Oleh: Lena Tama*
SuaraKita.org – Masyarakat umum telah lama menanamkan patriarki yang kerap menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap keragaman identitas gender maupun seksualitas. Hal tersebut terjadi karena ketidaksepahaman dengan nilai-nilai heteronormativitas dan gender biner. Penanaman patriarki tersebut bukan hanya memengaruhi kawan-kawan dengan beragam identitas gender dan/atau seksualitas, tetapi juga kawan-kawan aseksual.
Oleh karena itu, Hari Visibilitas Aseksual tanggal 6 April 2025 lalu merupakan hari penting untuk mendorong keberadaan kawan-kawan aseksual di kalangan ragam gender & seksual, serta masyarakat luas. Hari penting itu juga menyadarkan tentang sejumlah rintangan yang mereka hadapi di kehidupan bermasyarakat atas orientasi seksual mereka, termasuk di ruang lingkup pekerjaan.
Momen ini juga dirayakan oleh Bimo (29), seorang seniman aseksual yang telah berkecimpung di industri kreatif selama lebih dari 10 tahun. Sebelum menjadi ilustrator dan animator lepas, ia telah bekerja sebagai pekerja kantoran. Dengan pengalaman tersebut, ia pun telah merasakan bahwa identitas dirinya memengaruhi relasi dengan rekan kerja, komisi yang diterima, dan karya seni yang dihasilkan.
Langkah Awal Berkarir
Berangkat dari kegemarannya menggambar dengan gaya anime/game/budaya pop Jepang, Bimo memulai karirnya dengan menjual jasanya sejak bangku sekolahan. Kemudian, ia mulai bekerja formal sebagai ilustrator digital dan desain grafis untuk lembaga pendidikan dan media berita pada tahun 2015.
Karir Bimo sebagai pekerja kantoran berakhir pada tahun 2018 karena ia memilih kebebasan dan peluang karir sebagai ilustrator lepas. Saat ini, ia mengambil 4-5 komisi ilustrasi karakter dan/atau latar belakang animasi dalam waktu seminggu serta proyek ilustrasi berjangka hingga satu tahun untuk klien-klien individu maupun studio lokal dan internasional.
Skala komisi yang dikerjakan pun bervariasi. Selain rutin menggambar untuk kebutuhan pribadi klien, ia juga mengambil komisi untuk sejumlah proyek game dari studio Jepang.
Terkait keputusan ini, Bimo berkata, “Meski tidak selalu stabil, penghasilanku sebagai ilustrator lepas jauh lebih besar dibanding ketika bekerja kantoran. Apalagi, aku bebas mengambil komisi apapun yang ku mau.”
Perspektif Tentang Seni Ilustrasi dari Sudut Pandang Kawan Aseksual
Kebebasan Bimo sebagai seniman untuk memilih yang ingin digambar dan dijual kepada klien menjadi pilihan yang sangat penting. Dengan kebebasan tersebut, ia bisa memilih dan memilah pekerjaan jika identitas diri bertabrakan dengan permintaan klien serta interaksinya dengan rekan-rekan kerja.
Menjelang enam bulan terakhir sebelum keluar dari media nasional tempat ia bekerja di tahun 2018, Bimo mulai terbuka kepada rekan-rekan kerja terkait orientasi seksual. Meski banyak dari mereka yang menerima dirinya ataupun bersikap profesional, ia sempat menghadapi diskriminasi oleh sejumlah rekan kerja lainnya.
“Aku lega teman-teman kerjaku dulu menerima aku, asalkan kerjaanku beres. Tetapi, ada beberapa orang yang suka nyindir aku dengan nasihat kayak, ‘Yang kamu pilih itu salah,’ atau ‘Jangan kamu kayak begitu,’” Bimo bercerita.
“Tiap kali ada yang begitu, aku cenderung mengiyakan omongan mereka saja, supaya tidak memperpanjang masalah,” lanjutnya.
Sikap dan penerimaan dari orang lain atas identitas dirinya menjadi lebih baik setelah Bimo memulai kerja lepas dan bertemu sesama ilustrator lepas dan studio-studio yang memberinya proyek. Di sisi lain, tantangan baru baginya adalah cara memilih klien dan komisi yang sesuai dengan nilai-nilai prinsipnya.
Bimo mengedepankan nilai-nilai hak asasi manusia dalam setiap komisi yang dikerjakan. Saat membuat ilustrasi, ia ingin ada nilai-nilai positif yang tersampaikan kepada orang-orang. Contohnya, seperti saat ia menggambar buku cerita religi anak-anak.

Sementara itu, ada juga beberapa jenis komisi yang tidak diambil. Komisi yang tidak diambil tersebut adalah komisi untuk ilustrasi dengan tema atau nuansa romantis. Itu terjadi karena ia belum memiliki perspektif terkait romansa. Terkait isu ini, Bimo ingin memperluas perspektifnya agar bisa memahami romansa dan menuangkannya ke dalam karya seninya.
Namun, ia akan menolak komisi-komisi yang mengandung nilai-nilai yang merendahkan hak asasi manusia, termasuk komisi untuk tema romansa dengan perspektif patriarki dan misoginis.
“Sebagai seniman, esensi kita itu harus selalu ada dalam karya seni yang kita ciptakan,” ucap Bimo
Mencari kawan aseksual di ranah kesenian ilustrasi
Sepanjang karirnya, Bimo telah bertemu dengan kawan-kawan ragam gender dan seksual yang berkecimpung di ranah kesenian ilustrasi, seperti kawan-kawan gay, lesbian, biseksual, non-biner, dan transgender. Namun, ia jarang sekali menemui kawan-kawan aseksual di lingkaran profesi ini, terutama di Indonesia.
Terlebih, ia juga mendapati ketidakcocokan antara dirinya dengan beberapa komunitas ilustrator Indonesia di media sosial yang dapat menurunkan visibilitas kawan-kawan ragam gender & seksual. Walaupun ada sejumlah komunitas yang bisa mendorong produktivitas & kreativitas kawan-kawan di dalamnya, banyak juga komunitas ilustrator yang lebih sibuk membahas politik, agama, dan kebencian.
Bimo menambahkan, “Di kalangan ilustrator lokal, banyak dari mereka yang berkompetisi untuk menjadi ‘si paling bermoral’ dan ‘si paling agamis.’ Kalau situasinya begini, kawan-kawan kita bisa jadi minder.”
Meski begitu, Bimo juga melihat adanya peningkatan visibilitas kawan-kawan ilustrator ragam gender & seksual di media sosial. Mereka bukan hanya lebih berani mengekspresikan identitas mereka melalui karya ilustrasi mereka, tetapi juga menjual jasa mereka untuk menghasilkan uang dan bertahan hidup.
Kawan-kawan ilustrator lokal ini pun memiliki beragam cara untuk berkarya dan menjual karya mereka. Umumnya, mereka menjual pernak-pernik dengan gambar mereka di media sosial dan/atau acara besar. Dengan begitu, mereka bisa mendapat royalti dari situs-situs yang memproduksi pernak-pernik dengan gambar mereka.
“Ada kawan-kawan yang jualan pakaian, gantungan kunci, pin, atau tas di situs-situs seperti Pixiv, RedBubble, atau ArtStation. Ilustrator mengirim gambar ke situs tersebut, lalu situs tersebut menjual pernak-pernik tadi dengan gambar tersebut dan membayar royalti kepada ilustrator,” ia jelaskan.
Belajar empati dan cinta tanpa harus melibatkan romansa
Bimo telah menggambar selama lebih dari 10 tahun dan mengerjakan beragam jenis konten untuk banyak orang. Namun, ia ingin terus belajar memperluas pandangan & empati agar bisa lebih memahami orang lain dan karya yang ia ciptakan.
Identitasnya sebagai aseksual juga tidak menghentikannya untuk memahami dan berempati dengan romansa dan cinta. Meskipun hal tersebut bukan untuknya, Bimo berharap bisa menciptakan karya-karya yang dapat menyampaikan perasaan cinta kepada siapapun yang melihatnya.
Tentunya, Bimo juga ingin bertemu kawan-kawan aseksual lainnya, baik itu di ranah profesi seni maupun kehidupan bermasyarakat. Ia percaya bahwa penerimaan dan peningkatan visibilitas kawan-kawan aseksual dapat mendobrak mitos dan stigma masyarakat terhadap mereka.
“Sebagai aseksual, kita tidak perlu menjadi apa yang mereka mau, tetapi cukup memahami apa yang mereka mau. Menurutku, di manapun dan apapun kondisinya, batasan ini sudah cukup,” ucap Bimo.
“Kita saling mempelajari satu sama lain agar bisa menghargai satu sama lain,” lanjutnya.
*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ