Search
Close this search box.

Dikotomi Penerimaan Pengajar Queer di Tingkat Perguruan Tinggi

Oleh: Lena Tama*

SuaraKita.org – Pendidikan dasar Indonesia masih memiliki banyak permasalahan yang berakar pada pemikiran patriarki yang tertanam sejak tingkat TK dan SD. Sayangnya, pemikiran yang menumbuhkan stigma dan diskriminasi ini terus bertahan sampai tingkat perguruan tinggi, sehingga mempersulit penerimaan ragam gender & seksual di kalangan mahasiswa, dosen pengajar, dan masyarakat umum lainnya.

Namun di sisi lain, tren penerimaan ragam gender & seksual di tingkat perguruan tinggi negeri maupun swasta juga mulai meningkat. Para mahasiswa di berbagai daerah mulai berani membuka pikiran mereka terhadap pemahaman feminis dan inklusi, ditambah beberapa dosen pengajar pun mulai lebih terbuka dengan keberagaman gender & seksualitasnya.

Dikotomi ini dirasakan oleh Sam Puandi, sosok dosen queer berusia 36 tahun yang mengajar mahasiswa tingkat S2 dan S3 di sebuah kampus swasta di daerah DKI Jakarta sejak Juni 2023 hingga saat ini.

Dalam kegiatan sehari-hari, Sam terbuka dengan identitasnya di kampus. Penampilannya yang berbeda dari persepsi umum masyarakat yang biner dan patriarki terkadang menimbulkan pandangan mata dan ujaran yang kurang mengenakkan dari beberapa rekan dosen maupun mahasiswa, namun ia tetap bisa bekerja sebagai tenaga profesional.

“Ada untungnya aku bekerja di kampusku ini. Meski kadang ada pandangan dan ujaran yang tidak mengenakkan, baik rekan dosen maupun mahasiswa tidak terang-terangan mendiskriminasi,” Sam bercerita.

Menanamkan nilai-nilai feminis dalam mengajar dan diskusi
Sebagai dosen Kebijakan Publik, Sam Puandi kerap menghadapi banyak mahasiswa dengan latar belakang dan ideologi yang beragam. Ia merasa ada mahasiswa yang sudah memiliki pemikiran yang inklusif dan ada juga yang masih belum terbuka.

Sam cukup tegas dalam merespons pernyataan-pernyataan yang berpotensi diskriminatif, baik itu tentang dirinya maupun orang lain. Selain itu, ia kerap mengajarkan nilai-nilai feminis ketika menyampaikan materi kelas dengan harapan bisa meningkatkan kesadaran atas pemikiran inklusif kepada murid-muridnya.

Mahasiswa-mahasiswa di bawah naungannya pun kerap mengajak dirinya berdiskusi tentang materi kelas atau ragam gender & seksual. Ia berkata, “Aku suka sekali kalau ada obrolan terbuka seperti itu yang bukan gosip ataupun prasangka, tetapi murni karena mereka ingin tahu ragam pemahaman.”

Hal ini didukung oleh tingkat penerimaan yang cukup tinggi di lingkungan kampus tempat ia bekerja. Institusi pendidikan tersebut sangat peduli dan tegas dalam menanamkan pendidikan gender dan pemahaman tentang kekerasan seksual melalui modul tentang keberagaman gender dan anti-kekerasan berbasis gender dan seksual yang harus dikerjakan oleh semua mahasiswa dan karyawan.

Kemudian, Sam juga kerap terlibat dalam kegiatan peningkatan kesadaran tentang Ekuitas dalam kampus. Tokoh-tokoh di dalam institusi pendidikan ini kerap berdiskusi tentang cara-cara yang baik untuk menavigasi masyarakat Indonesia yang cenderung masih belum menerima ragam gender & seksual.

Terkait hal tersebut, Sam berkata, “Semua ini bisa tercapai karena orang-orang yang terlibat itu sadar bahwa feminisme dan penerimaan keberagaman itu bukan hal politis, melainkan masalah hak asasi manusia.”

Subjektivitas gelar dan status pendidikan yang bisa mempengaruhi taraf penerimaan
Selain bekerja di kampus swasta tersebut, Sam Puandi juga kerap berkunjung ke kampus-kampus lain dan memiliki beragam pengalaman terkait penerimaan lingkungan perguruan tinggi tersebut terhadap identitasnya.

Baik itu di kampus negeri maupun swasta, termasuk kampus swasta Muslim, Sam belum mendapatkan komentar maupun perilaku diskriminatif secara frontal. Ia bahkan pernah berdiskusi dengan seorang guru besar dari gerakan yang cukup konservatif di suatu kampus di wilayah yang cukup konservatif, dan lawan bicaranya menghargai ekspresi gender Sam.

Akan tetapi, Sam merasa bahwa penerimaan orang-orang atas dirinya di luar kampus kemungkinan besar dipengaruhi oleh gelar pendidikannya yang cukup tinggi.

“Dari caranya mereka (dosen dan guru besar) berbicara denganku, aku merasa gelarku itu menjadi tameng atas tindakan diskriminasi. Kalau gelarku S1 atau di bawahnya, aku agak yakin orang-orang akan lebih berani melakukan diskriminasi terhadap diriku,” ucap Sam.

“Hal ini sangat tidak adil untuk teman-teman queer yang lain,” lanjutnya.

Selain itu, Sam merasa bahwa penerimaan diri yang ia rasakan di lingkungan kampus lain bisa jadi berbeda di belakang. Hal ini ia dasari dengan pemahaman umum dalam masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi ‘toleransi,’ bukan ‘penerimaan.’

“Anda kata ada hierarki moralitas, ‘toleransi’ adalah batasan paling rendah karena orang itu cenderung masih belum menerima keberagaman diri orang lain tapi lebih memilih untuk masa bodoh. Beda dengan ‘penerimaan,’ orang yang menerima keberagaman diri orang lain akan mendukung dan menghormati,” Sam menjelaskan.

Polemik kebencian di kampus-kampus lain dan pengaruh internet bagi mahasiswa
Sam merasa dirinya sangat beruntung bisa menjadi pengajar queer di kampus swasta tempat ia bekerja, mengingat isu kebencian dalam kampus-kampus negeri dan swasta di Indonesia masih cukup tinggi.

Sejak tren ujaran kebencian terhadap kawan-kawan ragam gender & seksual mulai naik pada tahun 2016, sejumlah kampus di seluruh wilayah Indonesia juga mulai terang-terangan menyatakan kebencian mereka terhadap ragam gender & seksual melalui baliho atau pamflet di area kampus, kebijakan-kebijakan kampus yang diskriminatif, maupun hukuman bagi mahasiswa atau dosen dengan keberagaman gender & seksual.

Hal ini menyebabkan para mahasiswa dan kawan-kawan dosen memilih untuk mencari informasi terkait ragam gender & seksual melalui media sosial maupun internet. Sam  merasa tren ini memiliki sejumlah nilai positif dan negatif, layaknya pedang bermata dua.

Di satu sisi, Sam merasa bahwa informasi yang benar dan positif tentang ragam gender & seksual di internet bisa menumbuhkan nilai-nilai inklusif di dalam diri kawan-kawan mahasiswa dan akademisi, walaupun ia menyayangkan mereka lebih merasa aman mencari informasi seperti itu di internet, bukan di kampus atau dengan dosen mereka sendiri.

Namun di sisi lain, Sam juga menyadari adanya risiko dari cara tersebut. Ia berkata, “Kalau mereka mendapatkan misinformasi, disinformasi, atau malinformasi tentang ragam gender & seksual di internet, itu justru bisa meningkatkan atau menguatkan kebencian.”

Terlebih, terlepas dari isu penerimaan ragam gender & seksual, dunia pendidikan perguruan tinggi juga sarat dengan kekerasan berbasis gender yang membebani perempuan. Selain adanya struktur penggajian yang masih tidak setara, beban keluarga di rumah juga cenderung menyulitkan para dosen perempuan untuk melakukan publikasi.

“Dari artikel-artikel dan keluh kesah yang aku dapatkan dari orang lain, aku bisa menyimpulkan bahwa masalah pendidikan di perguruan tinggi itu memang berakar dari pendidikan dini yang sudah menanamkan ideologi-ideologi gender biner dan patriarki,” ujar Sam.

Meski begitu, Sam percaya ada harapan untuk anak-anak muda yang mulai bisa terbebas dari ideologi diskriminatif tersebut. Ia melihat semakin meningkatnya kawan-kawan perempuan yang ingin berkarir dan berkompetensi, tidak lagi menganut bahwa peran mereka harus  menjadi ibu rumah tangga.

Refleksi dan harapan dalam berkarir untuk kawan-kawan pengajar queer
Sam kerap menghadapi tuntutan pekerjaan yang terus meningkat sebagai dosen pengajar serta perasaan internalisasi homofobia yang telah ia hadapi selama beberapa tahun dan masih ia rasakan hingga saat ini.

Namun, ia mulai lebih percaya diri setelah menginjak usia  32 tahun dan mulai mencari tahu tentang gerakan kawan-kawan ragam gender & seksual hingga akhirnya bisa lebih terbuka tentang identitas dirinya dan masalah kesehatan mentalnya.

Karena itu, Sam berharap ia dapat membangun diri yang baik sebagai dosen akademisi dan bisa lebih holistik dalam menyelesaikan konflik-konflik internal, sebagaimana dirinya membantu membuka pintu pemikiran inklusif bagi para mahasiswa yang ia ajarkan.

Hal ini semakin ia kukuhkan setelah melihat kondisi kawan-kawan pengajar queer lainnya yang masih terus berjuang mempertahankan karier mereka di lingkungan yang tidak memihak ragam gender & seksual dengan memasang topeng identitas yang tidak sesuai dengan diri mereka sendiri.

Oleh karena itu, Sam sangat berharap dirinya bisa mengenal dan meningkatkan solidaritas dengan kawan-kawan pengajar queer lainnya. Ia menambahkan, “Semoga suatu saat nanti ada forum informal untuk berdiskusi dan saling menguatkan satu sama lain, apalagi dengan guru-guru di tingkat pendidikan TK, SD, SMP, dan SMA.”

Tentunya, Sam juga berharap adanya dobrakkan dari para mahasiswa dan akademisi untuk bersatu demi meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. 

“Salah satu caranya adalah dengan mendorong pemerintah dan media agar dapat lebih banyak memberi kesempatan  kepada kawan-kawan akademisi yang progresif untuk berkarya dan bersuara, serta tidak memberikan panggung untuk orang-orang dan ideologi yang konservatif dan pembenci dalam kurikulum & struktur kampus, serta dalam aturan pendidikan,” ucapnya.

 

*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ