Search
Close this search box.

Selamat Hari Transgender dari Wamena Papua

Suarakita.org- “Sapu tangan biru, kini basah sudah; berpisah dalam pandangan, menyatu dalam doa” lirik lagu yang dinyanyikan oleh teman-teman remaja mengiringi Oyik dan Tama yang disalami satu persatu oleh masyarakat pada malam yang mengharu biru.

Oyik dan Tama adalah dua mentor dari Yayasan Kampung Halaman Jogjakarta untuk kegiatan Sekolah Remaja 2014 di Hepuba Wamena. Selama sebulan terakhir mereka mendampingi remaha belajar membuat film dokumenter dan pemetaan kampung menggunakan GPS. Pada hari Minggu, 16 November 2014, para remaja mempresentasikan hasil belajar mereka kepada masyarakat, sekaligus acara perpisahan dengan Oyik dan Tama. Untuk acara ini, teman-teman memasak makanan dengan cara paling khas dari Lembah Baliem yaitu Bakar Batu. Rupanya kebersamaan mereka sebulan penuh cukup membekas di hati.

Tama adalah seorang transgender. “Saya itu female to male, masih jarang muncul yang seperti saya ini” jelasnya saat kami pertama kali bertemu. Saat diberitahu sama teman dari Kampung Halaman bahwa salah satu mentor yang akan datang adalah transgender, entah kenapa dalam hati saya tidak terlalu khawatir juga. Saya mengenal dengan baik masyarakat di Hepuba dan rasanya kalaupun mereka tahu, Tama tetap akan diperlakukan dengan baik.

Tama (paling kanna) dan Oyik saat berkunjung ke honai-honai warga
Tama (paling kanna) dan Oyik saat berkunjung ke honai-honai warga

Di Wamena, satu perkampungan terdiri dari silimo-silimo. Silimo adalah tempat tinggal untuk satu keluarga. Di dalamnya ada beberapa bangunan yaitu honai laki-laki, honai perempuan, dapur dan juga kandang babi. Perempuan tidak bisa masuk ke honai laki-laki. Karena itulah sempat terpikirkan bagaimana dengan Tama dengan identitasnya seperti ini, apalagi kegiatan ini mengharuskan mereka bersama para remaja mengunjungi honai-honai masyarakat.

Saya sendiri baru bergabung di kegiatan ini pada satu minggu terakhir. Tidak tahu persis apa yang terjadi selama tiga minggu sebelumnya. Tetapi semua terlihat baik-baik saja. Teman-teman remaja bersemangat dan serius belajar, pun sangat akrab dengan oyik dan Tama yang dua-duanya mereka panggil dengan “Mas”. Di hari-hari terakhir, saya meminta ijin pada Tama untuk menulis tentang dia dan respon teman-teman remaja tentang identitasnya. “Bisa. Tapi sebetulnya saya ga tahu teman-teman paham identitas saya atau tidak” jawabnya. dimalam terakhir, di tempat duduk luar honai tempat para remaja berkegiatan, saya diam-diam memanggil dua orang siswa sekolah remaja, perempuan dan laki-laki.

Malam perpisahan sekolah dengan Oyik dan Tama
Malam perpisahan sekolah dengan Oyik dan Tama

“Ini malam terakhir dengan mas Tama dan mas Oyik; bagaimana pendapat kalian tentang mereka” saya memulai obrolan. “Mereka itu baik. Kita baru mulai belajar pegang komputer apa semua, tapi mereka sabar kasi ajar kita. Kita jalan ke rumah-rumah, pokoknya senang” ujar vero. Saya melemparkan satu persatu pertanyaan pengantar untuk mereka berdua sebelum akhirnya saya fokus tanya tentang Tama. “Lalu kalian perhatikan mas Tama itu bagaimana? Tanya saya lagi. “Mas Tama itu baik. Pertama kali dia datang itu kami pikir saja dia perempuan, padahal dia laki-laki” kata Franky. Saya mencari kalimat yang pas untuk menjelaskan “Sebenarnya dia itu memang perempuan, tapi dia merasa jiwanya itu laki-laki” ungkap saya pelan. “Hah iyo? Jadi dia perempuan? pantas waktu di honai di atas saya suru dia masuk ke Bapa pu honai, dia bilang saya tidak bisa. Saya ini setengah laki-laki setengah perempuan. Saya pikir dia main-main jadi saya ajak dia ke honai perempuan. Jelas vero. Franky lain lagi “Iyo? Aduh, saya kaget ini. Jadi dia perempuane?”ujar franky lagi.

Rupanya mereka diam-diam memperhatikan tetapi berpikir bahwa Tama adalah orang yang seperti selama ini mereka lihat yaitu laki-laki yang seperti perempuan. “Kenapa dia tidak bilang saja dari awal” tanya vero. “Mungkin situasinya akan beda kalau kalian tahu itu di awal” jawab saya. Mereka mengajukan banyak pertanyaan sebelum akhirnya saya memberi pertanyaan terakhir “Bagaimana perasaan kalian sekarang setelah tau ini?. “Sayang dia, saya tambah sayang sama dia” ujar vero. Franky pun demikian. Frans yang hampir setiap hari bersama Tama bahkan tidur bersama dengan Tama di honai lebih kaget. “Pantas selama ini juga saya ada pikir. Saya itu kalau ada yang lucu dan tertawa, saya biasa tepuk orang pu bagian belakang. Setiap saya pukul rasa macam, ah kenapa laki-laki ini pake BH? tapi saya diam-diam saja” jelasnya. “Pokoknya begitu sudah”. Kalian bisa langsung tanya sendiri ke Tama” saya menjawab. “Memangnya dia bisa cerita sendiri?” tanya Vikram, peserta yang paling tidak siap mengetahui identitas Tama. “Bisa toh. Dia bisa cerita terbuka dengan kalian” jawab saya.

Malam itu juga Tama menjelaskan bahwa awalnya dia sempat deg-degan ditugaskan di sini dengan identitasnya seperti ini. “Ini tempat coming out saya yang paling jauh” jelas Tama malam itu.

Pagi-pagi pukul 07:00 semua mengantar Tama dan Oyik ke Bandara, termasuk Vikram. Dalam mobil tetap bercanda seperti biasa dan tentu saja tetap memanggil Tama “Mas Tama”. Tidak ada yang berbeda dari sebelum dan setelah mengetahui identitas Tama. Tapi saya tahu bahwa mereka menyimpan banyak pertanyaan dalam hati.

Sepulang dari Bandara, teman-teman ini tak henti-hentikan membahas Tama. Vikram masih belum bisa menerima. “Dia suka sama perempuan lagi itu yang saya rasa macam bagaimana” jelasnya sambil menaruh kepalanya di meja. “Contoh macam ko saja sekarang. Ko sekarang rasa ko ini laki-laki atau perempuan?” tanya Franky. “Laki-laki toh” jawab vikram. “Kalau kita paksa ko jadi perempuan ko bisa kah tidak?” lanjutnya. “Tidak” jawabnya. “Iyo, mas Tama juga macam begitu. Kalau dia rasa dia laki-laki yah memang begitu. Kita tidak bisa paksa dia jadi perempuan” lanjutnya.

Kami satu persatu pun berusaha menjelaskan untuk vikram dan akhirnya bersepakat untuk memutar film tentang Transgender pada hari Kamis 20 November 2014. (Semua akhirnya paham kenapa Tama selalu bilang bahwa tanggal 20 harus sudah kembali ke Jogja karena ada kegiatan penting ).

“Selama ini kita lihat hanya laki-laki yang jadi perempuan, ini baru kita lihat perempuan yang jadi laki-laki. Dan di kampung ada. Namnya very. Dia itu laki-laki tapi macam perempuan. Pintar anyam-anyam rambut. Dia tidak bisa kerja kebun. Tapi pekerjaan yang perempuan punya macam tanam atau gali hiperekah, petik sayurkah, dia macam pintar sekali” Jelas Frans. “Banyak laki-laki yang tidak tau kalau dia laki-laki itu bisa suka sama dia juga” Sambung Hiron.

Setelah Tama pergi, satu persatu mereka kembali pada memori tentang Tama. Rupanya ada yang mereka perhatikan dari Tama selama bersama-sama; mulai dari pembalut di kamar mandi, beli bando, rambut Tama yang halus, kelelahan saat naik gunung hingga BH yang masih dipakai Tama. Yang menarik juga adalah Mas Oyik. Saya bahkan jauh lebih baik dari Oyik mengenal isu LGBT. “LGBT itu apakah?” tanya mas Oyik. Dalam hati saya berpikir mereka pasti sedang bercanda. Setelah berbicara cukup lama, rupanya memang mas Oyik sama sekali jauh dari isu itu. “Selama 3 tahun terakhir ini, saya hanya bergaul dengan motor trail dan dokumenter musik. ” ungkapnya lagi. “Jadi kamu perempuan? kita sudah tiga minggu ini tidur bersama loh” ungkapnya sambil bercanda. Sebulan bersama Tama juga membuatnya sedikit demi sedikit memahami isu LGBT.

Saya sendiri dalam seminggu kebersamaan dengan Tama, merasakan dia sebagai keduanya. Kadang saya merasa dia perempuan sehingga sampai jauh malam pun saya tidak merasa seorang diri sebagai perempuan duduk dan menyanyi di honai bahkan terpikir untuk bergabung tidur di honai saja dan kemudian tersadar bahwa saya memang harus keluar karena yang di dalam honai semuanya laki-laki.

Terima kasih Tama. Mengenalmu membuat kami mengenal dunia yang berwarna-warni, bukan dunia yang hanya hitam dan putih. Semoga dunia ini semakin menjadi tempat yang aman dan damai untuk semua, apapun identitasnya.

Salamat Hari Transgender dari Wamena Papua!

(*Asrida Elisabeth: Saat ini tinggal di Wamena Papua dan menjadi relawan di Yayasan Teratai Hati Papua (YTHP). Sedang belajar menulis dan membuat film dokumenter)