Search
Close this search box.

[Liputan] Hari Toleransi Internasional: Ngaji Pluralitas & Toleransi

SuaraKita.org – Rabu, 16 November 2016, bertempat di Halaman Kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Gorontalo. Komunitas GUSDURian GORONTALO mengadakan diskusi atau Ngaji Pluralitas dan Toleransi dengan judul “Memaknai Pluralitas & Toleransi Kaum Muda” dalam rangka memperingati Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada 16 November.

Dalam kegiatan ini turut pula dihadiri oleh pembicara Romo Samsi Pomalingo dari Forum Komunikasi Lintas Iman Gorontalo (FORKASI), Muh. Djufri Hard sebagai Dewan Pembina Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM NU) Kota Gorontalo, Cristopel Paino seorang Pegiat Isu Keberagaman dan moderator oleh Djemi Radji sebagai Koordinator Jaringan GUSDURIAN Gorontalo.

Kegiatan ini dihadiri oleh beberapa organisasi diantaranya Gerakan Pemuda Ansor (Gp. Ansor), Kopri PMII Putri Gorontalo, FORKASI, Binthe Pelangi Gorontalo, dan Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser) Kota Gorontalo . “Diksusi ini diadakan untuk menyikapi berbagai tindak diskriminasi yang dialami oleh kelompok minoritas terutama di Gorontalo, minoritas yang didiskriminasi berdasarkan keyakinannya dan yang lainnya. Seperti yang baru saja terjadi yaitu pernyataan diskriminatif  Rektor Universitas Negri Goronalo terhadap keberadaan kawan-kawan LGBT. Bagaimana kita sebagai kaum muda dan pelajar menanggapi itu? Apa yang sebetulnya dimaksud dengan toleransi dan pluralisme?” Ungkap Djemi Radji sebagai pembukaan awal diskusi.

Muh. Djufri Hard menjadi pembicara pertama yang menyampaikan pandangannya. Ia menjelaskan bahwa pluralitas yang ada di Indonesia tidak dimaknai seutuhnya bahkan ada sebagian umat muslim yang beranggapan bahwa pluralisme dan toleransi itu sesat. Ia menambahkan “Selama kita hidup, konflik akan selalu ada, diskriminasi juga merupakan permasalahan yang sudah ada dari dulu. Seharusnya diskusi ini menjadi tempat untuk kita semua saling belajar memahami satu sama lain dan harus ada diskusi selanjutnya agar ngaji pluralitas dan toleransi tidak berakhir sampai disini saja.”

Cristopel Paino mengatakan bahwa konflik agama tidak semata-mata karena agama. “Konflik atas nama agama itu terjadi karena ada kepentingan sosial ekonomi politik baru yang datang ke wilayah konflik tersebut. Jaman sekarang, berita informasi sangat mudah menyebar lewat media sosial yang bisa diakses melalui smartphone, namun banyak yang tidak mengerti suatu permasalahan tapi ikut re-share suatu berita hoax sampai jadi viral padahal itu dapat menyulut konflik. Oleh karena itu, jangan membagikan ulang suatu berita di media sosial jika kita tidak mengerti permasalahannya.”

Romo Samsi Pomalingo menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan toleransi antar umat beragama itu bukan mengumpulkan semua ajaran agama lalu dijadikan satu. Ia menegaskan “Sama seperti saya menghargai kawan-kawan LGBT, karena kita sama-sama manusia dan ciptaan Tuhan. Kalau anda menolak LGBT, sama seperti halnya anda menolak ciptaan Tuhan. Pernyataan Rektor UNG itu bisa termasuk dalam hate speech serta tindakan diskriminatif dalam proses pendidikan.”

Setelah ketiga pembicara menyampaikan pandangannya, moderator mengadakan sesi tanya jawab. Salah satu dari tiga peserta yang bertanya bernama Ardi memaparkan pertanyaannya. “Kenapa toleransi yang diajarkan di bangku sekolah masih dikotak-kotakkan. Toleransi terkait SARA pun masih belum tuntas, apalagi toleransi kepada orang yang mempunyai orientasi seksual yang berbeda misalnya, beberapa orang ada yang setuju dengan toleransi terkait SARA tapi menolak untuk bersikap toleran kepada minoritas lain. Kenapa seperti itu?”

Romo Samsi Pomalingo menjawab “Orang-orang yang mengenyam pendidikan formal tapi masih bersikap garang seperti banyak melakukan penghinaan kepada orang lain, mereka tidak selesai di aspek afektifnya. Bagi saya, yang menolak lgbt sama dengan menistakan agama karena lgbt juga ciptaan Tuhan, berarti yang menolak lgbt juga orang-orang yang menghianati ciptaan Tuhan. Saya menghargai anda sebagai manusia, Indonesia bukan negara agama dan tidak ada satupun orang yang bisa menghukum lgbt di Indonesia dengan dalil agama. Anda layak hidup di Indonesia karena Indonesia negara anda. Orang-orang yang belum selesai dengan sikap toleransinya itu disebabkan karena tingkat pengetahuan yang berbeda-beda mengenai toleransi serta lingkungan sosial yang mempengaruhi cara berfikir orang tersebut”.

Setelah itu, sesi tanya jawab ditutup dengan kesimpulan akhir dari masing-maisng pembicara. Kesimpulan yang dapat diambil diantaranya adalah cara mudah memahami toleransi adalah tidak memaksakan pendapat yang berbeda dan tidak mengintimidasi orang lain. Seperti yang Romo Samsi Pomalingo jelaskan “Permasalahan Bangsa Indonesia adalah masih memahami pluralisme dalam kerangka tekstual, itulah sebabnya kita mengakui perbedaan tapi masih suka gontok-gontokan, mengakui perbedaan tapi tidak mau terlibat dalam keberagaman tersebut, karena pluralisme secara tekstual yang kita pahami tidak mampu membawa kita kepada pro eksistensi”.

Kegiatan diakhiri dengan mengkampanyekan Islam yg ramah, bukan Islam yg marah-marah serta mendorong untuk membuat lebih banyak ruang belajar yang menjunjung tinggi sikap toleransi oleh siapa saja kapanpun dan dimanapun serta untuk menambah pengetahuan kaum muda. (Ardian – Gorontalo)