Search
Close this search box.

Menjadi Kartini atau Memaknai Kartini?

Suarakita.org – Sosok Kartini mulai dimunculkan oleh zaman orde lama tahun 1964, maka dari itu setiap tanggal 21 April masyarakat Indonesia memperingati hari Kartini, sosok perempuan yang terkenal dengan tulisan-tulisannya yang ingin membebaskan perempuan Indonesia. . Dalam perjalanannya sosok Kartini mulai dihancurkan orde baru dengan membiasakan masyarakat untuk merayakan identitas Kartini. Media massa juga ikut mencitrakan sosok Kartini dengan memakai Kebaya dan kemudian dilanggengkan oleh stake ibuisme dimana perempuan itu adalah tonggak moral Negara. Inilah yang menjadi pembahasan Ikhaputri Widiantini sebagai narasumber diskusi Kartini dan Pluralisme.

Pada masa hidupnya, Kartini keluar dengan pola pengalaman penulisan. Dalam konsep muktikultural Kartini mengkritik kolonial secara habis-habisan karena kolonial menempatkan standard identitas dari pendapat kita. Kemudian ketika kita melihat satu kasus misalnya saja apabila kita memandang kasus perkosaan perempuan, maka kita hanya bersimpati saja.

Dalam ethic of care feminism mengatakan stop untuk hanya berbicara, Kartini mengatakan “kalau hakikat diri kita sudah kuat, maka kita bisa ikut menyelesaikan problem orang lain”. Kita akan melihat setiap orang memiliki nilai sendiri. Maka dari itu, mulailah memahami diri dan kemudian mendengarkan. Setelah itu Kartini masuk dalam satu konsep kasih sayang. Di dalam feminism ada konsep rekonsiliasi, “Stop selalu menyalahkan orang tapi di diajak untuk ada perubahan”.

Dalam kegiatan yang berlangsung di Megawati Institute ini juga mengangkat konsep Kartini yang ingin membebaskan perempuan. Ikhaputri menjelaskan perempuan yang mandiri akan merasa tidak sejalan dengan pemikiran nenek moyangnya. Disini ada pemberontakan untuk keluar dari kotak yang sudah ada.

Selanjutnya Ikhaputri mengajak untuk melawan media yang membentuk citra Kartini sebagai atribut, seperti pakai baju adat. Ikhaputri Kalau media mainkan atribut, kita mainkan atributnya. “Ini yang harusnya dilakukan, dengan begitu kalau konsep yang ingin diangkat media adalah kebaya, ya kita robek kain kebaya patriatkhi itu”, Ungkap Ikhaputri. Sebagai penutup Ikhaputri menjelaskan, kenapa tidak kita melihat bahwa kartini protes akan standard identitas tersebut? Kalau melihat Kartini dari kutipan Judith Butler, ada kecairan identitas. Jadi kita tidak terpaku lagi menjadi Kartini, namun kita memaknai dan menciptakan Kartini versi kita sendiri. (Rikky)