Secara perlahan, matanya terasa panas. Lagu “I’m Not the Only One” yang disenandungkan oleh Sam Smith, menyergap telinganya. Lalu, pria muda berpostur jangkung tersebut menunduk; sekeras hati berusaha menghalau agar tanggul kelopak matanya tidak rapuh. Ia tidak menghiraukan saat seseorang yang berada di belakangnya berusaha mendorong karena terburu-buru turun di stasiun tujuannya. Sayup-sayup ia mendengar seorang pria melantunkan informasi bahwa commuter line yang ditumpanginya telah sampai di Stasiun Pasar Minggu. Danar kembali menunduk, lalu menghela napas dalam-dalam.
Ia tahu, tak ada orang yang berharap patah hati. Sejak kali pertama merasakan patah hati, bertahun-tahun silam, ia berusaha menjaga hati agar tidak sampai salah dalam menjalin hubungan atau memilih pasangan. Danar selalu berpikir bahwa (memilih) cinta harus mengandalkan intuisi dan perasaan. Namun, siapa yang dapat memastikan bahwa dalam sebuah hubungan, kita akan menjalani saat-saat yang indah saja? Atau, siapa yang dapat memberi kepastian bahwa dengan mempunyai intuisi dan kata hati yang selalu tepat, kita tidak akan salah dalam memilih pasangan? Nyatanya, meski memiliki keyakinan kuat bahwa pasangannya adalah orang yang terbaik dan berhasil meyakinkannya untuk kembali jatuh cinta, hatinya tetap patah dan kembali menelan kekecewaan yang dalam.
Danar dan kekasihnya, dipertemukan setahun silam di sebuah malam saat nongkrong dengan kedua rekannya di sebuah kafe. Dalam pertemuan tersebut, kekasihnya (tentu saat itu mereka belum berpacaran) yang sedikit teler, bercerita kepadanya betapa hatinya sedang tidak dalam keadaan baik. Danar bertanya, apakah itu artinya kau sedang patah hati? Lalu kekasihnya mengangguk, sembari berkata bahwa ia akan segera melupakan segalanya.
Pada pertemuan malam itu, Danar sangat jatuh hati dan berdebar-debar. Kekasihnya memang sosok yang memikat. Di balik mata sendunya, ia menemukan sebuah ketulusan dan daya pikat yang membuat hatinya seperti bergetar. Dan, malam itu, mereka lebih banyak ngobrol berdua. Sebab, keduanya memang dipertemukan untuk saling dijodohkan oleh kedua sahabatnya yang juga merupakan sepasang kekasih.
Lalu, Danar menyuruh kekasihnya berhenti untuk mengonsumsi alkohol. Biar bagaimana pun, alkohol bukan pelampiasan yang tepat untuk mengatasi masalah hati. Tapi, bagiku, alkohol adalah cairan laknat yang selalu berhasil meredakan perasaanku, bantah kekasihnya, dulu. Danar mengalah dan membiarkan kekasihnya memasukkan cairan yang dibilangnya laknat itu ke dalam lambungnya, hingga ia benar-benar teler dan menumpahkan seluruh isi perutnya. Danar merasa prihatin dengan keadaan kekasihnya, lalu memapahnya keluar dan membawanya ke apartemen yang dihuninya.
Ingatan tentang kekasihnya tersebut, perlahan memudar. Sudut matanya menggenang air, tetapi ia berusaha menahan dan secepat kilat menyekanya agar tidak menarik perhatian orang. Namun, sepertinya, tindakannya tersebut telah diketahui oleh seseorang yang tengah duduk sembari membaca buku di hadapannya. Tiba-tiba, ia merasa malu dan berusaha mencari objek lain untuk dipikirkan oleh kepalanya. Namun, Sam Smith kembali membuyarkan segalanya. Jeritan sendunya dalam lagu yang sama dengan yang sejak tadi diputar oleh Danar, membuat hatinya kembali teriris, dan ia baru menyadari bahwa lagu tersebut telah diatur untuk diputar berulang-ulang, … “but when you call me baby, I know I am not the only one.”
Persis. Lirik tersebut, setidaknya mewakili perasaan Danar akan kekasihnya. Sama halnya dengan yang diungkapkan Sam Smith, Danar juga mendapati bahwa bukan cuma dirinya yang ada dalam hati dan pikiran kekasihnya. Buktinya, di suatu sore yang basah sehabis hujan, ia mendapati sebuah foto kekasihnya dengan seorang lelaki yang sedang berpose membelakangi objek gunung (sebelumnya, kekasihnya memang memberinya informasi sekaligus permintaan izin jika ia akan tracking ke Gunung Semeru) menghiasi display picture di aplikasi chat BlackBerry Messenger.
Seketika, Danar seperti sulit bernapas dan hatinya benar-benar patah. Ia ingat jelas bahwa laki-laki yang berada dalam potret tersebut adalah Dimas, seseorang yang pernah menjadi mantan bagi kekasihnya. Cukup sudah, batinnya. Danar merasa dirinya telah dipermainkan. Namun, sang kekasih tidak menyangkal. Dia bilang bahwa semua itu terjadi atas ketidaksengajaan. Tripnya ke Gunung Semeru, dipikirnya tidak bersama dengan sang mantan. Namun, seorang teman yang telah mengetahui hubungan keduanya (atas permintaan Dimas) telah menyusun rencana untuk mempersatukan mereka kembali.
Apakah temanmu tidak tahu jika kau adalah… pacarku? dengus Danar. Kekasihnya bilang, tidak, dia adalah teman Dimas, dan aku tidak kepengin terlalu membeberkan masalah hatiku kepadanya.
Danar semakin kecewa, lalu mengajukan pilihan: kalau kamu pilih dia, pergilah; tapi, bila kamu berat meninggalkanku, pulanglah. Namun, kekasihnya tetap saja plin-plan. Kekasihnya bilang, dia dan Dimas hanya kembali sebagai rekan, dan dia tidak bisa untuk mengakhiri hubungan dengan Danar. Namun, Danar tidak percaya. Dia paham sorot mata seseorang yang penuh kebohongan. Malam itu, Danar benar-benar tidak mood dan hatinya sangat patah. Dia bilang, aku kepengin sendirian malam ini.
Sudah seminggu sejak kejadian tersebut berlangsung, tetapi perasaan Danar tetap tak menunjukkan tanda-tanda membaik. Bahkan, perasaan tersebut semakin memburuk ketika malam ini, sebelum berdiri di commuter line ini, Danar melihat kekasihnya sedang bersama pria bernama Dimas di depan kontrakan kekasihnya. Tanpa mengetahui keberadaan Danar, keduanya melenggang masuk ke rumah kontrakan tersebut dengan langkah mesra.
Bukan cuma itu, Danar juga mendapati kekasihnya menulis di blog yang membuat hatinya hancur lebur: kekasihnya sedang berbunga-bunga karena ia bisa mencari cara untuk kembali dekat dengan mantan kekasihnya (dan Danar sampai tak habis pikir, kenapa kekasihnya sampai sebodoh itu menceritakan tentang perasaannya di sebuah media yang dapat dibaca oleh siapa pun).
Aku sayang kamu. Tolong jangan abaikan setiap panggilanku.
Hati Danar mencelus ketika membaca pesan yang terakhir dikirim oleh kekasihnya tersebut. Perlahan, ia memejamkan mata dan menghirup napas dengan resah. Seorang laki-laki yang tengah membaca buku di hadapannya, sekali lagi melirik Danar; tatapannya seolah-olah ingin bertanya, apakah Anda baik-baik saja? Namun, Danar tak memedulikannya.
Kadang, karena merasa telah putus asa, Danar berharap jika alat penghilang ingatan seperti dalam film Eternal Sunshine of the Spotless Mind ada di dunia nyata. Namun, ia harus realistis dan menghadapi apa pun hal yang menyakitkan. Sekali lagi, diliriknya pesan yang tertampil di layar smartphone-nya. Tanpa berpikir panjang, ia segera menghapus pesan tersebut dan memastikan bahwa dirinya tidak akan memercayai lagi seseorang yang kerap dipanggilnya dengan kata “Sayang” tersebut.
Saat seorang laki-laki menginsformasikan bahwa commuter line yang ditumpanginya telah sampai di stasiun tujuannya, Danar bersiap-siap turun dan memastikan kartu multi trip-nya masih berada di dalam kantung celananya. Setelah pintu commuter line terbuka, ia segera melangkahkan kakinya dan duduk sejenak di kursi tunggu sembari mengamati layar ponselnya.
Lalu, ia menimbang-nimbang untuk kembali menggunakan aplikasi yang tidak pernah ia gunakan sejak menjalin hubungan dengan kekasihnya; aplikasi chat untuk mencari pasangan khusus pria dengan orientasi seksual berbeda. Kali ini, ia cuma berharap dapat menemukan seseorang yang berorientasi sama sepertinya untuk sekadar ngobrol dan berbagi keluh-kesah. Namun, dia ragu, dan berusaha mengurungkan niatnya. Baginya, aplikasi tersebut hanya menjadi sarang bagi manusia-manusia yang haus akan pelampiasan birahi. Ia tak mau hanya menjalin hubungan sesaat yang berakhir dengan desahan orgasme. Saat ini, yang ia butuhkan hanya seseorang yang mau mengajaknya berbicara, dan memahami apa yang dia rasakan.
Anda baik-baik saja? Tanpa ia sadari, seseorang menyapanya. Sejak kapan ada orang duduk di sampingku? batinnya. Begitu melirik ke arah suara lelaki terebut, Danar cukup terkejut karena lelaki yang menyapanya adalah seseorang yang tadi sempat duduk di hadapannya sembari membaca buku. Saya baik-baik saya, jawab Danar. Namun, lelaki tersebut seperti tidak memercayai.
Namun, alih-alih bertanya soal perasaan Danar, lelaki tersebut malah menanyakan hal lain: Apakah Anda tahu aplikasi X? Danar melongo, tapi secara samar ia berusaha mengangguk. Saya pernah bertemu dan berbincang dengan Anda di aplikasi tersebut, kalau tidak salah, ujarnya. Saya ingat persis wajah Anda, tambahnya. Namun, Danar tak menemukan sepotong pun ingatan tentang lelaki tersebut.
Salam kenal, saya Adrian. Senang bertemu dengan Anda kembali dan kali ini secara nyata, katanya dengan nada ramah. Ada senyum yang samar-samar terlukis dari sudut bibir lelaki yang berusia sekitar akhir kepala dua tersebut. Kalau Anda berkenan, saya akan menemani Anda di sini, sampai Anda tidak lagi terlihat resah, tambahnya.
Danar tersenyum, perlahan mengangguk—meskipun ia masih ragu bahwa seseorang dimaksud lelaki tersebut adalah dirinya. Kali ini, kepalanya berkutat bahwa tidak selamanya dunia yang dibentuk oleh aplikasi perjodohan, hanya menyediakan sosok-sosok yang haus akan pelampiasan atas sesuatu yang mengendap di antara selangkangan. Ia yakin, Adrian adalah sosok yang intelektual dan tidak mengandalkan hubungan sebatas birahi.
Setidaknya, kali ini ia tidak bersusah-payah untuk berburu seseorang yang akan diajaknya berbicara di aplikasi perjodohan tersebut. Pikirnya, Adrian adalah sosok yang tepat untuk melampiaskan kegundahannya malam ini. Ia siap untuk membagikan rahasia hidupnya, pada sosok hangat di sampingnya.
*Pencinta buku, penikmat musik. Bercita-cita tinggal di NYC dan melanjutkan program Doktoral-nya di sana.