Search
Close this search box.
Soe Tjen Marching menjadi narasumber dalam kegiatan bedah buku “Kubunuh Disini” di sekretariat Suara Kita.Foto,Dok/Suarakita/Yatnapelangi
Soe Tjen Marching menjadi narasumber dalam kegiatan bedah buku “Kubunuh Disini” di sekretariat Suara Kita.Foto,Dok/Suarakita/Yatnapelangi

Suarakita.org- Jika ini adalah tentang nyawa manusia, mari kita menggali fakta sebanyak mungkin dan melakukan penelitian lebih lanjut tentang hukuman mati, tulis Soe Tjen Marching.

Pertama-tama, izinkan saya menyatakan dengan sejelas-jelasnya: Saya adalah warga Negara Indonesia dan saya menentang hukuman mati. Tapi saya juga muak dengan meledaknya perdebatan ini di luar proporsi.

Saya percaya bahwa hukuman mati adalah sebuah bentuk arogansi dari pihak berwenang: vonis yang tak bisa lagi direvisi jika ada kesalahan dalam proses atau keputusan peradilan. Bahkan di negara-negara dengan sistem hukum yang lebih efektif dan transparan daripada Indonesia, bukan rahasia lagi bahwa orang berduit dapat lolos dari hukuman berat atau bahkan dari hukuman sama sekali, karena mereka mampu menyewa pengacara jagoan.

Jadi, pasti orang kaya dan berpengaruh dapat lebih mudah melepaskan diri dari hukuman mati.

Selain itu, banyak peneliti telah menunjukkan bahwa hukuman mati tidak mencegah kejahatan dibandingkan dengan bentuk hukuman lain. Jadi, mengapa kita harus mengorbankan nyawa manusia?

Namun, pemerintah Indonesia yang mendukung hukuman mati untuk pelanggaran narkoba percaya bahwa jenis hukuman ini bisa mengurangi kejahatan. Seperti yang ditekankan oleh Presiden Joko Widodo beberapa kali, 50 orang meninggal setiap hari di Indonesia karena penggunaan narkoba. Hukuman mati diyakini menjadi cara efektif mengurangi dampak ini, dan untuk mencegah kaum muda dari terlibat dalam penggunaan dan penyalahgunaan obat. Dalam hal ini, ada keyakinan bahwa lebih baik ‘membunuh’ segelintir manusia, demi menyelamatkan lebih banyak nyawa.

Memang, masalah ini tampaknya menjadi perbedaan utama antara mayoritas orang-orang yang menentang dan mendukung hukuman mati.

Anggun C. Sasmi yang menentang hukuman mati, berpendapat bahwa hukuman tidak berdampak apapun dalam mencegah kejahatan. Klaim Anggun ditentang oleh istri seorang mantan pecandu narkoba, yang mengingatkan sang penyanyi berdomisili Perancis ini, akan bahaya narkoba dan pentingnya hukuman mati bagi pengedarnya.

Jadi, argumen mana yang lebih valid: argumen orang-orang yang menentang atau yang pro-hukuman mati? Untuk menentukan ini, kita harus melihat data, menganalisis, dan/atau membandingkan artikel akademis tentang hubungan antara hukuman mati dan efektivitasnya dalam memerangi narkoba. Perbedaan pendapat harus diselesaikan melalui penelitian dan studi lebih lanjut, serta akal sehat.

Namun, dalam masalah hukuman mati ini, seringkali yang terjadi adalah sebaliknya.

Setelah eksekusi delapan napi narkoba pekan lalu, sebuah artikel di The Guardian oleh wartawan Australia Gay Alcorn yang berjudul “Indonesia Membunuh Delapan Orang” berpendapat bahwa Negara Barat terlalu sopan terhadap Indonesia dalam mencegah pelaksanaan hukuman mati. Mengingatkan akan maraknya korupsi di Indonesia, Alcorn menegaskan bahwa setelah Indonesia melaksanakan hukuman mati, Negara Barat tidak harus menahan diri dalam mengkritik pedas atau mengecam apa yang telah terjadi di Indonesia.

Dia menulis: “Kami tidak perlu menjaga perasaan mereka, karena takut dipandang sebagai Barat yang congkak.” Ini justru menyiratkan suatu tindakan arogansi atau kenaifan, seolah-olah hanya orang Barat yang menentang hukuman mati ini, sementara banyak aktivis hak asasi manusia di Indonesia telah menentangnya dan berusaha untuk melobi Joko untuk menghapuskan kebijakan yang kontroversial ini.

Sebagian dari mereka yang dieksekusi juga tidak bisa dianggap “Barat” (di antara mereka, adalah orang Nigeria, Brasil dan Indonesia). Jadi, jangan “menyelewengkan” masalah menjadi tentang Barat vs Indonesia.

Alcorn menyebutkan dalam artikelnya bahwa tidak hanya Indonesia yang menerapkan hukuman mati. Memang, ada 36 negara yang masih menerapkan hukuman mati, termasuk Amerika Serikat. Namun, artikel Alcorn ini mengabaikan statistik prosentase eksekusi, yang menempatkan Indonesia di bagian paling bawah dari daftar negara-negara yang telah membunuh penjahat mereka. Amerika Serikat (yang seringkali dianggap sebagai super power Negara Barat) menempati bagian puncak.

Saya tidak bermaksud menyepelekan atau menganggap pembunuhan delapan orang di Indonesia ini tidak begitu tragis. Namun, saya menunjukkan ketidaktepatan merujuk masalah seputar Indonesia terhadap Barat, hanya karena eksekusi baru-baru ini. Argumen ini hanya akan mengalihkan perhatian dari topik utama.

Sama konyolnya, ketika mereka yang pro-hukuman mati menuduh Anggun C. Sasmi sebagai tidak nasionalis dan tidak perlu kembali ke Indonesia. Apa hubungan antara nasionalisme dan hukuman mati? Apakah hukuman mati adalah budaya unik dari Indonesia, sehingga orang yang tidak setuju dengan kebijakan ini, dapat dianggap anti-Indonesia?

Kedua belah pihak telah mengklaim bahwa argumen mereka didasarkan pada kemanusiaan: yang pro berpendapat bahwa hukuman mati dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa dengan menembak para pengedar narkoba; yang kontra juga bersikeras praktik ini hanya mengorbankan kehidupan manusia dengan sia-sia.

Jadi, jika ini adalah tentang nyawa manusia, mari kita menggali fakta sebanyak mungkin dan melakukan penelitian lebih lanjut. Mari kita mengumpulkan data dan menganalisa sedalam-dalamnya, bukan melemparkan argumen begitu saja, tanpa bukti yang tepat.

*SoeTjen Marching: penulis buku Kubunuh di Sini dan saat ini sedang menyelesaikan buku tentang korban genosida 1965. Versi Bahasa Inggris artikel ini telah dimuat di The Jakarta Globe, 8 Mei 2015.

Sumber: dw.de