Oleh: Abhipraya Ardiansyah*
Suarakita.org- Suatu sore, saya di-tag sebuah video melalui Facebook. Video trailer film yang berjudul Salah Bodi. Dari judulnya, saya berasumsi kalau film ini akan bercerita tentang transgender. Dengan sedikit penasaran, saya buka tautan tersebut dan menonton trailer-nya.
Memang benar, film itu bercerita tentang seorang perempuan yang menghayati gendernya sebagai laki-laki. Ada pula ulasan cerita saat ia menjalin hubungan dengan seorang wanita. Tapi, ada yang sedikit ganjil dengan wanita tersebut. Apa jangan-jangan perempuan itu juga transwoman (waria – red ) ya?
Di akhir video, tertulis bahwa film tersebut akan ditayangkan perdana pada tanggal 20 November 2014. Tepat dengan Transgender Day of Remembrance (TDOR)! Saya semakin penasaran dengan film Indonesia yang mulai berani mengangkat isu transgender secara terang-terangan. Apalagi di hari besar transgender di seluruh dunia itu. Asumsinya, film ini memang salah satu bentuk peringatan TDOR. Baiklah, saya dan beberapa teman kemudian mengagendakan untuk menonton film tersebut setelah hari peringatan TDOR. Kami sudah gemas untuk mengulas film tersebut.
Sampailah akhirnya pada tanggal 21 November. Saya dan beberapa teman LGBTI janjian untuk menonton film tersebut di sebuah bioskop pada malam hari. Kami berangkat berenam. Apa fakta pertama yang kami temukan? Saat membeli tiket, kami tahu kalau studio tersebut kosong! Hanya ada 2 baris penonton termasuk kami. Kesimpulan pertama: film (atau mungkin isu transgender) ini kurang peminat.
Film ini bercerita tentang Farhan, yang lahir sebagai perempuan dengan nama Andin. Adegan pertama diawali oleh scene di rumah sakit saat Farhan melahirkan dengan ditemani istrinya. Lalu, alur film mundur dan menceritakan masa kecil Farhan. Sejak kecil, Andin tidak pernah bermain dengan teman-teman perempuan sebayanya. Ia lebih senang bermain dengan laki-laki. Terdapat salah satu adegan lucu, di mana Andin pipis berdiri bersama teman-temannya dengan celana basah. Tidak hanya itu, sejak usia SD pun Andin sudah merasa dirinya laki-laki. Terlihat ketika orang tuanya dipanggil ke sekolah karena ia memakai seragam laki-laki ke sekolah. Saat beranjak dewasa, Andin semakin yakin bahwa dirinya adalah seorang laki-laki. Ia mulai memotong rambutnya, membebat dadanya, dan mengatakan pada kedua orang tuanya kalau ia mengganti namanya sebagai Farhan.
Farhan bekerja sebagai seorang desainer grafis. Semua orang di tempat kerjanya mengenal Farhan sebagai laki-laki. Namun, ia kerap kali mengalami beberapa kesulitan. Misalnya, saat harus mengganti pembalut di kantor. Beberapa orang penasaran, apa yang sedang dilakukan seorang laki-laki dengan berlama-lama di bilik toilet? Farhan juga tidak pernah melakukan hubungan seks dengan perempuan yang dipacarinya. Karena ia takut identitas aslinya terbongkar.
Suatu hari, Farhan mendapatkan tawaran untuk membuat poster film horor. Di situlah ia bertemu dengan Inong, perempuan cantik yang menarik hatinya. Inong adalah seorang sutradara film yang menarik namun misterius. Dari pertemuan-pertemuan yang diawali oleh urusan pekerjaan itulah, Farhan menjalin hubungan dengan Inong. Sampai akhirnya Farhan meminta Inong untuk menjadi istrinya. Di sinilah masalah dimulai.
Inong tinggal seorang diri. Ia kabur dari rumahnya sejak SD. Untuk menyembunyikan fakta itu, ia membayar sepasang suami istri untuk berpura-pura menjadi orang tuanya dan menyambut kedatangan orang tua Farhan. Namun, dalam beberapa hari Farhan dapat mengetahui hal itu. Inong pun mulai menghindari Farhan karena ia tidak mau mengecewakan orang yang ia cintai. Di satu sisi, Farhan juga ingin jujur tentang siapa dirinya pada Inong.
Ternyata, Farhan dan Inong memang harus jujur satu sama lain. Inong pun membuka pakaian dan wig yang selalu dipakainya. Ia jujur pada Farhan bahwa dirinya adalah seorang laki-laki yang lahir dengan nama Indra. Inong sudah merasa dirinya berbeda sejak kecil. Bermain boneka, berdandan, dan memakai rok. Indra kecil tidak peduli dengan cemooh teman-teman di sekitarnya. Karena ia merasa percaya diri dengan menjadi dirinya sendiri. Karena itulah ia diusir dari keluarganya. Inong hidup sebatang kara sejak kecil dan tidak pernah bertemu dengan keluarganya lagi. Mengetahui hal itu, Farhan juga membuka jati dirinya. Mereka pun menikah.
Dari pernikahan tersebut, Farhan pun hamil. Mereka berdua mengasuh anak bersama-sama. Hingga mereka pun semakin bingung tentang keadaan mereka. Siapa yang ayah? Siapa yang ibu? Kenapa mereka harus hidup seperti ini? Karena itulah mereka kembali pada ‘kodrat’ masing-masing, yaitu sebagai Andin dan Indra.
Film garapan Sys Ns ini berdurasi 100 menit, dikemas dengan komedi yang membuat penonton tertawa di sepanjang film. Akting para pemainnya pun patut diacungi jempol. Alur film yang bergerak maju mundur berhasil membuat penoton penasaran. Film ini memang telah mengangkat isu transgender. Hanya saja, terdapat beberapa hal yang harus dikritisi.
Pertama, masalah identitas. Bagaimana cara Andin dan Indra mengurus identitasnya sehingga mereka dapat bekerja dengan gender yang mereka inginkan? Lalu, dengan semudah itu pula mereka kembali pada identitas lama. Kita sendiri tahu bahwa masalah identitas adalah akar permasalahan yang kerap dialami transgender dalam dunia kerja. Pergantian dokumen-dokumen legal bukanlah hal yang mudah dilakukan dengan prosedur singkat di Indonesia. Sayangnya, isu ini tidak terangkat dengan baik.
Kedua, masih adanya unsur heteronormatif. Terlihat dari munculnya nama tempat Heterotopia dan kata lines. Memang, hal ini bukanlah major problem. Namun, dari sini terlihat bahwa si penulis cerita tidak memahami konsep SOGIE (Sexual Orientation, Gender Identity and Expression – red ) dengan baik. Diperlukan riset yang tidak singkat untuk membuat film yang bertemakan LGBTI. Merupakan sebuah keganjilan jika dalam sebuah relasi transgender keduanya tidak mengetahui identitas seksual satu sama lain.
Ketiga, ending film yang tidak sama sekali mengangkat isu transgender. Pada akhirnya, Farhan dan Inong kembali ke ‘kodrat’ masing-masing. Hal tersebut menimbulkan stigma bahwa transgender adalah orang yang melawan kodrat, berdosa, dan tidak mensyukuri tubuh yang diberikan oleh Tuhan. Jika film ini bertujuan untuk mengangkat isu transgender, maka isu tersebut gagal tersampaikan. Masyarakat akan mengetahui bahwa transgender masih bisa ‘dikembalikan’.
Menurut saya, film ini sangat menjunjung tinggi gender biner. Karena pada akhirnya yang ditekankan adalah bahwa dunia ini hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Semua ditentukan berdasarkan seks biologis, bukan gender.
Kami pulang dari bioskop dengan perasaan kecewa. Kecewa karena film yang kami harapkan bisa membuka mata masyarakat tentang keberadaan transgender dan gender ketiga, malah justru membunuh karakter transgender. Pesan yang tidak disampaikan dan semakin memperburuk citra transgender di hari besar yang kami peringati.
Ini adalah pekerjaan rumah bersama untuk pergerakan LGBTI. Kita harus semakin kreatif dan berani lagi dalam mengangkat isu SOGIE dan memperkenalkannya pada masyarakat. Agar LGBTI tidak lagi menjadi warga negara kelas dua. Caranya bermacam-macam. Dimulai dari edukasi SOGIE, meluncurkan karya-karya yang mengangkat isu SOGIE, aksi damai, dll. Atau lebih baik lagi jika kita membuat film tandingan. Karena film merupakan media komunikasi yang dapat dicerna dengan baik oleh masyarakat. Ada yang berani?
*Penulis adalah lulusan UGM dan aktivis kemanusiaan.