Search
Close this search box.

[Kisah] Melela? Tak Melulu Hanya Sebagai Lesbian Atau Gay

Oleh: Wisesa Wirayuda

SuaraKita.org – Bulan Oktober ini menjadi bulan yang padat akan perayaan bagi LGBTIQA+ di dunia karena di bulan Oktober ini kita merayakan Coming Out Day. Dalam rangka ikut merayakan Coming Out Day saya sudah merencanakan ingin menulis cerita kompilasi dari orang-orang yang melakukan coming out. Namun ternyata apa yang saya dapatkan justru lebih dari sekedar kisah.

Kita biasa mendengar bahwa Melela atau Coming Out dilakukan oleh teman-teman yang lesbian dan gay saja. Namun ternyata banyak juga teman-teman yang tidak termasuk pada kelompok lesbian atau gay yang melakukan melela di bulan ini. Atau bahkan tidak melulu mengenai orientasi seksual.

Masih di bulan ini, dari tanggal 23 Oktober hingga 29 Oktober mendatang, adalah Asexual Awareness Week. Apa itu Asexual? Asexual adalah orang yang tidak tertarik secara seksual terhadap siapapun. Bukan pada pria dan wanita saja karena gender itu tidak hanya ada dua. Selengkapnya kamu bisa baca di sini.

Ada Yuni yang melela sebagai Asexual kepada orang tuanya. “Saya melela karena keperluan biar gak terus-terusan ditanya soal nikah. Perasaan setelah itu sih lega dan enteng. Kebanyakan teman online yang gay menjauh. Gak punya temen di dunia nyata. Ayah dan adik-adik masih suka nyeplos soal nikah, kalau ibu kayaknya menerima karena terpaksa. Aku melela dengan cara ngirim tulisanku tentang Aseksualitas ke orangtua. Aku dibilang kalau Aseksual itu gak ada di Quran sampai dikira disukai Jin dan hampir mau dirukyah. Sekarang pun penerimaannya kayak terpaksa karena mereka gak mau ribut, artinya ga pernah dibahas dan cenderung dihindari. Soal pelajaran yang bisa diambil ya setidaknya mereka bisa menghormati keputusanku, walau terpaksa.

“Orang tua saya gak masalah dengan homoseksual, cuma ternyata mereka masalah kalau saya Asexual. Mungkin sebenarnya mereka gak masalah sama komunitas LGBTIQ+ secara umum, yang penting keluarga atau anak mereka engga ikutan.” Tutur perempuan berhijab ini.

Berbeda dengan Asexual yang lain, Ditto, ia melela hanya kepada orang-orang yang akrab dengannya. “Aku gak pernah coming out. Tapi kalo ada orang yang nanya doang, itu juga cuma ngejawab sih.” Ditto lebih menekankan untuk menerima dirinya sendiri alias self-acceptance dari pada melakukan coming out.

Ada pula Rei yang melela tentang pacarnya yang ternyata adalah seorang transgender laki-laki. “Selama kurang lebih 6 bulan kami berteman, sampai dia menyatakan ketertarikanya sama saya. Sebagai seorang gay muda, saat pria super tampan dan seksi menyatakan hal begitu tanpa berfikir panjang saya menerimanya dan mengajak dia ke tempat tidur adalah hal pertama yang saya lakukan. Dia menolak. Saya menanggapinya dengan tenang, sambil tetap menahan kesal dan gondok, dan itu berlanjut selama beberapa bulan. Sampe saya berfikir kalau cowok ini gak begitu suka sama saya, kesimpulan itu membuat saya hendak memutuskan dia. Keputusan saya membuat dia akhirnya menyatakan keadaan dirinya bahwa dia adalah seorang transman (Transgender laki-laki –Red).

“Cerita dia tentu saja membuat saya pusing dan bingung setengah mati. Kami berbicara panjang lebar saat itu dan memutuskan tetap melanjutkan hubungan kami. Berusaha untuk tidak memikirkan hal-hal yang lainnya. Kami berhubungan 3 tahun, tapi harus berakhir karena saat itu saya pengecut, nggak berani untuk ikut dia ke negaranya, hal yang masih saya sesalkan sampai sekarang.”

Saya sendiri (penulis), baru-baru ini, bertepatan dengan Coming Out Day lalu, melalukan melela sebagai seorang Biseksual setelah sebelumnya saya menghayati diri saya sebagai seorang gay. Melela ‘kedua’ ini bagi saya berjalan cukup mulus, meskipun ada pula yang mengatakan bahwa saya adalah seseorang yang ‘perusak tatanan orientasi seksual’. Sedihnya, perkataan itu dilontarkan oleh seseorang yang padahal seorang gay. Ia mengatakan dalam sebuah komentar di Facebook, “Bi (Biseksual –Red.) itu sendiri adalah seorang heteroseksual yang sakit hati menjadi homoseks, atau sebaliknya homoseks yang sok machoisme melakukan hubungan seksual dengan pasangan cewek biar bisa diterima dan diakui sebagai heteroseksual. Bi itulah perusak tatanan orientasi seksual.” Hal ini tidak pernah saya rasakan ketika saya melakukan melela sebagai gay dua tahun yang lalu. Ini adalah hal yang baru bagi saya, didiskriminasi oleh sesama LGBT.

Kejadian ini membuat saya teringat perkataan seseorang di sebuah acara seminar, “Kehadiran LGBT itu sebenarnya menghancurkan dualisme gender yang ada, jangan sampai LGBT itu sendiri justru terjerumus dan membuat dualisme yang baru.” Karena dalam dualisme itulah, selalu akan ada orang-orang yang dipinggirkan. Bahkan dalam kelompok minoritas sendiri sekalipun.