LGBT dalam Pandangan Islam
Oleh: Prof. Dr. KH Said Aqiel Siradj, MA*
Suarakita.org- Tuhan menciptakan manusia tidak hanya berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Tetapi ternyata ada juga “jenis kelamin ketiga”. Jenis ini terkait dengan kondisi fisik, psikis dan orientasi seksual. Kita mengenal ada kelompok lesbian, gay, biseksual dan transsexual (LGBT)
Perdebatan soal homoseksual (LGBT) sebenarnya sudah lama terjadi. Pada mulanya muncul pertanyaan, apakah hubungan seks sejenis itu merupakan penyakit, atau sebuah perilaku seks yang menyimpang? Lalu, bagaimana pandangan Islam yang ideal terhadap masalah ini?
Homoseks Dalam Sejarah Muslim
Homoseks telah mengukir sejarah tersendiri dalam perjalanan umat manusia. Sejarah telah meriwayatkan, bahwa seks sesama jenis telah ada dan menjadi salah satu bagian dari pola seks manusia. Berbagai kitab suci seperti al-Quran, Injil, dan Taurat telah memperbincangkan serta menuliskannya.
Meskipun perilaku seksual sejenis itu dikutuk, namun pada kenyataannya, masyarakat Muslim sendiri telah mempraktekkan tradisi tersebut. Sudah barang tentu, dengan latar belakang dan pelaku yang berbeda, seperti yang dilakukan di lingkungan istana dan juga di kalangan masyarakat kebanyakan.
Homoseksual dan kecenderungan seks pada anak laki-laki kecil (pedofilia), serta minum arak di tempat-tempat pertunjukan musik, bukanlah kenyataan yang ganjil dalam sejarah perilaku umat Islam. Pemerintahan Islam, dari Bani Umayyah, Abbasiah, Fathimiyah hingga Utsmaniah, diramaikan oleh kemeriahan suasana seksualitas. Tak hanya terpancang pada kenyataan kuatnya tradisi harem atau pergundikan, tapi juga warna-warni seksualitas yang dianggap menyimpang.
Kehidupan yang heboh tersebut telah menjadi bagian dari perjalanan yang merentang dalam penggapaian ideal pemerintahan Islam. Ini adalah berbagai contoh mengenai apa yang terjadi dalam kelas-kelas masyarakat Muslim yang kesemuanya itu dipandang jauh dari syariat Islam. Kenyataan ini–seperti diungkap kembali oleh Khalil Abdul Karim dan al-Shabah wa al-Shahabah–telah dibedah oleh para sejarahwan Muslim seperti Ibnu Jabir, Ibnu Khaldun, Abu Umar al-Kindi, Ibnu Ilyas dan Nashir Khasru.
Hasil penelitian BF Musallam menunjukkan, bahwa di lingkup bangsa Arab abad Pertengahan, telah beredar cerita-cerita tentang munculnya gejala homoseksual dan lesbian sebagai akibat takut hamil. Arkian, seperti ditulis oleh al-Kathib dalam kitab Jawami’ dikisahkan, ada seorang pelacur terkenal yang menanyai salah seorang wanita lesbian, ”Apa sebabnya anda memilih lesbian?” Jawab wanita itu, “Lebih baik begini dari pada hamil yang mendatangkan skandal.”
Dalam puisi Arab klasik juga terlantun kidung-kidung puitis yang mengungkap tentang pilihan jadi lesbian karena takut hamil. Ibnu Qayyim juga mencatat dalam kitabnya Ighatsat, ada beberapa pria homoseksual mempertahankan diri mereka dengan dalih, “Ini lebih aman daripada kehamilan, kelahiran, beban perkawinan dan sebagainya.”
Seperti juga dalam kitab al-Wasa’il Fi Musamarah al-Awa’il karya Jalaluddin al-Suyuthi, homoseksual ternyata telah mewarnai kehidupan masyarakat pada awal-awal kehadiran Islam. Beberapa penyebab yang disebutkan diantaranya adalah, terjadinya banyak peperangan; lamanya waktu suami meninggalkan keluarga; sibuknya kaum Muslimin mempersiapkan kemenangan; adanya pencercaan terhadap keluarga kaum musyrik yang ditaklukkan yang kemudian banyak dijadikan pelayan; timbulnya perasaan keterasingan, serta pergaulan yang lebih banyak dengan laki-laki.
Faktor-faktor inilah yang kemudian melahirkan laki-laki yang bersifat kewanita-wanitaan. Dalam lingkungan seperti ini, hubungan homoseksual lambat laun terjadi. Disebutkan juga, bahwa perempuan yang pertama kali berani menampakkan praktik lesbian pada masa itu adalah istrinya Nu’man ibn Mundzir.
Keberadaan kaum homoseks senantiasa dihubungkan dengan contoh historis kisah perilaku umat Luth. Dikemukakan bahwa Tuhan sangat murka terhadap kaum Nabi Luth yang berperilaku homoseksual. Kemurkaan Tuhan itu diwujudkan dengan menurunkan hujan batu dari langit dan membalikkan bumi. Akhirnya kaum Luth hancur lebur, termasuk istrinya, kecuali pengikut yang beriman pada Luth.
Kisah ini dipaparkan dalam al-Quran surah al-’Araf ayat 80-84, al-Syu’ara ayat 160, al-‘Ankabut ayat 29 dan al-Qamar ayat 38. Praktik homoseksual umat Nabi Luth ini, seperti juga dinyatakan oleh Ali al-Shabuni dalam kitabnya Qabas Min Nur al-Quran, dianggap perilaku umat yang paling rusak sepanjang sejarah umat para nabi.
Praktik homoseksual, dise-butkan oleh kalangan ahli tafsir diantaranya al-Thabathaba’i dalam kitab al-Mizan, untuk pertama kalinya dilakukan oleh kaum Nabi Luth. Dalam Hadits juga dikatakan, “Yang mengawali perbuatan homoseksual adalah kaum Nabi Luth”. Dalam al-Quran, kaum Luth dilukiskan sebagai penyembah berhala, penyamun, dan menjalankan praktik homo-seksual, sehingga menjadi adat kebiasaan masyarakat.
Dari kisah kaum Luth inilah kemudian ditegaskan hukum keharaman perilaku homoseksual yang terus berurat berakar di benak masyarakat Muslim. Ulama tafsir, Fakhruddin al-Razi berkesimpulan bahwa homoseksual adalah perbuatan keji berdasar pada keputusan alami tanpa memerlukan alasan-alasan yang lebih konkrit. Al-Razi hanya menunjukkan bahwa larangan homoseksual, meskipun bisa mencapai kenikmatan, tetapi menghalangi tujuan mempertahankan keturunan. Padahal, Allah menciptakan kenikmatan senggama untuk meneruskan keturunan.
Homoseks dalam Fikih
Dalam fikih, praktik homoseksual dan lesbian mudah dicari rujukannya. Seks sesama jenis ini sering disebut al-faahisyah (dosa besar) yang sangat menjijikkan dan bertentangan dengan kodrat dan tabiat manusia.
Kalau ditelusuri secara gramatikal, tidak ada perbedaan penggunaan kata antara homoseksual dan lesbian. Dalam bahasa arab kedua-duanya dinamakan al-liwath. Pelakunya dinamakan al-luthiy. Namun Imam Al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi al-Kabir menyebut homoseksual dengan liwath, dan lesbian dengan sihaq atau musaahaqah. Imam Al-Mawardi berkata, “Penetapan hukum haramnya praktik homoseksual menjadi ijma’, dan itu diperkuat oleh nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits”.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam al-Mughni juga menyebutkan, bahwa penetapan hukum haramnya praktik homoseksual adalah ijma’ (kesepakatan) ulama, berdasarkan nash-nash Al-Quran dan Hadits.
Fikih, di samping membahas perilaku seks sejenis ini dalam kaitan dengan hukuman (bab al-hadd), juga melibatkannya dalam bahasan soal tata cara shalat jamaah, masalah peradilan dan pemerintahan.
Pada pokoknya, fikih memang menegaskan bahwa manusia hanya memiliki dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dengan penis (dzakar) dan perempuan dengan vagina (farji).
Fikih juga mengenal istilah khuntsa, yang kalau diartikan menurut kosa kata bahasa Arab adalah seorang waria atau banci. Pada dasarnya, istilah khuntsa ini menempel pada seorang yang secara fisik-biologis laki-laki, tetapi mempunyai naluri perempuan.
Dalam kamus al-Munjid dan Lisan al-Arab, kata-kata khuntsa diartikan sebagai seseorang yang memiliki anggota kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus. Bahasa medis mengenalnya dengan istilah hermaprodite atau orang yang berkelamin ganda. Jenis kelompok ini, yang populer juga dengan sebutan waria, dimasukkan dalam kelompok transeksual, yaitu seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan keadaan jiwanya. Istilah ini dikenakan pada seseorang yang secara fisik laki-laki, tapi berdandan dan berperilaku perempuan. Begitupun sebaliknya, pada kenyataannya ada sesorang yang secara fisik perempuan, tapi berpenampilan laki-laki.
Dalam hal ini, ulama fikih memilahnya menjadi dua jenis. Pertama, yang disebut khuntsa musykil, yaitu seseorang yang memiliki penis dan vagina secara sekaligus pada bagian luar (hermaprodite). Jenis homoseksual yang seperti ini memang sangat langka.
Kedua, yang disebut khuntsa ghairu musykil, yaitu seseorang yang sudah jelas dihukumi sebagai laki-laki atau perempuan. Untuk menentukan kedua jenis ini, maka yang menjadi penentu secara fisik adalah bentuk kelamin dalamnya. Jika di dalam tubuhnya terdapat rahim, maka ia dihukumi sebagai perempuan. Sebaliknya, jika pada kelamin dalam tidak ada rahim, maka ia dihukumi sebagai laki-laki.
Tipe seseorang yang berpenis dan tidak punya rahim inilah yang bisa disebut dengan gay. Istilah gay biasanya merujuk pada homoseksual laki-laki. Gay memang secara fisik berpenampilan laki-laki.
Dalam penelusuran terhadap kitab-kitab klasik, tipe homoseks telah menjadi kajian khusus. Misalnya, kita baca dalam kitab fikih klasik al-Iqna’, karya Syarbini Khathib, menjelaskan bahwa seseorang yang bertipe khuntsa musykil tidak sah bermakmum shalat, baik kepada wanita maupun laki-laki. Berbeda dengan khuntsa yang sudah jelas keperempuanannya, maka boleh bermakmum dan mengimami shalat perempuan normal. Demikian pula, khuntsa yang sudah jelas kelaki-lakiannya boleh bermakmum dan mengimami shalat laki-laki normal.
Di dalam fikih, biasa diajukan sebuah kasus, misalnya bagaimana hukum seorang laki-laki normal yang bermakmum pada seseorang khuntsa yang dikira laki-laki tulen. Setelah selesai, baru diketahui ternyata imamnya itu khuntsa yang lebih cenderung ke kewanitaan. Menurut Zakariya al-Anshari dan pendapat yang lebih kuat lainnya menyatakan, bahwa hukum shalat bermakmum itu sah saja, serta tidak perlu diulangi shalatnya.
Dalam kitab Nihayat al-Zain, karya Imam Nawawi, tidak ada pemilahan soal khuntsa ini. Lagi-lagi, pembahasannya dikaitkan dengan shalat jamaah. Shalat jamaah, menurut pendapat sebagian besar ulama, hukumnya adalah fardhu kifayah. Ada juga pendapat Mawardi dan Rafi’i yang menetapkan hukumnya sunnah mu’akkad. Tetapi hukum ini berlaku hanya bagi laki-laki. Sedang khuntsa dan wanita tidak ada pembebanan hukum. Bagi khuntsa lebih utama shalat berjamaah di rumah daripada di masjid. Kedudukan khuntsa dalam konteks ini disamakan dengan hukum yang diberlakukan bagi wanita.
Khuntsa juga didudukkan sama dengan anak laki-laki tampan yang tidak dianjurkan untuk salat jamaah di masjid. Mengajak anak-anak ke masjid sangat dianjurkan, kecuali anak laki-laki yang tampan, supaya tidak menimbulkan fitnah.
Yang membikin ulama fikih saling berseberangan lagi adalah menyangkut sosok gay yang nota bene bernaluri atau berkecenderungan perempuan. Kalau dikembalikan pada pengertian dasar homoseksual, sebenarnya adalah seseorang yang bangkit berahinya dengan melihat, mengkhayal, dan melakukan aktivitas seksualnya dengan sesama jenis. Secara psikologis, homoseksual ini berkait dengan orientasi dan aktivitas seksual. Orientasi seksual mengacu pada obyek dari rangsangan seksual seseorang. Sedangkan, ak-tivitas seksual adalah senggama itu sendiri dengan berbagai variasinya.
Para ulama fikih terbelah menjadi dua pendapat yang berbeda. Sebagian bersiteguh bahwa naluri gay itu sesungguhnya adalah hasil bentukan lingkungan. Solusinya hanya melalui terapi psikologis agar naluri yang bersangkutan bisa berubah. Sebagian lagi berpendapat, jika memang sudah semenjak kecil dan sudah ‘given’ naluri gay itu, maka tidak ada persoalan serius. Karena itu, hukumnya halal bila yang bersangkutan misalnya, ingin melakukan ganti kelamin. Cara ini bertujuan untuk menghilangkan kesamaran identitas gendernya atau kejelasan anatomi seksnya.
Sejatinya, telaah fikih mengenai homoseksualitas berpang-kal pada hakikat orientasi seksual itu sendiri. Apabila orientasi seksual disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat biologis, seperti ketidakseimbangan susunan hormonal atau perbedaan kromosom lainnya, maka bila seseorang menjadi gay, lesbian atau lainnya, sifatnya sangat kodrati. Dalam hal ini, tidak ada keputusan apa-apa, kecuali melihatnya dalam perspektif kekuasaan Tuhan. Kecuali, ada temuan baru yang mampu memengaruhi susunan hormonal seseorang sehingga orientasi seksualnya berubah.
Demikian juga apabila orien-tasi seksual disebabkan oleh faktor non-biologis, misalnya sosial, budaya, politik ataupun lainnya, maka ini sama dengan jender. Perubahan orientasi seksual dalam kasus ini bisa diambil kebijakan, mengingat bukan karena hal-hal yang adikodrati.
Dalam kitab-kitab fikih, tindakan hukum terhadap homoseks atau penyimpangan seks lainnya tidak dibahas secara khusus. Kasus-kasus yang berhubungan de-ngan sanksi hukum terhadap kaum homoseks, baik yang dilakukan dengan paksa maupun suka sama suka, berada dalam pembahasan umum kasus-kasus pelanggaran susila. Meskipun secara umum disepakati bahwa tindakan homoseks dilarang, bentuk sanksi hukumnya tetap kontroversial.
Para ahli fikih umumnya menyamakan perbuatan homoseksual dengan perbuatan zina. Karena itu, segala implikasi hukum yang berlaku pada zina juga berlaku pada kasus homoseksual. Bahkan pembuktian hukum pun mengacu pada kasus-kasus yang terjadi pada zina.
Tiga madzhab besar fikih, yaitu Syafi’i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa saksi buat kasus homoseks sama dengan saksi pada kasus zina, yaitu empat orang laki-laki yang adil dan dipercaya. Ini kalau ada pengakuan dari pelaku atau korban.
Namun pendapat ini tak disepakati oleh madzhab Hanafi yang membedakan kasus homoseksual dengan kasus zina. Dalam kasus homoseks, menurut madzhab yang banyak dianut di dunia Arab ini, kesaksian bagi tindakan homoseksual tak laik disamakan dengan zina. Soalnya, kemudaratan (bahaya) yang terjadi akibat homoseks lebih kecil ketimbang perbuatan zina. Oleh karena itu, menurut madzhab Hanafi, “Kesaksiannya pun harus lebih sedikit, yaitu hanya satu orang saksi yang adil dan dipercaya”.
Madzhab Hanafi pun tidak memasukkan perbuatan homoseksual sebagai zina. Sebabnya, menurut madzhab Hanafi, perbuatan homoseksual tidak memerlukan akad resmi seperti dalam pernikahan lazim. Jadi hukumnya tidak pasti, dan perbuatannya juga tidak membatalkan haji dan puasa.
Selain itu, argumen yang dikemukakan adalah, bahwa kerugian yang diakibatkan oleh hukuman (jarimah) homoseksual lebih “ringan” daripada kerugian yang diakibatkan hukuman terhadap zina. Perbuatan homoseksual tidak menimbulkan keturunan, tidak demikian dengan perbuatan zina. Hubungan kelamin sejenis tidak menimbulkan masuknya sperma seperti pada kasus zina. Oleh karena itu, paling-paling dihukum ta’zir, semisal dipenjara.
Bagaimana pula dengan Hadits, “Jika kalian menemukan orang yang melakukan hubungan seksual sejenis seperti kaum Nabi Luth, bunuhlah keduanya” (Hadits riwayat Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah). Hadits ini, seperti dijelaskan oleh al-Zaila’i, masih banyak menyimpan perdebatan. Abu Hanifah sendiri menolak menggunakan Hadist ini.
Para ahli fikih juga tak sepakat terhadap sanksi hukum yang patut dijatuhkan kepada pelaku tindak homoseksual. Sekurang-kurangnya, ada tiga jenis sanksi hukum yang ditawarkan dalam kitab-kitab fikih. Pertama, pelaku tindakan homoseksual seharusnya dibunuh. Kedua, dikenakan hukuman pidana (had) sebagaimana had zina, yaitu jika pelakunya belum kawin, maka ia harus dicambuk. Tetapi, jika pelakunya orang yang pernah atau sudah kawin, maka ia dikenakan hukuman rajam sampai mati. Ketiga, dipenjara (ta’zir) dalam waktu yang telah ditentukan oleh hakim.
Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki sudah mengingatkan supaya berhati-hati dan tidak main hakim sendiri dalam memperlakukan kaum homoseksual. Kata imam Malik: ”Jika ada seseorang berkata kepada seorang laki-laki; “wahai pelaku perbuatan nabi Luth”, maka justru dialah yang layak dihukum cambuk”.
*Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A. Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama periode 2010–2015.
Sumber: LiputanIslam.com