Search
Close this search box.

Oleh : Sebastian Partogi*

Just-kidsSuarakita.org– Siapa tak kenal Patti Smith? Perempuan berusia 68 tahun ini kerapkali disebut sebagai ‘the godmother of punk’ dan masuk ke dalam Rock and Roll Hall of Fame pada tahun 2007. Lagu lagunya yang bernuansa politis dan penuh perlawanan seperti ‘People Have the Power‘, ‘Gloria‘, ‘Free Money‘ dan ‘1969’ masih sangat dicintai oleh para penggemarnya hingga saat ini. Sejak album pertamanya, Horses, yang dirilis tahun 1975, Patti telah menginspirasi sederet musisi seperti band rock alternatif R.E.M. dan Pearl Jam, juga musisi Tori Amos. Hingga usianya saat ini, Patti masih tetap manggung dan beliau masih sangat energetik membawakan lagu lagu rock.

Lalu siapa yang tidak kenal Robert Mapplethorpe? Pecinta dunia fotografi pasti mengenalnya: fotografer gay yang karya hitam-putihnya kerap mengundang kontroversi dan kejutan. Tentu saja. Mulut siapakah gerangan yang takkan menganga saat melihat foto yang menggambarkan ejakulasi, dubur yang ditusuk oleh pecut kuda, atau seseorang yang kencing ke dalam mulut laki laki lainnya?

Jauh sebelum mereka jadi tenar, Patti dan Robert telah menjadi dua orang sahabat yang dipertemukan oleh dua insiden tak terduga di Brooklyn pada tahun 1960an dan kemudian harus berpisah pada tahun 1989 karena Robert wafat disebabkan oleh HIV/AIDS. Patti menuangkan perjalanannya bersama Robert dalam buku berjudul Just Kids (Harper Collins, 2010).

Dalam buku tersebut Patti menceritakan kisah Robert yang menurutnya adalah seorang ‘seniman sejati’.

Patricia Lee Smith keluar dari perguruan tinggi dan pergi merantau jauh dari rumah keluarganya saat ia mengalami kehamilan di luar nikah pada usia 20an tahun. Kemudian sang penyair dan pelukis berbakat tersebut memberikan bayinya untuk diadopsi dan bekerja di sebuah pabrik untuk menyambung hidupnya.

Pekerjaan yang sangat melelahkan di pabrik tersebut sungguh tak tertahankan untuknya (ia kemudian menulis sebuah lagu berjudul ‘Piss Factory‘) dan juga tidak bisa memberinya kecukupan finansial. Ia kemudian berpindah pekerjaan di sebuah toko buku dan bertugas menjaga bagian aksesoris dari toko tersebut.

Suatu hari ada seorang laki laki muda membeli kalung Persia dari toko tersebut.

Kemudian Patti secara tidak sengaja bertemu dengan seorang penulis fiksi ilmiah dengan rekam jejak kurang jelas. Laki laki ini kemudian mengajaknya berkencan. Kelaparan, Patti sulit untuk mengabaikan tawaran untuk makan gratis. Namun ia tetap saja ketakutan bahwa laki laki tersebut akan melakukan hal buruk padanya. Saat laki laki tersebut mengajak Patti untuk pergi ke apartemennya, Patti langsung ketakutan. Matanya menyapu seisi restoran. Tiba tiba, voila! Ia melihat si pemuda yang pernah membeli kalung Persia darinya. Bergegas ia menghampiri pemuda tersebut.

“Bisakah kau berpura pura jadi pacarku? Nanti akan kujelaskan” katanya. Pemuda itu menyanggupi. Begitu Patti kabur dari laki laki tersebut, ia pun tinggal di flat pemuda tersebut dan sejak itu mereka bersahabat baik. Pemuda itu adalah Robert Mapplethorpe.

Patti Smith dan Robert Mapplethorpe (Foto : www.retronaut.com)
Patti Smith dan Robert Mapplethorpe (Foto : www.retronaut.com)

Selama belasan tahun Patti dan Robert hidup sederhana, demi idealisme mereka untuk betul betul menghidupi kesenian. Patti senang menulis puisi. Ia dan Robert sama sama senang menggambar dan melukis. Dalam perjalanan waktu, bentuk seni mereka mengalami evolusi: puisi Patti berkembang menjadi lagu rock dan seni visual Robert berkembang menjadi fotografi.

Lama Patti dan Robert hidup bersama dan berbagi ranjang. Namun lama kelamaan, Patti merasakan ada yang aneh dari Robert: ia semakin dingin dan jauh. Kemudian Robert mengatakan bahwa sepertinya dirinya adalah seorang gay. Patti kaget.

“Awalnya aku mengira bahwa seseorang laki laki bisa menjadi gay hanya karena ia tidak dapat menemukan perempuan yang tepat. Bahkan (penyair gay) Allen Ginsberg pun pernah mengeluh bahwasanya ia tidak akan berhubungan dengan laki laki seandainya ia dapat menemukan perempuan yang tepat dan enak diajak bertukar pikiran.

Baru sekarang aku menyadari bahwa meskipun aku bukanlah seseorang yang mudah menghakimi orang lain, namun pemahamanku mengenai homoseksualitas sangatlah picik.

Saat aku melihat Robert dengan pacar laki lakinya barulah aku menyadari bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang alamiah” ungkap Patti. Ia mengakhiri pembahasan tentang seksualitas Robert di sana karena Robert ‘tidak pernah mau dilihat hanya dari lensa seksualitas’. Ia juga melihat Robert sebagai manusia utuh, bukan sekadar seorang gay.

Patti tetap bersahabat dengan Robert. Bersama, mereka bekerja dan saling mendukung kebutuhan satu sama lain, demi menciptakan dan menikmati karya seni dan bersama mereka agung agungkan.

Hingga pada akhirnya masing masing menemukan jalan mereka menuju kebesaran. Robert bertemu dengan Samuel Wagstaff, milioner yang menjadi kekasihnya dan mensponsori kerja fotografinya. Sementara Patti bertemu gitaris Lenny Kaye yang menjadi kolaboratornya. Penampilan mereka berdua di St. Mark’s Church membawakan puisi Ballad of a Bad Boy dengan iringan gitar elektrik kemudian membuka jalan yang pada akhirnya mengantarkan Patti ke kontrak rekaman dengan perusahaan besar, Arista, di tahun 1975. Saat itu Patti juga semakin dikenal sebagai kritikus musik yang meresensi album untuk berbagai majalah, termasuk Rolling Stone.

Album pertama Patti inilah, yang berjudul Horses, yang menjadi salah satu puncak kolaborasi mereka. Foto kover album Horses yang sangat terkenal, yang menampilkan Patti dengan rambut pendek bak anak lelaki dengan kemeja dan dasi serta jas yang diselempangkan ke pundak adalah hasil jepretan Robert.

“Saat melihat foto tersebut, saya tidak melihat diri saya sendiri. Saya melihat kami” ujar Patti.

Kolaborasi tersebut dilanjutkan sampai menjelang akhir hayat Robert saat dirinya menderita AIDS. Foto terakhir Patti yang diambil Robert adalah saat ia hamil anak keduanya, lalu foto keluarga Patti, suaminya dan kedua anaknya. Beberapa foto tersebut dipakai untuk album Dream of Life di tahun 1988.

Saat Robert hampir meninggal dunia di tahun 1989, ia meminta Patti untuk menuliskan kisah hidup mereka. Dan kurang lebih 21 tahun kemudian muncullah buku ini. Kisah indah tentang persahabatan, semangat berkarya dan idealisme yang telah merekatkan dua orang manusia yang datang dari jalan hidup yang sangat, sangat berbeda.

*Penulis adalah jurnalis di The Jakarta Post.