Search
Close this search box.

Kisah Perjuangan Mantan Guru Queer di Tengah Ruang Pendidikan Dasar Indonesia

Oleh: Lena Tama*

SuaraKita.org – Sektor pendidikan di Indonesia cenderung stagnan dan sangat normatif, berpegang teguh pada norma-norma tradisional yang biner dan diskriminatif sejak pendidikan dasar usia dini. Hal ini bukan hanya mempersulit terbentuknya penerimaan atas keberagaman identitas gender & orientasi seksual dalam dunia pendidikan, namun juga kondisi kawan-kawan queer yang mengabdikan diri sebagai pengajar.

Dilema ini sempat dirasakan oleh Peach (bukan nama asli), sosok non-biner gay berusia 36 tahun yang saat ini bekerja di perusahaan sektor formal sejak tahun 2023. Sebelum itu, ia berpengalaman menjadi guru lepas dan guru honorer.

Terdorong oleh impiannya semasa kecil untuk menjadi sejarawan, Peach mengaku sangat senang menjadi sosok pengajar dan memilih untuk memulai kariernya sebagai guru sejarah untuk salah satu sekolah PKBM setara SMA di wilayah Jakarta pada tahun 2013-2016.

Kemudian, Peach berpindah karier menjadi sosok guru honorer untuk kelas 1-3 SD di sebuah sekolah swasta di Jakarta pada tahun 2016-2018, sebelum akhirnya kembali menjadi guru lepas untuk sekolah PKBM hingga tahun 2023 dengan metode belajar online saat terjadi pandemi COVID-19.

“Dari 10 tahun mengajar, ada banyak pengalaman yang saya dapat sebagai sosok guru queer. Apalagi ketika mengajar di sekolah swasta, itu paling membekas,” ucap Peach.

Paksaan sosial & profesi dalam menjadi ‘guru ideal’ menambah beban mental
Masyarakat dan lingkungan pendidikan selalu menanamkan nilai-nilai bahwa guru adalah sosok orang tua di sekolah sejak pendidikan dini, sehingga guru harus selalu tampil ‘ideal’ sesuai norma-norma yang berlaku agar ia dapat menjadi panutan murid-muridnya.

Meski terdengar seperti prinsip yang positif, hal tersebut justru mengekang kebebasan sosok guru untuk menjadi diri mereka sendiri. Terlebih, basis norma yang heteronormatif, biner, serta diskriminatif berdasarkan asas norma tradisional menciptakan lingkungan pendidikan yang kaku dan penuh oleh tantangan untuk kesehatan mental para guru.

Peach memahami risiko-risiko ini ketika bekerja sebagai guru lepas untuk sekolah PKBM yang cenderung tidak terlalu formal. Setiap mengajar di sana, meskipun hanya sehari seminggu dan mengisi dua sesi, ia harus tetap menjaga norma-norma tersebut dan berpenampilan layaknya “guru” sebagai pekerja pada umumnya, meskipun harus tampil berbeda dari ekspresi diri yang ia kehendaki.

Ia bercerita, “Aku pribadi ngondek, tapi ketika mengajar harus se-maskulin mungkin. Apalagi karena aku mengajar untuk siswa-siswi yang keluarganya berada di bawah garis kemiskinan di sana, beberapa dari mereka adalah anak-anak jalanan. Jadi, ada tuntutan untuk memberikan yang terbaik layaknya ‘guru’ sebagai pekerja dan mereka (murid) sebagai ‘klien.’”

Tekanan sosial dan profesi ini pun jauh lebih kuat di lingkungan sekolah umum, terutama sekolah swasta dan sekolah swasta agamis. Atas pengalamannya mengajar di sekolah swasta selama dua tahun, Peach mengatakan bahwa guru di sana juga merupakan cerminan yayasan pemilik sekolah, sehingga tuntutan para guru untuk lebih “bermoral” pun jauh lebih tinggi.

Terlebih, karena para orang tua siswa membayar mahal di sekolah swasta, mereka punya rasa memiliki dan tuntutan yang lebih tinggi kepada para guru. Perilaku atau penampilan para guru cisgender hetero yang tidak sesuai dengan tuntutan mereka saja sangat rentan terjerat aduan orang tua, apalagi para guru queer yang harus memalsukan diri mereka dan jauh lebih rentan.

Hal ini ia rasakan saat mulai bekerja di sekolah swasta tersebut pada tahun 2016. Baru saja mengajar seminggu di sana, Peach mendapat panggilan dari direktur pendidikan sekolah.

“Direktur cerita bahwa ada orang tua yang mengadu, katanya salah satu guru di sekolah tampil ngondek. Beliau tidak menyebut siapa nama gurunya secara spesifik, tapi karena pribadiku tampil lebih ngondek, direktur langsung menganggap bahwa orang tua tadi mengadu tentang aku. Direktur takut orang-orang menganggap saya gay dan para orang tua mempermasalahkan hal ini ke sekolah,” ucapnya.

Diskriminasi terhadap guru-guru queer di tahap wawancara
Usai keluar dari sekolah tersebut pada tahun 2018, Peach mencoba melamar di sekolah-sekolah lain, namun pintu karirnya kerap tertahan di bagian sesi wawancara akibat identitas dirinya.

Suatu ketika, pihak pewawancara meminta Peach untuk melakukan Micro Teaching sebagai bagian dari tes seleksi. Meski ia sadar bahwa kemampuannya sangat baik, namun pihak pewawancara menolak dirinya akibat pertanyaan-pertanyaan yang terlontar kepadanya:

“Kamu berbeda ya dari yang lain?”

“Kamu suka laki-laki ya?”

“Gaya kamu biasanya feminim ya?”

Peach kaget karena pewawancara tersebut seakan memaksa dirinya untuk coming out. Ia meyakinkan pihak pewawancara, “Menurut ibu, kalau cara mengajarku bermasalah, bisa ku ubah saat mengajar nanti. Tapi, apa harapan ibu terhadap aku?”

Lantas, pewawancara tersebut membalas, “Aku takut kalau kamu ketahuan seperti itu. Banyak yang akan menurutimu.”

Hal serupa pun terjadi ketika melamar di sekolah-sekolah yang lain. Bahkan, banyak dari mereka yang menanyakan akun media sosial Peach karena mereka takut atas dirinya.

“Kaget banget, di setiap wawancara itu kata LGBTQI+ yang pertama kali muncul di mulut mereka, dan mereka minta akun media sosialku untuk memastikan itu. Aku selalu menunjukkan akun keduaku yang lebih netral dan profesional karena tidak mau mereka melihat  akun pribadiku,” ujar Peach.

Sejak pengalaman-pengalam itu, Peach memutuskan untuk kembali menjadi guru lepas karena aturan-aturan tersirat maupun tersurat yang tidak seketat sekolah-sekolah umum.

Pentingnya mengajarkan penerimaan diri dan keberagaman di usia dini
Di balik diskriminasi dan stigma yang dihadapi ketika menjadi guru SD, ditambah persaingan antar guru wali kelas dan banyaknya beban administrasi, Peach tetap bersemangat dalam mengajar dan selalu mengajarkan nilai-nilai keberagaman dan feminis kepada para siswa melalui berbagai cara.

Peach sadar bahwa pendidikan Indonesia sangat patriarki dan diskriminatif sejak bangku TK maupun SD akibat ajaran-ajaran seperti sosok Budi sebagai laki-laki yang bebas bermain sepakbola sedangkan Ani sebagai perempuan harus membantu ibunya di dapur.

Dalam menghadapi nilai-nilai tersebut, salah satu cara yang ia terapkan adalah memasukkan nilai-nilai feminis ke dalam soal-soal ulangan Bahasa Indonesia dan PKn, seperti sosok Ani membaca koran dengan ayah dan Budi membantu ibunya di dapur.

Ia percaya, “Aku ingin menanamkan nilai kepada murid-murid bahwa selama kamu adalah manusia, kamu harus punya kemampuan tanpa pandang identitas gender.” 

Selain itu, Peach berperan mencegah tindakan bully di sekolah sambil menanamkan nilai-nilai penerimaan diri dan keberagaman identitas. Ketika ada murid yang menjadi korban diskriminasi karena penampilannya (murid-murid yang gemuk/kurus), aksesoris yang mereka kenakan (murid laki-laki memakai tas Hello Kitty), atau profesi orang tuanya (murid yang orang tuanya berdagang bakso di kantin sekolah), ia berusaha menegur para pelaku bully dan menegaskan perannya sebagai guru.

Suatu ketika, ada siswa pelaku kekerasan fisik karena tuntutan orang tuanya untuk mengikuti ekskul taekwondo dan selalu keras dalam menghadapi masalah. Peach menyadari bahwa siswa tersebut perlu dorongan untuk lebih empati dan lembut atas dirinya sendiri, sehingga ia memilih siswa tersebut untuk lomba model Imlek dan mencapai prestasi juara dua meski orang tuanya sempat tidak setuju.

Peach berkata, “Hal terpenting bagiku adalah menanamkan pemikiran kepada para murid bahwa aku akan selalu ada untuk mereka; menegur mereka ketika melakukan bullying, mendorong mereka untuk menerima keberagaman diri kawan-kawan dan dirinya sendiri, dan mendukung mereka ketika berprestasi.”

Berjuanglah, kawan-kawan guru queer di luar sana!
Pada tahun 2021, Peach kembali kuliah karena ingin melanjutkan S1 Pendidikan Sejarah dan menjadi dosen sejarah. Ia sadar bahwa menjadi guru sekolah bukan lagi profesi yang ideal, mengingat tuntutan yang tinggi namun gaji yang kecil, ditambah segala risiko diskriminasi yang pernah ia alami.

Di sisi lain, Peach bukanlah satu-satunya guru queer di luar sana. Ada banyak dari mereka yang bertahan hidup dan berkarir di lingkungan dan sistem yang tidak berpihak pada mereka. Kawan-kawan guru queer harus memalsukan diri demi keamanan mereka melalui beragam cara sehingga menambah beban mental yang sudah tertumpuk banyak akibat tuntutan profesi mereka.

Oleh karena itu, Peach sangat berharap kawan-kawan guru queer bisa lebih peduli dengan kesehatan mentalnya dan tidak malu untuk mengunjungi psikolog atau psikiater demi hidup yang lebih baik.

“Aku tahu bahwa kawan-kawan guru queer itu kuat dan resiliensi kalian sangat tinggi, di balik segala rintangan yang ada. Tapi ingat, bila butuh dukungan mental, pergilah ke psikolog,” Peach berpesan.

Selain itu, Peach juga berharap kawan-kawan guru queer tidak perlu memaksakan diri untuk coming out. Ia sadar bahwa risikonya sangat besar, apalagi di lingkungan pendidikan yang tidak  seperti dunia profesional lainnya.

Ia beranggapan, “Dalam pendidikan, moral dan ekonomi itu menyatu. Sekolah seakan menjadi lingkungan yang berasa paling moralis, namun kenyataannya banyak yang mendiskriminasi kelompok-kelompok marginal.”

Karena itu, meski proses dalam mengubah sistem pendidikan Indonesia secara berstruktur sangat panjang dan melelahkan, Peach percaya bahwa para guru bisa melakukan hal-hal kecil untuk menanamkan nilai-nilai penerimaan diri kepada murid-murid, seperti memasukkan nilai-nilai feminisme dalam soal ujian.

Selain itu, Peach juga menekankan pentingnya peran guru sebagai pencegah bullying di lingkungan sekolah dalam rangka mendorong penerimaan keberagaman identitas para murid.

“Memang beban para guru sudah besar, apalagi guru-guru queer. Walau begitu, kita harus selalu memastikan bahwa kelas itu aman untuk semua orang. Bila terjadi kasus bullying, kita harus berani untuk melangkah dan menegur mereka,” pesan Peach.

 

*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ