi kebutuhan keluarga. Bukan hina pekerjaannya, tapi penuh risiko.   

Walaupun memiliki usaha salon atau lainnya, tidak mudah bagi seorang transpuan merintisnya. Apalagi berjuang dalam sistem sosial dan politik, ekonomi yang sangat-sangat diskriminatif pada kelompok ini.  

Keluarga mungkin tahu akan kesulitan itu, tapi keluarga seperti tidak peduli tentang persoalan yang dihadapinya. Semua terjadi seperti relasi simbiosis mutualisme sâja. Kami terima, karena kamu membantu kebutuhan kami.  

Itulah satu cara agar dirinya diakui dan diterima sebagai bagian dari anggota keluarga,  sedangkan keluarga membutuhkan uang untuk meneruskan hidup. Disitu titik temunya  

Sedikit gambaran yang terjadi pada kawan transpuan untuk survive dan diterima keluarga. walau tidak semua transpuan situasinya begitu. 

Ada sebagian keluarga yang menerimanya lebih baik, terutama keluarga yang sejak awal sudah menerimanya apa adanya. 

Tapi banyak transpuan yang masih sulit diterima oleh keluarganya dari muda sampai masa tuanya karena banyak faktor. Salah satunya kemiskinan dirinya semasa hidup. Tubuhnya tidak seindah yang diinginkan pasar patriarki atau keterampilannya tidak cukup mampu bersaing di pasar kapitalis.  

Bagaimana situasinya ketika transpuan itu makin tua? Tubuhnya makin kurang diminati pelanggan, kemampuan makin menurun? Kemana mereka akan pergi? Bagaimana mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka ?  

Apakah kebaikan dirinya pada keluarga akan otomatis membuat anggota keluarganya akan membantunya? Apalagi kedua orang tua makin tua, bạhkan sudah meninggal.  Kakak dan adik-adiknya sudah berkeluarga dan punya kehidupan masing-masing.  

Sementaranya dirinya sudah tidak mampu lagi menjadi “donatur” tetap keluarganya. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri saja sudah sangat sulit. 

Bagaimana pula yang sẹlama hidupnya tidak diterima oleh keluarga dan sosial. Terbuang selama hidupnya,  bagaimana nasib para transpuan lansia tersebut?  Tentu akan makin rumit.  

Untuk kasus seperti ini, sulit diceritakan kondisinya, apalagi ketika layanan pemerintah tidak mampu menjangkaunya dan korban tidak terakses pula oleh layanan komunitas. Saat itulah situasi yang sangat sulit diuraikan disini.  

Memang sebagian transpuan lansia, terutama yang masih punya modal uang atau selama ini menjadi tulang punggung keluarga, ada yang memilih kembali hidup bersama keluarga, dengan adik dan keponakannya.  

Tetapi pada banyak kasus, penerimaan anggota keluarga sangat di bawah standar,  kalau tidak dikatakan dibiarkan hidup dalam kesengsaraan, sebelum kematian mẹnjemputnya. Belum lagi soal ekspresi dan identitas gendernya.  

Biasanya akan kembali ke jalan yang “normal” secara penampilan dan perilaku. Berpenampilan seperti umumnya laki-laki,  pendiam pastinya,  dan selalu ibadah untuk minta ampun atas “dosa-dosanya” selama hidupnya.  

Bagaimana dukungan komunitas bagi mereka? 

Karena kondisi dan kekuatan sumber daya organisasi komunitas juga masih sangat lemah, sehingga masih sedikit sekali organisasi komunitas fokus pada isu ini.  Apalagi ketika tidak ada donor yang secara program fokus pada isu ini.  

Ada memang upaya-upaya komunitas yang sudah dilakukan untuk menjawab persoalan ini di beberapa kota, seperti Yogyakarta, Jakarta, dan mungkin kota lain juga. 

Tapi bagaimana upaya komunitas membantu para transpuan lansia secara sistematis dengan melibatkan banyak aktor, terutama mengembalikan tanggung jawab pêmerintah? Itu yang mẹnjadi tugas besar komunitas sekarang dan kedepannya.  

Belum lagi tingkat kesadaran dan sensitivitas komunitas sendiri masih perlu ditingkatkan untuk persoalan ini. Memang setiap komunitas mungkin tahu akan realitas itu, tapi tidak tạhu apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya. 

Disitulah saat yang sangat penting, prioritas untuk membahas dan melakukan aksi nyata solidaritas komunitas dan publik untuk mengadvokasi kehadiran pemerintah secara maksimal.