Search
Close this search box.
Ilustrasi : ucanews.com
Tarian Ranup Lampuan. Ilustrasi : ucanews.com

Ourvoice.or.id- Menari atau duduk mengangkang bisa menjadi masalah serius di Aceh. Saidiman Ahmad, yang sedang belajar di Australia National University membuat catatan tentang penerapan Syariah di Serambi Mekkah.

Bayangkan anda adalah perempuan yang sedang menikmati liburan di Aceh. Di suatu pagi anda terbangun dan mendapati beberapa polisi berdiri di depan kamar hotel anda. Mereka meringkus dan membawa anda ke kantor polisi. Anda ditahan. Di depan pengadilan anda bertanya kenapa. Mereka menjawab anda telah melanggar peraturan Bupati Aceh Utara tentang larangan menari di depan umum. What? Hukuman anda berlipat karena dalam catatan polisi ternyata satu hari sebelumnya anda duduk mengangkang ketika membonceng ojek di kota Lhokseumawe. Pemerintah kota itu melarang perempuan duduk mengangkang di atas motor. Hah, apa?

Aceh adalah cerita yang tidak selesai ketika perjanjian Helsinki ditandatangani pada 2005. Otonomi khusus yang diperoleh provinsi ujung barat Indonesia ini justru menjadi jendela keterbukaan bagi diterapkannya peraturan-peraturan berbasis syariah Islam atau qanun. Bukan hanya qanun zakat, larangan berjudi, larangan minuman keras dan khalwat, tapi juga sejumlah qanun menyangkut pakaian dan gerak-gerik pola laku warganya.

Larangan duduk mengangkang di sepeda motor mendorong kritik sosial atas praktek Syariat Islam
Larangan duduk mengangkang di sepeda motor mendorong kritik sosial atas praktek Syariat Islam

Partai Nasionalis
Yang menarik adalah bahwa sebetulnya wilayah ini tidak dikuasai oleh kekuatan politik pro-syariat. Pasca perjanjian Helsinki, para aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) masuk politik resmi dan memeroleh kemenangan mutlak dalam serangkaian Pemilu lokal. Sidney Jones menyebut Partai Aceh yang didirikan para aktivis GAM bahkan bisa menjadi partai tunggal di wilayah itu.

Baik GAM maupun Partai Aceh bukanlah kelompok Islamis pengusung syariat. Sebagai partai lokal, untuk berpastisipasi dalam kancah politik nasional, Partai Aceh butuh berkolaborasi dengan partai di tingkat nasional. Mereka tidak memilih Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang atau partai Islam lainnya, melainkan partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Pada Pemilu Presiden 2009, partai ini juga menjatuhkan pilihan pada pasangan nasionalis Susilo Bambang-Yudhoyono – Boediono, bukan Jusuf Kalla – Wiranto yang didukung ulama-ulama NU dan Muhammadiyah. SBY-Boediono meraih 92 persen suara di daerah ini.

Pertanyaannya adalah kenapa wilayah yang begitu nasionalis, begitu sekuler, dalam hasil Pemilu dan Pilkada ini bisa menjadi lahan subur penerapan syariah Islam?

Pasca perjanjian Helsinki, Aceh seperti lahir kembali. Ada otonomi yang begitu luas diberikan pada daerah penyumbang pesawat kepresidenan pertama itu. Para kombatan turun gunung. Pejabat-pejabat Gerakan Aceh Merdeka di luar negeri berdatangan dan menjadi pejabat resmi provinsi. Mantan menteri luar negeri GAM, Zaini Abdullah, menjadi gubernur menggantikan Irwandi Yusuf yang juga mantan pejuang GAM.

Sentimen Primordial
Pada kelahiran kembali ini, masyarakat Aceh sedang terlibat dalam apa yang oleh Jacques Bertrand sebut sebagai ‘renegosiasi institusional,’ renegosiasi yang kadang sangat alot tentang institusi pemerintahan yang diberi otonomi luas itu. Keputusan-keputusan baru bermunculan. Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki partai lokal dan menjadi pemenang mutlak dalam Pilkada. Aceh juga memiliki Wali Nanggroe, suatu jabatan yang mengatasi pemerintahan. Lembaga ini mirip dengan posisi raja atau ratu di negara-negara monarkhi konstitusional. Qanun tentang Wali Nanggroe menyebut Hasan di Tiro sebagai Wali Nanggroe kesembilan yang berarti penggantinya, Malek Mahmud, adalah Wali yang kesepuluh. Mereka dianggap sebagai penerus kesultanan Aceh.

Kelahiran kembali ini tentu tidak berjalan mudah. Ada pelbagai kepentingan yang bersaing. Laporan International Crisis Group (ICG) menyebut bahwa lembaga Wali Nanggroe terlalu bias etnis Aceh. Hal mana etnis lain di luar Aceh mungkin tidak terwakili. Sekarang sedang muncul usulan untuk menjadikan bendera GAM sebagai lambang resmi daerah. Usulan ini ditentang habis-habisan oleh beberapa daerah di Aceh yang tidak merasa terwakili oleh lambang itu. Sebuah konvoi dan demonstrasi besar baru-baru ini di Aceh Tengah yang dimotori oleh organisasi bernama Pembela Tanah Air (PETA) berakhir dengan pembakaran bendera GAM. Sementara itu, tuntutan pembentukan provinsi baru dari wilayah yang didominasi etnis Gayo, Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS), tak kunjung surut.

Ada ancaman disintegrasi lokal di tengah renegosiasi itu. Sentimen primordial seperti agama dan kesukuan digunakan sebagai pembenar argumen. Lemahnya institusi pemerintahan daerah yang sedang direnegosiasikan menjadi jendela terbuka bagi penerapan syariat Islam. Para elit yang sebetulnya sekuler tak kuasa untuk tidak menggunakan sentimen agama dan kesukuan semata-mata untuk legitimasi politik.

Satu-satunya harapan yang mungkin tersedia adalah bahwa proses renegosiasi institusional di Aceh segera berakhir. Lembaga pemerintahan daerah lekas menjadi solid. Rakyat tinggal menunggu kerja-kerja nyata pemerintah daerah dalam layanan sosial. Ancaman disintegrasi lokal juga bisa teredam. Lalu daerah Hikayat Prang Sabil itu hidup dalam harmoni di mana orang bisa menyanyi dan bisa menari. Hudep beusare mate beu sajan.

Oleh Saidiman Ahmad, sedang belajar di Crawford School of Public Policy, Australian National University.

Sumber : dw.de

Klik  :Perjanjian Helsinki Bahasa Indonesia

Klik : Helsinki MoU English