Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Beberapa pendukung dan pembela hak LGBT terkemuka di dunia beberapa waktu yang lalu berkumpul di Bangkok untuk kembali merefleksikan Prinsip Yogyakarta yang bersejarah.

“Prinsip Yogyakarta secara ringkas mengartikulasikan hukum hak asasi manusia internasional yang melindungi semua orang terlepas dari orientasi seksual dan identitas gender mereka,” kata Vitit Muntarbhorn, Ahli Independen Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ditugaskan untuk menyelidiki kekerasan dan diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender.

Prinsip Yogyakarta sangat strategis dalam menentukan tindakan yang dibutuhkan, seperti dekriminalisasi hubungan seksual sesama jenis. Konferensi Bangkok dihadiri oleh lebih dari 100 ahli dari organisasi LGBT, lembaga hak asasi manusia, kelompok peneliti, PBB dan lebih dari 25 negara mitra. Konferensi tersebut diselenggarakan oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan Asia Pacific Forum of National Human Rights Institution (APF). Prinsip-prinsip tersebut telah membantu untuk memandu gerakan inklusifitas terhadap LGBT agar cakupannya lebih luas.

Dalam prakteknya, di Nepal sebagai contoh, Prinsip Yogyakarta membantu memandu usaha mereka dalam mempromosikan kesetaraan.

“Bagi kami, Prinsip Yogyakarta telah menjadi alat yang sangat berharga untuk mengadvokasi perubahan kebijakan dan hukum mengenai minoritas seksual dan gender, termasuk sebagai bagian dari upaya sukses kami untuk memastikan konstitusi baru Nepal mengandung perlindungan eksplisit bagi masyarakat LGBT,” kata Manisha Dhakal, Direktur Eksekutif Blue Diamond Society, Nepal. “Prinsip-prinsip tersebut juga telah digunakan untuk memperkuat kapasitas masyarakat sipil untuk mengadvokasi hak asasi mereka.”

Peserta konferensi tersebut merefleksikan kembali beberapa pencapaian besar dalam 10 tahun terakhir. Tapi mereka mengakui masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Dikatakan oleh mereka bahwa masih ada individu-individu LGBT yang terstigma, mengalami diskriminasi dan kekerasan di bidang pendidikan, pekerjaan, perawatan kesehatan, di komunitas mereka dan bahkan di dalam keluarga mereka. Termasuk sering hilangnya kesempatan mereka untuk memperoleh hak-hak mereka di segala bidang.

Mereka juga sepakat bahwa pembuat kebijakan, pendukung publik dan hak asasi manusia memiliki banyak kesalahpahaman dan kurangnya kesadaran tentang variasi interseks.

“Melihat ke belakang, 10 tahun yang lalu, kita tidak dapat membayangkan bahwa kita akan melakukan perluasan dan konsistensi kerja sehubungan dengan hak LGBT,” kata Pip Dargan, Wakil Direktur APF. “Kita sekarang memiliki sejarah yang dapat membimbing kita untuk mengetahui seberapa banyak hal yang dapat dicapai dalam mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia LGBT dalam 10 tahun ke depan.” (R.A.W)

Sumber:

GSN