Search
Close this search box.

Peluncuran Buku Migran Care : Potret Kebijakan Yang Minus Perlindungan

 

Buku, Alat Dokumentasi dan Advokasi (Foto: Yatna Pelangi/Ourvoice)
Buku, Alat Dokumentasi dan Advokasi
(Foto: Yatna Pelangi/Ourvoice)

Ourvoice.or.id- Migran Care sebagai lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu buruh migran meluncurkan buku bertajuk Selusur Kebijakan (Minus) Perlindungan Buruh Migran Indonesia, pada 21 Mei 2013, di Jakarta.  Buku ini ditulis oleh tiga aktivis buruh Migran Care yakni; Anis Hidayah, Wahyu Susilo dan Mulyadi.  Buku ini mendokumentasikan berbagai kebijakan terkait dengan buruh dari zaman kolonial Belanda sampai dengan era reformasi yang mana produk legalnya adalah Undang-undang nomor 39 tahun 2004.

Dalam acara peluncuran  buku ini, Jurnalis Senior Kompas Maria Hartiningsing, Pakar Demografi LIPI Dr. Riwanto Tirtosudarmo dan aktivis HAM yang juga Direktur ELSAM Indriaswati Dyah Saptaningrum, diundang untuk memberikan catatan penting bagi buku ini.

“Kelebihan buku ini adalah mendokumentasi kebijakan resmi pemerintah” ungkap Dr. Riwanto Tirtosudarmo.  Dalam catatannya, Riwanto melihat bahwa isu buruh migran adalah isu yang penting karena menjadi simpul antara masalah lokal dengan masalah global.  Dia pun menilai bahwa ada usaha meng-komodifikasi buruh, artinya buruh hanya dipandang sebagai barang bukan manusia. Hal ini dapat dilihat dari pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyusun kebijakan, bukan melalui pendekatan berbasis kemanusiaan melainkan berbasis ekonomi. Untuk itu, Riwanto menyambut positif atas hadirnya buku ini.

Ditinjau dari sisi hukum, Indriaswati mengungkapkan bahwa melihat hukum tidak sekedar teks yang mati melainkan ada aspek sosial yang menyertainya. Kemudian dia menjabarkan bahwa sejak tahun 1964 tidak ada  undang-undang yang khusus mengatur tentang buruh migran. Berdasarkan pengamatannya, produk hukum yang ada hanya di taraf eksekutif, yakni melalui menteri tenaga kerja. Undang-undang nomor 39 tahun 2004 hanya membicarakan aktivitas ekonomi yang muncul dari buruh migran, “Namun ironis wajah buruh migran sendiri tidak ada… kalau subjeknya tidak pernah muncul bagaimana hak yang mana melekat pada subjek bisa muncul” ungkapnya.

Menurut Maria Hartiningsih, masalah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) adalah masalah perspektif, maka dia tidak heran bahwa penempatan buruh migran mirip dengan perdagangan manusia. Maria sangat tergelitik ketika  mendengar pemerintah meng-klaim bahwa pengiriman TKI ke luar negeri menurunkan angka kemiskinan sebanyak 30 juta orang,”Padahal dibalik angka ada cerita” ungkapnya. Menurutnya bekerja adalah hak dasar  manusia, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan. Marlina pun berpendapat bahwa jika negara tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan di dalam negeri maka negara wajib memfasilitasi peluang kerja di luar negeri dan wajib pula memberikan perlindungan yang layak bagi warganya yang bekerja di luar negeri. Maria pun mengungkapkan bahwa buruh migran asal Indonesia paling banyak bekerja pada sektor domestik dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan, “Seandainya buku ini ditulis berdasarkan perspektif feminis pasti analisanya lebih tajam” ungkap Maria sebagai rekomendasi atas buku ini.  (Gusti Bayu)