Search
Close this search box.

[Resensi] Place Monge, Sebuah Tempat untuk Kembali

Oleh: Siti Rubaidah

SuaraKita.org – Helen adalah nama kecil dari Nalini, perempuan Indonesia yang menetap di Prancis dengan alasan motif de sejour atau mencari belahan jiwa. Kepedihan, kesepian dan penghinaan atas diri sendiri dihadapinya dalam upaya mencari cinta sejatinya. Dikisahkan, Helen sangat mencintai Wicaksana, seorang cowok di Jakarta yang hanya memanfaatkannya secara materi dan tidak pernah setia. Menghadapi Wicak, Helen tidak mau menikah karena toh laki-laki yang dicintainya tersebut juga tidak pernah setia. Helenpun menjadi pemburu cinta dengan bergonta-ganti pasangan. Helen mengistilahkan hubungannya dengan banyak cowok adalah monogami secara paralel, artinya bersetia dengan satu pasangan secara paralel. Hal itu dilakukannya, karena pada dasarnya dia tidak mau dipoligami.

Dalam perburuan mencari cinta, Helen menemui berbagai macam karakter dan jenis cinta. Sampai suatu ketika Helenpun mengenyam hubungan cinta sejenis. Pengetahuan Helen tentang homoseksual berasal dari Mbak Diana, Ketua Lesbian Club yang ditemuinya dalam sebuah diskusi perempuan dan lingkungan di Jakarta. Dari Mbak Dianalah Helen paham bahwa seksualitas itu seperti air, ia terbentuk sesuai tempatnya. Memang awalnya Helen sempat terperosok pada skenario besar kaum heteroseksual yang beranggapan bahwa perempuan yang dianggap waras harus mencari laki-laki belahan jiwanya.

 “Sejak balita mereka telah dengan sadar disuntik virus heteroseksual seumur hidup oleh orangtuanya. Maka homopobhia menjadi akut dengan tanda-tanda, pertama, selalu menjauhi kawasan di mana para homo suka nongkrong, yaitu Paris khususnya ada di daerah Marais dengan pandangan ke Museum Art Modern Georges Pompidu yang merah membiru.” (Place Monge, halaman: 127)

Helen yang tidak homophobik diajak temannya ke kawasan nongkrong para homoseksual yaitu di daerah Marais. Begitulah, Helen yang termakan oleh heteroseksual juga berpikir harus bercinta dan bersama dengan laki-laki. Namun perkenalannya dengan Melissandre di Marais memberikannya sebuah pengalaman baru. Ternyata cinta yang dicarinya juga bisa berbentuk perempuan.

“Bau sabun cair dengan wangi lotus terhirup dari payudaraku. Aku memejamkan mata ketika Mellissandre mengusapnya perlahan. Bibir kami saling mencium sambil mengeringkan badan dengan handuk. Lalu ia mengajakku ke tempat tidur. Kami berciuman sepanjang malam dan tertidur sambil berpelukan.” (Place Monge, halaman: 148)

Persinggahan cintanya yang selalu kandas membuat Helen menyadari bahwa dia tidak pernah mencintai diri sendiri dan membiarkan hidupnya sengsara dengan orang semacam Wicak. Namun akhirnya Helen merasa bahagia karena tanpa sengaja menemukan Ben. Sayangnya, Ben adalah sosok laki-laki yang merdeka dan tidak mau mengikatkan diri dan cintanya kepada seseorang karena rasa kemanusiaan dan cita-citanya yang terlampau besar. Sehingga ketika Ben menyadari bahwa dirinya terperangkap cinta Helen, Ben memilih meninggalkannya.

Dan kisahpun tiba-tiba berakhir pada sebuah perjalanan di makam Apollo, dewa cahaya pencipta keindahan dan seni. Setelah putus asa ditinggal menikah oleh Wicak dan Ben, Helen pun fokus menyelesaikan tesisnya. Dan mulai membebaskan diri dari himpitan cinta yang fana.

Di sini terlihat bahwa penulis terlalu terburu-buru mengakhiri kisah. Sehingga cerita terputus, sementara Helen tak menemukan belahan jiwanya. Pesan yang tertangkap di akhir cerita, sang tokoh memaknai bahwa ternyata cinta itu tak hanya sebatas ragawi. Di mana, tiba-tiba Helen merasakan jiwa tanpa tubuh dan merasakan kebahagiaan karena lepas dari rasa memiliki dan dimiliki.

Place Monge adalah sebuah novel karya Gracia Asri, seorang gadis Jawa kelahiran Jogja yang memperoleh gelar Master Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah di Universitas Paris 8 Seine St Denis. Sebagai seorang feminis, Gracia Asri mampu menguntai kisah dalam bentuk cerita nge-pop tetapi menggambarkan utuh persepsinya tentang perbedaan dan perspektif gender. Gracia yang suka sekali jalan-jalan menuangkan kisah banyak orang tetapi yang tidak pernah diungkap dalam bentuk literer. Persinggungan kultur Indonesia-Perancis sangat kental diungkapkan oleh sang penulis dalam novel ini.

Seperti banyak penulis lainnya, perjalanan dan alam luar negeri selalu memberi inspirasi. Bagi banyak orang, pengalaman hidup keseharian di luar negeri bagi sebagian orang mungkin akan diresapkan secara pribadi, tetapi tidak bagi Gracia. Ia menulis pengalaman panjang dengan latar kehidupan Paris tentang berbagai interaksi dan masalah hati manusia.

Novel ini sangat indah untuk dibaca karena penulisnya mampu bercerita secara detil tanpa membuat jemu pembacanya. Penulis mampu menghidupkan cerita dengan sedikit nakal, sekaligus mengurainya menjadi sebuah pembelajaran hidup yang bermakna. Penulis menghindari kesan menghakimi atau membuat stereotip terhadap berbagai hal,  menyuguhkan kisah secara arif dan manusiawi.  Sehingga pembaca tak akan menemukan kesan menghakimi atau melihat sesuatu secara hitam putih dalam novel ini.

Novel ini banyak merekam berbagai kota-kota asing yang dikunjungi oleh tokohnya. Sebuah perjalanan cinta yang berpusar di Place Monge, Paris. Sebuah titik yang menjadi terminal sementara, tempat pergi, menunggu dan pulang bagi Helen. Place Monge adalah titik antara masa lalu yang menariknya terlalu dalam, masa kini yang sunyi dan masa depan yang tanpa rupa dalam hidup Helen.

Place Monge adalah sebuah koma diantara perjalanan Helen, yang dilaluinya dengan kaki maupun hanya dengan kepala. Sebuah koma antara New York, Praha, Barcelona, Oslo, Berlin dan Athena.

Place Monge, sebuah tempat untuk kembali.