Search
Close this search box.

Pahit, Manis, dan Perjuangan Wirausaha Transpuan

Oleh: Lena Tama*

SuaraKita.org – Berbagai bentuk stigma dan diskriminasi yang kerap dihadapi kawan-kawan transpuan dalam mendapatkan pekerjaan formal memaksa mereka untuk bertahan hidup dengan bekerja pada sektor informal. Namun, keterbatasan akses sumber daya seperti pinjaman modal dan tenaga manusia serta kondisi ekonomi yang tidak stabil kian mempersulit usaha mereka untuk berdikari dengan usaha mereka sendiri.

Meski begitu, kawan-kawan transpuan tetap berjuang mempertahankan usaha mereka. Baik secara individu maupun kolektif, mereka menjalankan beragam bentuk usaha seperti usaha tekstil, makanan dan minuman, salon, dan penata rias. Ada yang berhasil, ada yang gagal, dan ada yang terus membangun wirausaha baru di atas kegagalan usaha mereka sebelumnya.

Hal ini dialami oleh salah satu sosok aktivis transpuan senior, Lenny Sugiharto (64). Selain mendirikan dan menjabat sebagai Direktur Yayasan Srikandi Sejati (YSS), beliau juga merupakan wirausahawan yang telah menjalankan sejumlah usaha selama hampir empat dekade.

Pada tahun 1985, Lenny mendirikan usaha salon dan wedding organizer dengan modal seadanya dan bekal ilmu yang beliau pelajari sendiri. Kedua bisnis tersebut tidak bertahan lama, namun beliau masih menyimpan semua aset usahanya hingga sekarang.

Terkait sulitnya menjalankan usaha tersebut, Lenny berkata, “Usaha seperti salon dan wedding organizer butuh banyak uang untuk berjalan dan melakukan inovasi modern dan unik. Karena saya hanya punya modal ‘dengkul,’ jadi sulit mempertahankannya.”

Selain itu, Lenny juga memaparkan bahwa kesibukannya yang kian menumpuk menyebabkan usaha salon dan wedding organizer tersebut terhenti. Kini, beliau aktif bekerja dalam lembaga serta menjalankan unit usaha lembaga yang masih berjalan hingga saat ini, yaitu Warung Mak Cik.

Asal mula berdirinya Warung Mak Cik
Warung Mak Cik adalah warung makan nasi ayam, ikan, dan soto yang berlokasi di Jalan Buaran I, Klender, Jakarta Timur. Selain berjualan di tempat, Lenny dan YSS juga membuka jasa catering nasi boks untuk acara-acara resmi, seperti pada salah satu program untuk 72 kawan ODHIV yang berjalan dari bulan April-Juli 2024.

Suasana Warung Mak Cik di bagian depan. Foto oleh Mami Lenny.

Wirausaha ini berawal dari sebuah program pelatihan pengelolaan usaha dari ILO (International Labor Organization) yang Lenny pernah ikuti. Pelatihan ini mengajarkan ilmu-ilmu dasar seperti pemilihan lokasi yang strategi, riset pasar, sistem pencatatan, dan pengelolaan SDM.

Namun, pelatihan tersebut tidak memberikan bantuan modal usaha untuk pesertanya. Atas hal ini, muncullah gagasan untuk menciptakan warung makan yang dikelola oleh Lenny dengan modal usaha dari YSS. Dari situlah berdirinya Warung Mak Cik pada tahun 2019.

Pada masa berdirinya Warung Mak Cik, model usahanya sedikit berbeda dari saat ini. Dulu, warung ini sejenis warteg prasmanan yang pembelinya bisa mengambil lauk sendiri. Selain itu, lokasinya dulu berada di titik strategis di pinggir jalan raya daerah Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, sehingga mendatangkan banyak pelanggan.

Makanan-makanan yang Lenny sajikan di Warung Mak Cik pun bervariasi dan populer di kalangan pembeli. Beliau berkata, “Kami bukan cuma menjual lauk warteg biasa, tapi ada juga sop iga, sop Konro Makassar, dan lainnya.”

Selain Lenny, Warung Mak Cik dulu juga dikelola oleh seorang pegawai cisgender ibu rumah tangga dan dua pegawai transpuan. Kehadiran mereka di warung tersebut tidak mempengaruhi penjualan mereka.

“Masyarakat, baik itu pembeli maupun warga lokal, menerima kami dengan baik,” ujar Lenny.

Akan tetapi, pandemi COVID-19 menyebabkan disrupsi besar terhadap Warung Mak Cik. Setelah hampir menyelesaikan masa kontrak bangunan wartegnya selama setahun dan menimbang pendapatan dengan biaya sewa yang akan meningkat, Lenny dan kawan-kawan lainnya memutuskan untuk menghentikan sementara usaha tersebut pada tahun 2020.

Usai masa pandemi COVID-19, Warung Mak Cik bangkit kembali dengan sejumlah perubahan besar dalam strukturnya. Selain jenis usahanya yang kini hanya menjual nasi ayam, ikan, dan soto, lokasinya pun berpindah ke daerah Klender. Kemudian, jumlah pegawainya pun berkurang hingga tersisa Lenny dan seorang cisgender perempuan lansia.

Tantangan dan hambatan kawan-kawan transpuan dalam berwirausaha
Lenny masih menjalankan usaha Warung Mak Cik hingga saat ini, namun muncul kendala-kendala yang menyebabkan terhambatnya perkembangan warung tersebut. Pertama, lokasinya saat ini ada di kawasan penduduk sehingga tidak banyak mendatangkan pelanggan baru.

Kedua, terdapat warung makan sejenis Warung Mak Cik tidak jauh dari lokasi tersebut. Persaingan ini menyebabkan tidak banyaknya pelanggan warung Lenny seperti sebelumnya, terlebih karena identitas gender beliau yang memunculkan stigma.

“Kualitas makanan saya lebih enak dan harganya sama saja dibanding warung sebelah, tapi penduduk lokal tahu kalau saya itu transpuan. Sementara itu, pemilik usaha warung sebelah mempekerjakan anak perempuannya yang masih muda sehingga menarik perhatian pembeli. Itulah yang mereka jadikan nilai jual, tidak seperti warung saya,” ucap Lenny.

Ketiga, Lenny belum bisa mempekerjakan pegawai baru atau berpindah lokasi ke tempat yang lebih strategis karena kurangnya modal usaha untuk mengembangkan Warung Mak Cik.

Kebanyakan kendala ini bukan hanya dirasakan oleh Lenny, namun juga kawan-kawan transpuan lainnya di luar sana. Menurutnya, tidak banyak transpuan yang memiliki wirausaha sendiri akibat stigma, diskriminasi, dan stereotip yang menghambat kesempatan berkarir mereka.

Lenny melanjutkan, “Stigma dan diskriminasi terhadap transpuan itu sangat tinggi di masyarakat kita saat ini. Teman-teman belum punya ilmu berwirausaha yang matang dan sulit mencari modal usaha, ditambah orang-orang memandang jijik ketika kami mau melakukan usaha. Padahal, jangan campurkan identitas kami dengan usaha kami.”

Selain itu, minimnya jumlah pelatihan-pelatihan yang membekali ilmu pengelolaan usaha inklusif seperti yang ILO pernah jalankan juga mengurangi kesempatan kawan-kawan transpuan untuk belajar hal baru. Terlebih, pelatihan-pelatihan yang sudah ada pun tidak berkelanjutan dan hanya berhenti pada ilmu-ilmu dasarnya saja.

Padahal, Lenny percaya bahwa pelatihan pengelolaan usaha akan berdampak besar bagi kawan-kawan transpuan. Ia percaya bahwa, “Selain membekali ilmu, pelatihan tersebut bisa meningkatkan semangat hidup mereka untuk menjalankan usaha dan memikirkan bentuk-bentuk usaha secara kreatif.”

Alhasil, tidak banyak teman-teman transpuan yang berhasil menjalankan unit usaha mereka secara mandiri. Adapun dari mereka yang masih menjalankan wirausaha adalah bentuk usaha kolektif dengan lembaganya, seperti Warung Mak Cik dan sebuah warung pecel lele yang dijalani oleh Yayasan Srikandi Pasundan di Bandung, Jawa Barat.

Dukungan kolektif untuk memajukan wirausaha kawan-kawan transpuan
Lenny yang mengalami kemajuan dan kegagalan dalam berwirausaha selama hampir empat dekade telah belajar banyak hal terkait kondisi kawan-kawan transpuan ketika ingin menjalankan usaha, sehingga beliau memiliki banyak harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Mengingat salah satu sumber dari segala masalah transpuan dalam berwirausaha adalah stigma dan diskriminasi oleh masyarakat, Lenny berharap bisa mematahkan itu semua dan membuktikan bahwa kawan-kawan transpuan bisa berdaya dan berhasil. Karena itulah, beliau terus melakukan aktivisme ini dengan kawan-kawan komunitas sambil menjalankan aktivitasnya di YSS dan Warung Mak Cik.

Selain itu, Lenny berharap pelatihan-pelatihan pemberdayaan transpuan seperti program pengembangan usaha yang dilakukan ILO bisa terus meningkat, bukan hanya dari segi jumlah programnya namun juga keberlanjutan program tersebut.

Terkait hal itu, beliau melanjutkan, “Sebenarnya kita tahu bahwa yang kita latih itu teman-teman dari ekonomi yang lemah. Jadi, selain penambahan kapasitas ilmu dasar, pelatihan ini harus dikemas dalam satu paket lengkap dengan ilmu-ilmu lanjutan seperti permodalan untuk semakin memantik semangat kawan-kawan transpuan.”

Dan terakhir, Lenny berharap ada usaha kolektif dari komunitas transpuan itu sendiri dengan negara untuk memajukan wirausaha mereka.

“Kawan-kawan harus sadar atas kepentingan mereka untuk berjuang bersama. Kalau tidak, maka usaha yang mereka jalani secara individu bisa lebih sulit mereka pertahankan. Tentunya hal ini dibarengi peran dan tanggung jawab negara untuk mendukung pemenuhan HAM kawan-kawan transpuan, seperti hak untuk melakukan usaha dan hak untuk bekerja,” lanjut Lenny.

 

*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ. Penulis juga adalah Top 10 finalist Transchool 2024.