Oleh: Herlangga Juniarko*
Mari Berkenalan!
SuaraKita.org – Mari kita ke luar kota sejenak dan berkenalan dengan komunitas Perwadi. Sebuah komunitas ragam gender dan seksualitas di kota Bandung. Perwadi merupakan singkatan dari Persatuan Warna Disabilitas. Seperti namanya, Perwadi merupakan sebuah komunitas yang memberikan ruang bagi teman-teman disabilitas yang juga merupakan kelompok ragam gender dan seksualitas. Kang H, ketua Perwadi saat ini dalam sebuah bincang-bincang sederhana menyatakan bahwa ia ingin Perwadi menjadi sebuah tempat yang nyaman dan aman untuk teman-teman disabilitas yang juga berinterseksi dengan identitas ragam gender dan seksual.
“Ya, aku mau Perwadi jadi tempat yang membuat teman-teman disabilitas ragam gender menjadi tenang kalau ada di sini,” tambah kang H dalam bahasa isyarat.
Saat ditanya mengenai anggota, Kang H juga menyampaikan bahwa seluruh anggota Perwadi saat ini kurang lebih ada 25 orang. Semua anggota adalah disabilitias yang berbeda seperti, Tuli, Netra, Daksa, dan lainnya. Ada pula di dalamnya termasuk ODHIV (Orang dengan HIV). Sedangkan kang H sendiri adalah seorang Tuli.
Dalam komunikasi di dalam komunitas tentu saja terkadang ada hambatan karena adanya disabilitas tersebut. Namun, teman-teman komunitas saling membantu dalam komunikasi. Contohnya, saat seorang anggota ingin berkomunikasi dengan Tuli, mereka akan menggunakan Bahasa isyarat. Sehingga hampir semua anggota Perwadi setidaknya bisa menggunakan Bahasa isyarat dasar.
“Kalau tidak bisa isyarat, nanti pasti kami teman-teman tuli ajari. Jika belum bisa, cukup diketik atau ditulis juga tidak apa-apa,” kata kang H. “Yang penting komunikasi bisa sama-sama paham dan tetap lancar,” tambahnya lagi.
Komunitas yang terbentuk sejak tahun 2023 ini juga memiliki kegiatan rutin setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Di hari tersebut, para anggota biasanya berkumpul untuk berdiskusi, berbagi pengalaman, atau sekadar saling menyampaikan keluh kesah. Terkadang, hari kegiatan juga diisi dengan program edukasi mengenai HIV yang juga berkolaborasi dengan Dinas terkait seperti, Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial.
Kegiatan lain yang sering juga dilakukan adalah mempelajari hukum tentang gender serta mencari dukungan dari organisasi atau Lembaga lain. Selain belum terlalu paham tentang hukum, teman-teman disabilitas tentu lebih rentan lagi. Sehingga ia pun merasa sangat membutuhkan bantuan dari luar sambil terus berusaha memahami tentang hukum yang ada.
“Kita harus belajar tentang hukum dan ragam gender juga. Sambil mencari dukungan dari pihak lain. Karena kalau berdiri sendiri, kita tidak bisa. Tetap butuh dukungan dari pihak lain,” terang kang H saat ditanya tentang kolaborasi dengan pihak luar.
Mengenai hukum itu sendiri, kang H meyakini bahwa teman-teman ragam gender harus lebih memahami, mengingat pengalamannya dahulu saat awal Perwadi terbentuk, sering sekali terjadi pertengkaran dengan golongan agamis. Namun, sekarang sudah tidak pernah terjadi karena Perwadi sudah menjauhkan diri dari mereka.
“Iya. Dulu sering berantem dan debat sama golongan agamis. Tetapi sekarang sudah gak pernah, sebab sudah gak pernah ketemu lagi,” ingat kang H. “Sekarang fokus membuat diri nyaman saja,” tambahnya lagi.
Ya, setelah seringkali terlibat percekcokan, kang H merasa harus menjauh dan kembali ke tujuan awal yang ingin menjadikan Perwadi sebagai tempat aman dan nyaman bagi teman-teman disabilitas ragam gender. Hal ini juga membuat Perwadi menjadi komunitas yang tertutup di Bandung.
Selain itu, hambatan yang sering terjadi adalah terbatasnya akses JBI (Juru Bahasa Isyarat). Karena menyangkut hal yang sensitif seperti LGBT, terkadang JBI enggan menerjemahkan untuk Perwadi. Hal ini berdampak pada terhambatnya perkembangan komunitas jika hendak berkolaborasi dengan pihak lain.
Sebetulnya, akses ini berlaku juga untuk teman-teman disabilitas yang lain. Namun, adanya JBI dirasa sangat vital karena mengurangi miskomunikasi. Adanya JBI juga bisa membantu kolaborasi atau jika teman-teman tuli ingin mengikuti workshop dan seminar menjadi lebih lancar.
Proses Coming Out
Proses coming out bukanlah hal yang mudah bagi setiap teman-teman ragam gender. Begitu pula dengan kang H dan teman-teman di Perwadi. Meskipun begitu, sang ibu sudah mengetahui bahwa ia seorang gay, itu pun secara tidak sengaja atau ‘kepergok’. Untungnya, ibunya masih bersikap biasa saja sampai hari ini.
Mengenai coming out ini, Kang H berpendapat, mungkin di antara anggota Perwadi masih belum ada yang terbuka. Jika pun ada, mungkin sama seperti yang dialaminya dan masih ditutup-tutupi.
Alasannya sederhana dan mungkin sama seperti teman-teman yang lain. Ia merasa teman-teman lain belum siap jika harus diusir dan terpisah dari keluarga. Kemudian juga, menurut kang H, mungkin teman-teman khawatir mencoreng nama keluarga jika melakukan coming out. Selain itu, stigma yang melekat pada disabilitas masih menjadi PR di masyarakat saat ini. Jika stigma disabilitas juga ragam gender dan seksualitas saling bersandingan, akan lebih sulit lagi menjalani hidup.
Oleh karena itu, Kang H masih membuat Perwadi sebagai komunitas yang benar-benar tertutup dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengaksesnya. Tentu saja, ini adalah tujuan utama Perwadi, yaitu menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi teman-teman disabilitas ragam gender sehingga bisa berkembang bersama-sama tanpa khawatir gangguan dari dunia yang menolak.
Menutup sesi wawancara ini, kang H berpesan, “semoga komunitas Ragam Gender dan seksualitas bisa lebih mendapat perhatian dan dukungan supaya teman-teman yang lain tidak lagi mendapat bullying. Juga harapannya, ingin lebih banyak akses seperti JBI supaya teman-teman tuli bisa ikut berpartisipasi mengembangkan komunitas”
Sapa teman-teman Perwadi di akun Instagram mereka.
*Penulis adalah kontributor Suara Kita di Kota Bandung. Mengisi hari sebagai freelance, tulisan-tulisannya banyak tersebar di media maya sebagai puisi dan cerpen. Penulis dapat dihubungi lewat media sosialnya dengan nama Herlangga Juniarko.




