Melela di Indonesia: Bagaimana Menjadi Berani Namun Bijak 

Oleh: Khoirul A.

SuaraKita.org – Hari Melela Sedunia yang diperingati setiap 11 Oktober menjadi momentum untuk menyemangati sekaligus merangkul teman-teman Ragam Seksualitas dan Gender yang berani melela di tengah situasi sosial yang masih jauh dari penerimaan dan kesetaraan.

Gunawan Wibisono, atau akrab disapa Mas Gunn, seorang aktivis kesetaraan dan pegiat isu Ragam Seksualitas dan Gender, berbagi pandangannya kepada Suara Kita tentang makna dan proses melela. Dengan latar belakang akademis di bidang psikologi sosial serta pengalaman panjang dalam advokasi hak-hak minoritas seksual dan gender, Mas Gunn menyampaikan sejumlah pemikiran dan tips yang patut direnungkan, terutama bagi mereka yang masih ragu atau belum melela.

Kenapa sih Harus Melela?
Melela penting karena berdampak langsung pada kesehatan mental diri sendiri. Dengan mengakui diri sendiri, seseorang bisa mengurangi tekanan batin dan rasa benci terhadap dirinya sendiri, atau yang disebut internalized homophobia. Proses ini juga membantu membangun ketahanan emosional. Saat seseorang jujur terhadap dirinya, ia menjadi lebih tenang dan lebih sadar akan siapa dirinya sebenarnya. Selain itu, melela memungkinkan seseorang membangun hubungan yang lebih jujur dan aman, karena ia bisa menetapkan batas dan menjalani relasi dengan cara yang sehat serta saling menghormati.

Melela, Proses Coming Out yang Butuh Coming In
Sebelum membahas lebih jauh, Mas Gunn menjelaskan bahwa istilah melela adalah padanan dari istilah coming out. Kata ini dianggap dicetuskan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya, Bukan Pasar Malam, yang kemudian dipakai untuk merujuk ke proses coming out. Sedangkan untuk istilah coming in, dalam Bahasa Indonesia disebut dengan penerimaan diri seutuhnya.

“Jadi saat ini melela masih anggapannya ditemukan oleh Pramoedya Ananta Toer, [meskipun lebih tepatnya] dicetuskan, bukan ditemukan, lalu dipakai oleh teman-teman ahli bahasa di UI, terus langsung kita pakai sebagai aktivis, [untuk merujuk] sebagai process coming out.”

Meski begitu, proses melela diawali dari coming in, penerimaan pada diri sendiri. Lalu, secara bertahap, proses melela dapat berkembang kepada sahabat, keluarga, teman, dan bahkan masyarakat. 

Proses melela ke diri sendiri tidaklah mudah. Ini adalah proses yang sangat kompleks dan senantiasa membuat batin berkecamuk. Tidak ada pilihan lain selain melakukan refleksi ke diri sendiri dan belajar tentang keragaman gender dan seksualitas. Kita harus mampu melihat ke dalam batin kita. Tidak ada gunanya menyalahkan atau menyandarkan penyebab pada pihak eksternal di luar kita, bahkan sekalipun itu Tuhan. Kita harus mampu bertanya pada diri sendiri dulu. Selama kita mempertanyakan pihak lain, kita kesulitan untuk menerima diri kita.

“Kita melela ke diri sendiri dulu. Kita harus belajar banyak, sadar bahwa ini adalah proses kompleks, kenapa kita jadi gay, bukan bertanya kepada Tuhan, enggak ada hubungannya. Enggak kayak di konten-konten TikTok yang bilang bahwa Tuhan, kenapa aku gay? Tuhan, kenapa aku cong? Ya jangan tanya ke Tuhan. Tanya ke diri sendiri dulu.”

Tidak ada yang salah menjadi bagian dari Ragam Seksualitas dan Gender. Mas Gunn pun lebih jauh menyarankan kita untuk tidak menyalahkan orang tua atau genetik.

Apakah aku harus menyalahkan orang tua? Apakah aku harus menyalahkan genetik? Ya enggak ada yang [harus] disalahkan. Orang tua enggak salah. Orang tua enggak salah mengandung. Orang tua enggak salah membimbing dan mengasuh. Genetik juga enggak salah. Keturunan juga enggak ada yang salah karena [terjadi] secara random. Jadi, kalau pahami diri sendiri dulu, maka dia-nya akan tampil sebagai orang yang bijak dan orang yang mengerti diri sendiri.”

Dengan berangkat dari pemikiran yang tidak menyalahkan baik itu Tuhan, orang tua, atau genetik, maka kita akan lebih tahan dan membentuk resiliensi terhadap berbagai tekanan dan lebih mudah menerima diri sendiri. Dengan demikian, bisa dikatakan proses coming in ini dilakukan dengan stop menyalahkan pihak lain dan mulai memahami diri sendiri. 

Menjadi Mandiri Sebelum Melela
Setelah seseorang mampu menerima dirinya sendiri, maka perjalanan melela berikutnya adalah ke orang lain. Permasalahannya adalah, melela di Indonesia tidaklah mudah dan bisa sangat berbahaya. Meski begitu, melela sendiri sebenarnya adalah keharusan jika seseorang ingin hidup dengan mental yang sehat. Mas Gunn sendiri mengatakan bahwa melela bagi teman-teman Ragam Seksualitas dan Gender adalah buah simalakama. Tanpa melela, kita akan tersiksa karena kita bisa kesulitan menerima diri kita apa adanya, namun jika melela kita bisa didiskriminasi juga.

“Tapi di Indonesia susah, jadi kita bisa mengorbankan kesehatan mental kita kalau kita tidak Melela. Kalau kita Melela, kita bisa didiskriminasi oleh banyak orang. Bisa saja dikeluarkan dari Kartu Keluarga, bisa saja dikeluarkan dari pekerjaan, bisa saja dikucilkan di masyarakat atau dikucilkan di universitas. Jadi Melela buat orang Indonesia itu kayak buah simalakama. Dilakukan, kena diskriminasi. Tidak dilakukan, mengorbankan diri sendiri. Jadi jawabannya pasti susah banget.”

Meski begitu, melela di Indonesia masih bisa dilakukan agar kita bisa hidup jujur dengan pikiran sehat dan meminimalisir berbagai resiko dan ancaman yang ada. Hal penting yang menurut Mas Gunn sebenarnya adalah hal mendasar yang harus seseorang punyai sebelum melela ke orang lain, adalah kemandirian. Kemandirian di sini terutama soal finansial dan tempat tinggal. Tanpa kemandirian ini, seorang yang melela kemungkinan besar akan menghadapi masalah. 

“Ragam gender dan seksualitas mereka layak untuk merasa spesial. Tapi merasa spesial bukan berarti kamu tidak harus belajar untuk financial independen. Kamu belajar untuk mandiri dulu sebelum kamu melela. Ini adalah hal mendasar. Tapi banyak orang yang kadang di Indonesia mereka gak ngerti basic-nya.”

Dengan menjadi mandiri terlebih dahulu, seseorang akan lebih aman saat melela. 

Melela kepada Sahabat
Setelah yakin bahwa kita sudah punya kemandirian, kita pun akan siap menerima apa pun jawaban dari orang lain, apakah mereka menerima atau menolak. Sahabat terdekat menjadi orang-orang pertama yang bisa dijadikan tempat melela. Hal ini juga sekaligus, menurut Mas Gunn, dapat digunakan untuk menguji kualitas persahabatan dan juga memetakan resiko ke depannya.

“Yang kedua, sahabat, otomatis. Untuk nge-test. Apalagi sahabat dari kecil. Aku coming out pertama, itu sahabatku yang aku kasih tau. Bukan orang tua, bukan kakak. Terus, sahabatku menerima dengan terbuka. Jadi, sahabatku mulai dari SMP. Terus, setelah sahabat, teman-teman lihat apakah kamu dikucilkan atau enggak. Ternyata banyak teman yang merangkul.”

Penerimaan sahabat terdekat menjadi modal penting dalam proses melela. Sahabat dapat menguatkan kita. Meski begitu, terkadang kita juga dihadapkan dengan sahabat yang nampak menerima kita namun mereka berharap kita berubah atau menganggap ini sebagai fase pencarian diri semata. Menurut Mas Gunn, ini bukanlah sahabat yang menerima kita apa adanya dan seutuhnya.

Hal ini terjadi karena secara umum masyarakat menilai bahwa orang-orang dengan Ragam Seksualitas dan Gender adalah proses akil baligh yang mana sedang mengeksplorasi seksualitasnya. Kondisi ini juga diperparah dengan kenyataan yang mana banyak orang sebenarnya berorientasi biseksual dan mereka tidak memahami hal itu. Ini menyebabkan mereka melihat bahwa orang-orang Ragam Seksualitas dan Gender yang lain juga sama seperti mereka dan bisa memilih. Padahal, tidak seperti itu.

Dihitung menerima enggak? Enggak. Pengetahuan masyarakat, orang menganggap bahwa LGBT itu fase ketika orang akil balig ada perubahan dalam seksualitasnya, mengarah ke apa pun. Biasanya orang-orang yang berpandangan bahwa orientasi seksual itu adalah fase mereka dulu pernah mengalami dengan memilih. Jadi mereka mengalami gini. Penelitian kan nunjukin bahwa beberapa  orang itu bisa bisexual. Hal ini bisa saja terjadi pada orang tua, termasuk masyarakat. Pada waktu mereka memutuskan untuk menikah dengan perempuan, mereka memilih orientasi seksualnya. Karena mereka dilahirkan sebagai bisexual. Mereka memilih sehingga mereka [bisa] menikah dengan perempuan [lawan jenis]. [Padahal] mereka masih punya ketertarikan dengan sesama jenis. Lalu muncul anaknya yang gay, misalnya. Atau anaknya yang bisexual. Si bapak sama ibu akan menganggap bahwa, oh ini kamu fase. Kamu bisa memilih. Orientasi seksual itu bukan pilihan, tetapi memutuskan untuk berhubungan itu adalah pilihan.”

Melela adalah Proses Seumur Hidup
Terkait dengan orang-orang yang tidak bisa memahami orientasi seksual mereka dan menganggapnya sebagai fase semata, kami pun teringat dengan teman penulis, bagaimana jika kasusnya adalah seseorang yang melela sebagai seorang biseksual, lalu sebagai seorang gay, dan kemudian memutuskan menjadi seorang transpuan?

Mas Gunn pun memberi jawaban bahwa melela adalah proses seumur hidup. Sekali seseorang melela, ia akan melela terus. Proses ini pun memang bisa mengesalkan, namun ini adalah proses yang akan membuat kesehatan mental kita menjadi lebih baik. Hal yang terpenting adalah kita punya lingkungan yang mendukung dan bangga terhadap kita. Ini yang membuat mental kita menjadi lebih kuat karena kita mendapatkan penerimaan.

“Once kamu melela, enggak ada cara lain kamu akan melela seumur hidup. Dan proses melela seumur hidup ini kadang lumayan mengesalkan. [Namun] kalau berpikir positif, ini adalah proses untuk kesehatan mental kamu menjadi lebih bagus, gitu. Tapi yang bisa membuat kita jadi resiliensi adalah orang-orang melihat kita enggak malu, kita bangga. Itu resiliensi muncul.”

Mas Gunn juga menjelaskan bahwa seseorang bisa melela berkali-kali. Proses pengenalan diri adalah proses bertahap. 

“Memang proses pengenalan diri sendiri dia bertahap. Kita memang belajar diri sendiri itu bertahap ya. Kita mengenal diri kita dari kecil sampai menjadi dewasa, kita juga bertahap juga. Hubungannya dengan pengenalan diri sendiri.”

Melela Butuh Waktu, Orang Tua juga Butuh Waktu
Selanjutnya, ketika kita melela pada orang tua kita, banyak teman-teman yang beranggapan bahwa orang tua sebaiknya langsung menerima detik itu juga. Padahal, orang tua juga butuh waktu menerima. Jika diri kita sendiri butuh waktu untuk menerima diri kita, untuk coming in, maka wajar jika orang lain pun juga butuh waktu untuk menerima kita, termasuk orang tua kita sekali pun.

“Pada waktu kita [melela] ke orang tua, kita menganggap prosesnya harus instan. Orang tua harus menerima dengan instan. Kan orang tua baru saja shock. Baru saja kaget. Oh anakku tidak seperti yang aku harapkan. Aku kehilangan cucu. Aku mengharapkan anakku punya cucu. Aku mengharapkan anakku bisa menikah dan membuat bangga orang tua. Nah ini kan pengharapan-pengharapan seorang orang tua gitu ya. Orang tua bapak sama ibu gitu. Dia mengharapkan melihat anaknya menikah dengan pernikahan yang lumayan wah. Terus habis itu mereka mengharapkan anaknya punya anak, yang dia bisa mengasuh anak. Terus tiba-tiba anaknya melela. Butuh waktu. Gak ada yang instan. Orang tua butuh waktu untuk mengenal anaknya juga.”

Bahkan, orang tua pun juga bisa trauma. Mereka bisa tertekan juga setelah anaknya melela ke mereka. Ini adalah hal yang wajar.

“Orang tua juga ngalami trauma. Gak cuma si anak ini. Orang tua ngalami trauma. Traumanya adalah aku gak bisa punya cucu. Aku gak bisa melihat anakku menikah. Itu butuh waktu. Jadi lebih bagus melela itu dengan pelan-pelan.”

Kita bisa terlebih dahulu mengetes pendapat orang tua kita dengan cara memberikan exposure terhadap tontonan yang berhubungan dengan Ragam Seksualitas dan Gender; lalu melihat bagaimana reaksi mereka. Hal ini dapat memetakan risiko apa yang akan terjadi jika kita melela.

“Kalau orang tua tidak menunjukkan rasa jijik, berarti enggak perlu takut dong. Atau dikasih pertanyaan, Ma, menurut Mama, itu cowok sama cowok ciuman gimana, ya? Karena dia sudah nonton video bareng. Nah, ini untuk ngetes pengetahuan orang tua tentang Ragam Seksualitas dan Gender. Nah, kalau ternyata orang tuanya netral, baru mulai pelan-pelan membuka diri ke orang tua.”

Hal yang sama juga bisa dilakukan kepada saudara kandung kita. Bagaimana pun, dukungan dari keluarga juga berperan penting dalam proses melela kita.

Karena orang tua itu sesuatu yang lumayan penting untuk dukungan mental sama dukungan spiritual.

Melala kepada Masyarakat: Apakah Merasa Aman dan Nyaman?
Setelah kita melela kepada diri sendiri, sahabat, orang tua dan keluarga, kita pun sudah bisa melela kepada masyarakat. Namun hal yang terpenting adalah terkait dengan rasa aman dan nyaman. Apalagi mengingat bahwa Indonesia ini sangat kental diskriminasi terhadap teman-teman Ragam Seksualitas dan Gender. 

Ketika seseorang berhasil melela ke masyarakat, menurut Mas Gunn ini akan menghasilkan kualitas individu Ragam Seksualitas dan Gender yang bermutu.

“Terus setelah itu, baru ke masyarakat. Nah, kalau proses itu semuanya smooth, dari mulai penerimaan diri sendiri itu benar-benar legowo, ikhlas, dan yang lain-lain. Terus habis itu penerimaan sahabat itu lancar jaya. Terus penerimaan orang tua bagus, penerimaan masyarakat bagus. Individu yang melela ini akan menjadi individu yang bermutu.”

Mas Gunn pun lebih jauh menjelaskan bahwa individu bermutu di sini maksudnya adalah individu Ragam Seksualitas dan Gender yang sehat secara moral dan jasmani. Hal ini karena individu yang sudah melela akan menghargai diri mereka sendiri dan lebih berhati-hati. Sebaliknya, individu yang tidak melela, apalagi yang paling mendasar yakni tidak melela ke diri sendiri, cenderung ceroboh dalam berhubungan karena mereka tidak menghargai diri mereka sendiri.

“Dia benar-benar menjadi individu yang sehat moral, jasmani. Termasuk jasmani ya, karena biasanya orang melela itu, mereka sadar, mereka harus respect themselves. Jadi, mereka harus minta orang-orang untuk pakai kondom kalau berhubungan. Jadi, itu bentuk respect. Bentuk respect sebenarnya itu bisa ditentukan dari bagaimana dia melela. Bentuk respect terhadap diri sendiri itu orang ini sudah melela belum ya? Orang ini udah coming in belum ya? Udah melelah ke diri sendiri belum ya? Kalau dia belum melelah ke diri sendiri, dia akan reckless, dia akan ceroboh. Dia akan melakukan suatu hubungan yang ceroboh juga. Lalu, dia terkena penyakit seksual menular. Bukan karena dia gay, bukan karena ragam identitas gender sama seksualitas dia. Bukan. Ya, karena dia ceroboh, dia reckless.”

Bagaimana Jika Tidak Melela?
Seperti yang disinggung sebelumnya, melela sangat baik bagi kesehatan mental dan dapat membuat individu menjadi pribadi yang bermutu. Meski demikian, memang terdapat banyak faktor kenapa seseorang tidak melela. 

Tidak berhasil coming in atau tidak menerima diri sendiri menjadi salah satu faktor seseorang tidak bisa melela. Mas Gunn sendiri memberikan saran untuk teman-teman Ragam Seksualitas dan Gender yang berusaha coming in untuk aktif di komunitas dan perkumpulan. Ini akan membantu kita untuk lebih mengenali diri sendiri melalui berbagai kegiatan di komunitas dan perkumpulan tersebut serta perjumpaan dengan orang-orang yang sudah melela.

“Kumpul dengan komunitas. Kumpul dengan teman-teman yang memang sudah paham. Berarti harus volunteer ke NGO. Volunteer ke NGO bagi teman-teman LGBT menurut aku itu adalah keharusan. Keharusan. Karena itu proses kamu kenal dengan teman. Proses kamu mengenal komunitas. Proses kamu mendapatkan edukasi.”

Selain itu, faktor lainnya adalah trauma. Kita melihat berbagai diskriminasi yang terjadi pada teman-teman Ragam Seksualitas dan Gender lain, membuat kita ikut ketakutan dan tidak melela. Padahal pengalaman orang lain belum tentu terjadi pada kita. Memang, melela di Indonesia penuh resiko. Namun jika kita tidak melela, kesehatan mental kita akan jadi taruhannya. Oleh karena itu, trauma ini pun harus dihadapi dan disembuhkan.

“Terus cek, kalau kamu ketakutan berarti kamu punya trauma. Traumanya [bisa dari] diri sendiri, pengalaman diri sendiri, atau pengalaman orang lain. Kalau pengalaman orang lain, belum tentu terjadi di diri sendiri. Jadi cek apakah trauma ini adalah trauma sendiri atau trauma kolektif. Ada yang namanya collective trauma. Kita dengar teman-teman diusir dari keluarganya, kita dengar teman-teman dikeluarkan dari pekerjaannya, kita dengar teman-teman di-bully dari sosial media. Lalu kita menganggap itu akan terjadi di kita. Nah ini adalah collective trauma. Cek dulu itu. Kalau memang ada trauma atau pun collective trauma, healing. Pergi ke psikolog yang memang ramah terhadap LGBT.”

Selanjutnya seseorang yang tidak melela dikarenakan merasa tidak aman dan tidak nyaman. Merasa tidak aman, bisa diatasi terlebih dahulu dengan kemandirian seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan perasaan tidak nyaman, ini terkait dengan kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi. Hal ini bisa terjadi sekali pun seseorang sudah melewati proses coming in.

“Ketika kamu sudah utuh, kamu sudah merasa ini memang aku harus melakukan, cek apakah kamu nyaman enggak. Nyaman artinya kamu enggak punya rasa deg-degan. Kamu enggak punya rasa khawatir.”

Jika memang faktor-faktor di atas ini tidak bisa diatasi, maka memang seseorang tidak akan mampu melela sepenuhnya. Hal ini tentu menjadi pilihan hidup individu. Pada akhirnya, keputusan melela atau tidak, perlu kalkulasi yang matang.

Bagaimana Jika Melela dengan Nekat?
Beberapa komunitas Ragam Seksualitas dan Gender memang menawarkan rumah singgah bagi mereka yang mengalami masalah karena identitas mereka. Meski begitu, melela dengan modal nekat semata bukanlah tindakan bijaksana. 

Menurut Mas Gunn, hal ini justru akan kontraproduktif karena kita akan menyia-nyiakan kesempatan dan potensi berkembang kita. Kita juga akan bergantung ke orang lain dan pada akhirnya tidak tumbuh menjadi pribadi yang optimal.

“Bondo nekat buat apa? Bondo nekat habis itu ending-nya adalah kita harus cari sugar daddy? Aku kenal beberapa organisasi yang memberikan rumah aman. Tapi apakah kita mau membebankan diri kita ke rumah aman itu? Jadi jangan sekali-kali mengambil keputusan dalam hidup dengan gaya nekat. Belajar dulu, aware dulu, be mindful dulu, gitu. Nanti kita membebankan diri kita ke orang lain, lho. Padahal kita individu Ragam Seksualitas dan Gender, kita sudah banyak talent, karena orang seperti kita kan punya banyak talent, nih. Nah kita sudah punya skill di situ, kenapa skill ini enggak kita pakai untuk meningkatkan diri sendiri secara mandiri, secara finansial? Tidak menggantungkan ke orang lain sama sekali, tidak menggantungkan ke NGO, tidak berharap NGO akan bantu.”

Percakapan dengan Mas Gunn ini menegaskan satu hal. Melela itu penting, namun harus bijak. Ia dilakukan bertahap agar seseorang yang melela bisa tumbuh menjadi individu yang mandiri dan bermutu. Melela yang salah malah akan menambah beban hidup. Oleh karena itu, melela butuh strategi yang matang, apalagi mengingat kita tinggal di Indonesia yang masih penuh diskriminasi.

 

*Penulis adalah relawan jurnalis di Suara Kita. Penulis pernah berkontribusi konten di Pelangi Dharma dan di media sosial lainnya.