Search
Close this search box.
Ilustrasi
Ilustrasi

Ourvoice.or.id- Pemerintah Prabumulih Sumatra Selatan berencana menjalankan tes keperawanan bagi siswi SMA. Ayu Utami memberikan pandangan seputar isu keperawanan yang menurutnya adalah simbol ketidakadilan atas perempuan.

Ada keruwetan yang tampaknya sengaja dipelihara setiap kali orang-orang bicara keperawanan. Saya mencoba mengurainya:
1) Agama selalu menganjurkan tingkah laku seks yang bertanggung jawab. Ada yang tidak setuju? Saya saja setuju bahwa seks itu harus bertanggungjawab dan sebaiknya terbatas. Memang perbedaan terjadi pada derajat dan bentuk tanggungjawab itu. Tapi, sekarang, kita periksa sedikitnya tiga ajaran monoteis: adakah ayat yang mewajibkan tes keperawanan? Saya berani bilang tidak. Pembuktian keperawanan adalah praktik adat, bukan agama.

2) Ada banyak hal baik dalam adat. Tapi banyak juga yang sangat buruk. Judi, mabuk, dan perbudakan, misalnya. Tes keperawanan bisa kita golongkan dalam hal yang buruk. Tentu ada yang bertanya: kenapa? Bukankah pembuktian keperawanan menjadi alat kontrol untuk perilaku seks yang terkendali?

3) Apa betul tes keperawanan akan menjaga perilaku seks? Jawabannya tidak. Selaput dara sekarang bisa dipasang ulang kok! Riset saja sedikit: banyak klinik menyediakan pasang-ulang himen. Asal bisa bayar. Artinya, peraturan keperawanan akan membuat ekonomi biaya tinggi dan yang miskin lebih menderita.

4) Masih menjawab pertanyaan point 3: Dari segi teknis, jika sebuah peraturan akan ditegakkan, harus ada alat ukur. Harus ada “standar selaput dara” yang diasumsikan universal. Padahal manusia tidak bisa distandarisasi kecuali dengan pelanggaran hak asasi yang gila-gilaan. Alat kelamin itu lain-lain, bung dan mpok! Punya cowok ada yang sedikit condong ke kanan ada yang ke kiri, mendongak atau menunduk. Dan cewek, ada yang bisa “ejakulasi” tapi kebanyakan yang tidak, ada yang merasa punya G-spot ada yang tidak. Tidak ada standar! Bagaimana kau mau bersikap adil dalam pembuktian keperawanan?

5) Demi keadilan pula, peraturan ini tidak adil sebab hanya berlaku untuk perempuan. Dan itu pun didasarkan atas asumsi yang palsu: bahwa semua keperawanan perempuan bisa dibuktikan.

Tes keperawanan adalah tindakan sewenang-wenang atas tubuh perempuan, kata Ayu Utami
Tes keperawanan adalah tindakan sewenang-wenang atas tubuh perempuan, kata Ayu Utami

6) Jika sebuah aturan tidak berlaku setara terhadap semua orang, maka kita bisa melihat ideologi dan kekuasaan apa yang bermain di baliknya. Dengan gamblang kita melihat ideologi kekuasaan lelaki. Patriarki. Pria menjadi subjek, wanita objek. Perhatikan: dalam mendukung nilai ideal tentang perilaku seks yang baik, perempuanlah yang disuruh menanggung beban paling berat! Beban itu tidak dibagi rata, melainkan ditanggung oleh yang dikuasai.

7) Itulah yang saya sebut dalam otobiografi saya Pengakuan Eks Parasit Lajang sebagai “komodifikasi keperawanan”.

8) Kita kembali kepada nilai ideal yang diperjuangkan: perilaku seks yang bertanggungjawab. Saya tak punya keberatan sama sekali tentang seks harus bertanggungjawab. Masalahnya, siapa yang harus menanggung? Siapa yang harus berkorban? Di sinilah kita memperjuangkan masyarakat yang baik dan adil bagi semua orang. Jika hanya perempuan yang menanggung suatu beban, itu tidak adil. Jangan diteruskan. Lantas?

9) Orang tetap bisa mengusahakan masyarakat yang seksualitasnya lumayan tertib tanpa harus memproduksi ketidakadilan. Tapi, coba pikirkan pertanyaan ini: Anda lebih suka “menegakkan ketertiban sambil melakukan ketidakadilan”, atau “mencoba membangun ketertiban sambil memperjuangkan keadilan”?

10) Tes keperawanan adalah sebuah tindakan penghinaan martabat karena: i) membuat manusia perempuan menjadi objek―organ tubuhnya diperiksa, diobok-obok, diletakkan di bawah kuasa; ii) dan kuasa itu sewenang-wenang, sebab mendasarkan diri pada kekuasaannya sendiri (yaitu asumsi palsu bahwa selaput dara bisa diukur dan menjadi ukuran martabat wanita); iii) membuat perempuan bisa dikomodifikasikan (wanita dinilai dan diberi perlakuan berdasarkan penilaian itu) iv) = pemerkosaan itu sendiri.

+1) Sekali lagi, kita bisa membangun masyarakat yang bertanggungjawab perihal seks tanpa harus melakukan ketidakadilan. Justru dengan menghidupkan suasana kesetaraan jender sejak usia dini, sehingga kecenderungan mengobjekkan dan mengkomodifikasikan perempuan tidak lagi dominan, maka manusia bisa tumbuh menjadi dewasa dan saling menghargai.

Sumber : DW.DE