Search
Close this search box.

Internalized Homophobia: Saat homoseksual membenci dirinya sendiri

Suarakita.org– Homoseksualitas sudah lama dikeluarkan dari daftar gangguan kejiwaan oleh American Psychiatric Association (1973) dan juga World Health Organization (1990), namun mengapa banyak individu homoseksual yang mengalami gangguan perilaku?

Inilah pertanyaan yang mengusik benak para pembicara dalam seminar bertajuk ‘Internalized Homophobia’ yang diadakan di kampus Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta pada tanggal 16 Mei 2015, dari pukul 11 hingga 1 siang. Acara tersebut menghadirkan dua pembicara, yaitu Benny Prawira (aktivis kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri), dan Amanda Octacia Sjam (psikolog klinis) , yang dipandu oleh Sebastian Partogi dari The Jakarta Post.

“Homoseksualitas itu bukan gangguan perilaku. Tetapi yang menyebabkan kelompok homoseksual dan lingkaran dalam mereka mengalami gangguan adalah homofobia. Oleh karena itu, yang perlu diatasi bukanlah homoseksualitas, melainkan homofobia,” adalah kesimpulan dari diskusi tersebut.

Peserta seminar sedang serius menyimak diskusi (Foto oleh bapak Stephen Suleeman)
Peserta seminar sedang serius menyimak diskusi (Foto oleh bapak Stephen Suleeman)

Untuk mendukung argumen ini, pada awal sesi diskusi, Benny memaparkan bahwa pada tahun 1973, 56 persen dari seluruh anggota APA setuju bahwa homoseksualitas dikeluarkan dari daftar gangguan jiwa dalam kitab diagnostik mereka, yaitu DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), setelah lobi panjang dan tak kenal lelah dari para aktivis LGBT dan juga tekanan internal dari para anggota APA yang perlahan-lahan membuka identitas mereka sebagai homoseksual.

Salah satu bukti ilmiah penting yang mendorong dikeluarkannya homoseksualitas dari daftar gangguan kejiwaan adalah hasil penelitian Evelyn Hooker yang menunjukkan bahwa hasil tes proyektif dan IQ kelompok homoseksual tidaklah berbeda dengan kelompok manusia lain.

Kemudian hal ini juga didukung oleh temuan Kinsey yang menyatakan bahwa keragaman seksualitas merupakan fakta sosial yang dialami oleh semua kelompok manusia secara lintas budaya. Lebih jauh lagi, keragaman ini juga ternyata dapat ditemui di berbagai spesies hewan: peneliti biologi komparatif telah mengamati kecenderungan homoseksual pada sekitar 1,500 spesies hewan yang berbeda.

Lantas, mengapa kelompok homoseksual seringkali menampakkan berbagai gejala gangguan perilaku, yaitu rasa malu, bersalah, tidak berharga, kesepian, isolasi, depresi dan kelelahan (fatigue)?

Benny menyatakan bahwa gangguan perilaku manusia tidak hanya disebabkan oleh bangunan psikologis manusia itu semata. Ternyata pengaruh lingkungan berperan jauh lebih besar dalam menentukan perilaku manusia tersebut. Dalam kasus kelompok homoseksual, internalized homophobia telah diidentifikasi sebagai salah satu akar utama dari berbagai gangguan perilaku yang kita alami.

Menurut Amanda, internalized homophobia adalah fenomena dimana seorang individu menyerap prasangka masyarakat sekitar bahwa kelompok homoseksual itu sakit dan menyimpang ke dalam bangunan mentalnya sendiri, dan benar-benar mempercayai kebenaran prasangka tersebut tanpa filter lebih jauh.

Benny mengatakan bahwa meskipun institusi keilmuan, terutama Psikologi dan Kedokteran, telah menghapuskan homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa, namun tangan-tangan kekuasaan dan hegemoni heteronormativitas yang telah membelenggu kesadaran kolektif masyarakat selama berabad-abad tampaknya lebih berkuasa dari otoritas para ilmuwan.

Inilah sebabnya, terlepas dari sikap APA dan WHO terhadap homoseksualitas, banyak manusia yang masih percaya bahwa homoseksualitas adalah sebuah penyakit berbahaya. Yang disayangkan, sampai saat ini APA dan WHO juga masih menganggap kelompok transgender sebagai penderita gangguan kejiwaan.

“Bahkan, didasarkan kepercayaan populer di atas, banyak juga institusi-institusi, [baik itu yang sifatnya pseudo-ilmiah] seperti perkumpulan ahli Hipnoterapi maupun yang berbasis religius seperti gereja dan kumpulan ustadz-ustadz yang menawarkan ‘terapi’ untuk ‘menyembuhkan penyakit homoseksualitas’,” ujar Benny.

Amanda menekankan bahwa prasangka ini, apabila dipaparkan pada seorang individu secara berulang-ulang, sangat besar peranannya dalam mendistorsi persepsi individu yang bersangkutan mengenai dirinya sendiri.

“Bagaimana perkembangan konsep diri seseorang yang dihakimi secara buruk? Kalau semua orang memandang bahwa kita ini salah, lama kelamaan kita berpikir, ‘jangan-jangan memang saya ini salah, saya ini buruk, maka saya pantas untuk diperlakukan dengan buruk juga’,” ujar ibu Amanda saat menjawab pertanyaan dari seorang peserta diskusi.

Yang mengerikan adalah, prasangka bahwa kelompok homoseksual itu buruk dan cacat seringkali menjadi pembenaran untuk berbagai perlakuan buruk yang ditimpakan kepada kita, termasuk penganiayaan, pemukulan, deraan verbal serta pengucilan dari pergaulan.

Sebagai pengingat, di pertengahan tahun 2013 yang lalu, Forum LGBT Indonesia, sebuah jaringan yang menghubungkan individu LGBT se-Indonesia mengumumkan hasil penelitian mereka bahwa terjadi sebanyak 47 kasus kekerasan terhadap kelompok LGBT di seluruh Indonesia sepanjang tahun 2012, yang mencakup kekerasan fisik dan verbal, bullying, diskriminasi di tempat kerja serta pembunuhan.

Kelompok ini percaya bahwa jumlah pelanggaran yang terjadi sebetulnya baru mencerminkan pucuk gunung es dari fenomena homofobia di Indonesia – mereka yakin ada banyak individu LGBT yang mengalami kekerasan namun tidak melaporkan peristiwa yang menipa mereka karena takut identitas seksual mereka akan terungkap.

Setelah terpapar – atau melihat individu homoseksual lain terpapar – dengan berbagai perlakuan buruk karena identitas seksualnya, seorang individu dapat menampilkan beberapa manifestasi dari internalized homophobia, seperti menolak mengakui identitas seksualnya, secara agresif menghina kelompok homoseksual supaya tidak dicurigai bahwa dirinya gay atau lesbian, atau bersikap nyinyir terhadap individu homoseksual lain yang sangat vokal dan bangga akan identitas diri mereka.

Seringkali, individu homoseksual juga merasa tidak bahagia, merasa dirinya kosong meskipun sudah mendapatkan banyak pencapaian dalam hidupnya. Ini disebabkan karena mereka mencabut seksualitas, yaitu bagian yang hakiki dari diri mereka, sehingga akan sulit menjadi manusia yang utuh.

Oleh karena itu, beberapa solusi yang ditawarkan untuk melawan internalized homophobia dan menjadi individu yang lebih bahagia adalah: mencari kawan-kawan yang ramah LGBT dan tidak suka menghakimi serta mempelajari fakta-fakta yang tidak bias mengenai seksualitas. Diharapkan, dengan membuka pikiran mereka pada hal-hal yang bersifat ramah LGBT, individu homoseksual akhirnya bisa menerima identitas seksualnya dengan ikhlas dan menjalani hidup yang lebih bahagia.(Sebastian Partogi)