Oleh: Wagé*
SuaraKita.org – Desember, Sabtu sore.
Hujan lebat kembali mengguyur Jakarta sedari pagi, tak kunjung berhenti hingga petang ini. Aroma tanah basah dan embun memenuhi udara, matahari masih saja bersembunyi di balik kelabu, walau kadang malu-malu mengintip.
Eris mendengus sebal di balik kemudi mobil Corolla tuanya. Hari ini adalah hari pembagian rapor, dan ia lelah sekali. Mendengarkan ribut, komplain, serta cerocos para orang tua membuatnya pening dan; terlebih lagi seminggu kemarin, ia habis begadang menginput nilai. Belum lagi, sekarang di sekelilingnya, bunyi klakson bersahut-sahutan memekakkan telinga.
Ingin sekali ia bisa terbang ke rumahnya yang nyaman, ke anjing kesayangannya, Bolu dan kepada kekasihnya, Rama. Menghabiskan dua minggu jauh dari urusan akademik, hanya mereka bertiga dan agenda-agenda santai nan asyik.
Masih ada satu setengah jam lagi menuju rumah, batinnya.
–
Pukul tujuh malam, Eris tiba di rumah, satu jam terlambat dari perkiraan. Rumah bergaya 80-an yang ia tinggali bersama kekasihnya itu adalah rumah warisan ibunya; kecil, mungil dengan halaman yang cukup, tersembunyi di sebuah sudut Jakarta Selatan.
Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, Eris turun membawa serta tas jinjingnya. Baru saja ia hendak mengambil kunci dari tas, pintu sudah terbuka dari dalamnya. Dilihatnya di ambang pintu, Rama sudah menyambut dengan seulas senyum, dan Bolu sudah melompat-lompat kegirangan melihat tuannya pulang.
“Hai, Ris. Welcome home,” sambut perempuan berambut cepak polwan itu. Eris hanya tersipu mengulum senyum, seketika peningnya hilang berganti senang. Ditutupnya pintu, lalu setelah memberi Bolu atensi berupa garukan dan tepukan di kepala, gantian ia memberi Rama hujanan ciuman di pipi dan di bibir. Dalam pelukan Eris, Rama terkikik geli. Sudah sepuluh tahun mereka tinggal bersama, tetapi tetap saja Eris selalu pulang kepadanya, seperti prajurit kembali dari medan perang. Terlebih pada hari-hari yang melelahkan seperti ini; selalu penuh kerinduan.
“How was your day?” Tanya Eris pada Rama. Pipi perempuan muda itu masih tersipu merona, terpesona akan kecupannya.
“Mm… Gitu-gitu aja. Nggambar, main sama Bolu. Masak. Nunggu kamu pulang,” papar Rama, masih dengan seulas senyum semanis madu yang mampu merontokkan lelah Eris.
“Kalau kamu, gimana hari ini?” Gantian Rama bertanya, sembari menyibak poni perempuan yang lebih tua dihadapannya.
“Capek. Pusing,” jawab Eris, sembari pura-pura cemberut. Wajahnya terlihat lelah. “Kangen kamu sama Bolu.”
“Mau cerita?”
Eris mengangguk.
“Mandi dulu, gih… Sambil nunggu aku panasin soto. Handuk kamu yang di kamar mandi juga udah aku ganti yang baru, tuh.”
Eris mengangguk. Sungguh, ia beruntung mempunyai kekasih seperti Rama. Cantik, baik hati, dan mereka selalu bisa saling memahami walau tanpa banyak kata. Mungkin tanpa Rama, dengan pekerjaan seberat menjadi guru di negara ini, ia bisa gila.
“Makasih ya, sayang. You’re the best,” ucap Eris. Dikecupnya pipi Rama sekali lagi, sebelum ia bertolak ke kamar mandi.
–
Selesai makan malam, mereka berdua bersantai di sofa. Musik jazz instrumental mengalun dari speaker bluetooth, dua bir dingin yang mereka minum tersisa separuh, kalengnya masih berembun di atas meja kopi. Bolu sudah tidur di kaki sofa, sementara Eris rebahan di sofa dengan kepalanya beristirahat di paha Rama.
Jemari lentik rama menyisir rambut ikal Eris. Setelah perutnya kenyang dan badannya bersih, Eris merasa lebih rileks kini.
“Jadi… Tadi kamu mau cerita apa?” Tanya Rama lembut.
Eris menghela napas.
“Kamu inget gak, Ram? Anak yang namanya Kris.”
Rama mengangguk. Tentu, ia ingat. Kris adalah salah satu murid kesayangan Eris. Anak lelaki itu pemalu, halus. Bahasa orang dulu, kemayu. Eris selalu menyebut Kris punya bakat menulis yang luar biasa, dan Rama tidak meragukan itu. Ia sudah pernah membaca beberapa tulisan Kris yang diserahkan untuk tugas kelas Bahasa Indonesia yang diampu kekasihnya itu, dan memang benar. Tulisannya terstruktur rapi, pemilihan diksinya baik. Eris juga kerap bercanda, anak itu adalah Oscar Wilde versi Jawa, karena sifat dan perilakunya yang flamboyan.
“Tadi saat ambil rapor, aku dengar Kris diomelin bapaknya. Omongannya jahat banget!” Kata Eris mulai bercerita.
“Aku denger si Kris… Diteriakin bencong. Tolol. Cuma gara-gara apa? Gara-gara nilai matematika sama olahraganya jelek, dan Kris lebih suka nulis puisi dan cerpen. Dan itu tuh, sampai anaknya nangis sesenggukan di depan kelas.”
Eris berhenti sejenak, sedikit tercekat.
“Aku enggak tega dong, terus aku berusaha intervensi. Eh, bapaknya malah marahin aku. Katanya gara-gara aku, anaknya makin kayak bencong, gak ada lakinya. Laki kok nulis tulisan menye-menye. Sampah.”
Ingin sekali rasanya Rama menampar bapak dari murid pacarnya itu. Sudah homofobik, berani-beraninya dia berbuat begitu pada anak dan perempuan. Ditahannya segala sumpah serapah yang ada di pangkal tenggorokannya; ia tahu, kini kekasihnya sangat butuh untuk didengarkan. Suara Eris terdengar sedikit bergetar.
“K-kamu tau gak, apa yang bikin aku makin sedih? Bapaknya ngomong kalo dia mau mindahin Kris ke sekolah militer. Biar dia lurus… Mukanya Kris disitu lemes banget, dia kayaknya juga sama kagetnya. Terus… t-terus…”
Tangis Eris pecah. Rama memandangnya penuh iba. Ia tahu betul, kekasihnya begitu berdedikasi pada profesinya, dan sayang sekali pada semua anak didiknya. Hatinya ikut remuk mendengar isak Eris.
Dielusnya pipi Eris, dan dihapusnya air matanya.
“Terus..Pas Kris mau ngebela diri, dia ditampar, Ram! Ditampar! Sampai guru dan siswa lain tuh nengok!”
Geram turut dirasa oleh Rama, dan tanpa terasa, air mata Rama ikut mengalir. Bagaimana bisa.. sosok orangtua membenci anaknya hanya karena mereka memilih menjadi dirinya sendiri? Sungguh kasihan, anak sebaik dia, harus terlahir dan dibesarkan sosok yang begitu keji. Yang lebih menyedihkan lagi, ia tahu bagaimana rasanya di posisi Kris, menjadi seorang anak queer yang tak berdaya di bawah orang tua yang otoriter. Sialnya, baik ia maupun Eris tentunya tidak bisa berbuat banyak mencegah hal yang menimpa anak malang itu.
“T-terus ya… Abis itu… Si Kris ditarik pulang sama bapaknya,” kata Eris, masih terbata. Rama membentangkan tangannya, meraih sekotak tissue dari coffee table dan menyodorkannya pada Eris, yang langsung menarik beberapa helai untuk mengelap air mata dan ingus dari wajahnya, begitu juga dengan ia.
“Gila ya, Ram. Di tahun 2024 gini, masih ada aja orang tua model begitu”
Sesaat, suasana jadi hening, terkecuali untuk suara lantunan musik yang sayup terdengar dan suara sesenggukan Eris yang masih sesekali terdengar. Atmosfernya terasa sayu.
Tak ada kata yang terucap. Hanya dua orang yang larut dalam empati. Memikirkan, apa dan bagaimana yang dapat terjadi pada bocah lelaki itu.
“Maaf ya, jadi sedih, deh…,” kata Eris lirih memecah sunyi. Rama mengangguk mafhum.
“Udah ngerasa… Lebih tenang sekarang?” Tanya Rama memastikan.
“Udah,” jawab Eris mengiyakan, sembari mengelap sisa-sisa air matanya. “Makasih banyak ya, udah mau dengerin.”
Rama menunduk, lalu mengecup bibir Eris, mengecap manis bir dan asin air mata yang tersisa.
“Sama-sama,” balas Rama tulus. “Masih ada yang mau diceritain lagi?”
Mereka lanjut bercerita dan berbincang, hingga tak terasa larut malam sudah berganti dini hari. Kala Eris dan Rama pergi tidur pukul tiga Minggu pagi itu, mereka sama-sama tidur dengan hati yang berat.
Sebelum mereka memejamkan mata, terselip satu kalimat dalam do’a yang mereka panjatkan dalam hati :
Mudah-mudahan, Kris baik-baik saja.
*Penulis adalah orang yang tak pernah ada, tapi hadirnya nyata. Ia hanyalah seorang amatir yang suka menulis dan menggambar.