Search
Close this search box.

Sumber Foto: Antara
Sumber Foto: Antara

Jakarta. ourvoice.or.id – Kami, yang tak mengenal  korupsi  meringkuk dalam penjara tanpa pengadilan, mulai 11 sampai 15 tahun. Enaknya Gayus yang sudah mengondol ratusan miliar, cuma kena 6 tahun. Dimana letak keadilan hukum di Indonesia ini?

Itulah penggalan puisi yang dibacakan oleh Lestari (81) berjudul “Srikandi Indonesia”, dalam acara penutupan “Konsultasi Nasional, Pengukuhan Hak Konstitusi Perempuan” di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, (12-15/3/2012).

Lestari, satu dari 3,5 juta (diperkirakan) rakyat Indonesia yang menjadi korban 65. Perempuan  “rentah” itu masih menyisahkan kecerdasan dan semangat perjuangannya.  Penulis yakin, Lestari bukan orang “sembarangan”, masih sangat terlihat kecerdasan berpikir nenek ini.  Dia pernah menjadi ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) tahun 1952 di Bojonegoro, Jatim.

Menurut Lestari, kecintaan pada Gerwani karena misi dan visi perjuangan untuk keadilan perempuan.  Diantaranya menghentikan pernikahan paksa anak, anti poligami dan pemberantasan buta huruf bagi perempuan.  Isu yang sampai detik ini (Maret 2012) masih terus terjadi di Indonesia.

Kartini adalah pahlawan yang dia kagumi, karena memberikan inspirasi untuk terus belajar dan berbagi ilmu dengan sesama perempuan.  Lestari ketika menjadi anggota Gerwani selalu memberikan pendidikan membaca dan menulis bagi para perempuan disekitar desanya. Gerwani sendiri diakui oleh banyak peneliti dunia sebagai satu organisasi perempuan paling “progresif” dalam sejarah Indonesia dan dunia pada masa itu.

Lestari menikah dengan seorang fungsionaris Partai Komunis Indonesia (PKI), Sunardi namanya.  Sunardi divonis mati dan mendekam di penjara Surabaya hingga meninggal pada 1984.

Dari perkawinan dengan Sunardi, Lestari dikaruniai empat orang anak.  Pernikahannya sangat bahagia dan tidak ada masalah apapun sebelum tragedi 65. Tragedi 65 menghancurkan semua kehidupan saya, suami dan anak-anak, cerita Lestari.   Bahkan satu orang anak perempuan (Nani) sampai saat ini hilang tidak ada kabar.

Saya harus sembunyi dari satu tempat ke tempat lain dari kejaran militer saat itu.  Saya sangat sedih, cita-citaku untuk menyekolahkan anak setinggi mungkin tidak bisa terlaksana, ungkap Lestari dalam buku Memecah Pembisuan. Di Panti Jombo Waluya Sejati Abadi, Salemba, Jakarta Pusat, Lestari menghabiskan masa tuanya bersama para korban 65 lainnya.

Selama 11 tahun. Lestari ditahan tanpa proses pengadilan (1968-1979).  Dan sampai saat ini pemerintah Indonesia tidak pernah meminta maaf kepada Lestari dan para korban lainnya, kecuali saat pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Masa itu sudah lewat 47 tahun yang lalu, Lestari semakin tua, negara tetap tidak pernah membongkar dan menindak para pelaku tragedi kemanusiaan 65.  Hal ini tentu menjadi “ganjalan” sejarah bagi penerus bangsa ini.  Karena kita tidak ingin menjadi bangsa yang “durhaka” terhadap para korban.  (Hartoyo)