Oleh: Shopie Novia*
SuaraKita.org – Jadi, siapa bilang sukses itu cuma soal kerja cerdas? Ternyata, sebagai transgender, di dunia kerja juga butuh kerja keras. Bukan hanya itu, kerja keras yang satu ini, lebih seperti ‘membuka pintu yang terkunci rapat’ daripada sekadar menyelesaikan tugas atau meeting yang tidak ada habisnya.
Mungkin, bagi kebanyakan orang, dunia kerja itu sudah penuh tantangan seperti deadline, rekan kerja, atau atasan yang mengesalkan. Tetapi coba bayangkan! Jika tantangan tersebut ditambah dengan diskriminasi harian yang hanya bisa dirasakan sebagai seorang transgender.
Jangan salah paham, ya. Menjadi transgender bukanlah pilihan pekerjaan. Bukan juga pekerjaan sampingan yang bisa disambi sambil main TikTok. Menjadi transgender adalah tentang identitas. Identitas yang harus diperjuangkan setiap hari, bahkan di ruang-ruang kantor yang katanya penuh profesionalisme. Karena hai! Di dunia yang katanya sudah ‘sadar’ ini, banyak orang masih berpikir bahwa pekerjaan harus disesuaikan dengan gender yang terlihat. Kalau kamu bukan cisgender yang kebetulan memiliki tubuh dan identitas sesuai dengan yang ‘diharapkan’ masyarakat, maka selamat datang di dunia kerja yang penuh cobaan! Pernah dengar istilah ‘kerja keras’? Di dunia kerja untuk transgender, istilah itu lebih terdengar seperti ‘kerja lembur’.
Kita bicara soal kerja keras untuk bertahan dari komentar nyinyir, kerja keras untuk mendapatkan rasa hormat, dan kerja keras untuk menuntut hak yang seharusnya sama. Pernah ditanya “Apakah kamu sudah operasi?” atau “Kenapa kamu tidak bisa tetap jadi laki-laki/perempuan saja?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah bagian dari kerja keras sehari-hari yang harus dihadapi.
Bukan cuma kerja cerdas, tetapi kerja ekstra untuk tetap eksis di ruang yang tak selalu ramah. Jangan lupa juga! Meskipun sudah kerja keras, kita tetap sering dipandang sebelah mata. Sudah tahu, kan? Bagaimana orang suka menilai dari penampilan? Kalau kamu transgender, kadang penampilan saja belum cukup. Sudah memakai jas dan dasi terbaik sekalipun, tetap saja kadang dicurigai.
“Ini benar profesional atau cuma main-main?” Biasanya, pertanyaan tersebut disertai dengan tatapan yang cukup membuat kamu bertanya, “Apa yang salah dengan bajuku?” Padahal, tidak ada yang salah. Hanya masalah bias, stigma, dan pandangan sempit yang kadang lebih memengaruhi kita.
Ironisnya, terkadang kamu akan dipaksa untuk memilih antara harus tetap menjadi dirimu yang sebenarnya atau ikut saja dalam peran yang dipaksakan agar bisa ‘lebih diterima’ di dunia kerja. Sebagai transgender, pilihan ini tidak hanya sekadar soal ‘tampil beda’, tetapi soal ‘kelangsungan karir’. Bayangkan! Seandainya, kamu terus-menerus dibebani dengan ekspektasi sosial yang membatasi kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Kerja kerasmu, selain harus diakui, juga harus diperjuangkan setiap saat. Bukan cuma masalah ‘bekerja cerdas’, tetapi lebih tepat menjadi bekerja dengan keberanian.
Di sisi lain, dunia kerja juga tak sepenuhnya gelap, kok. Banyak perusahaan yang sudah lebih inklusif dan terbuka terhadap keberagaman identitas gender. Namun, harus diakui, perusahaan seperti itu masih sedikit. Beberapa perusahaan mungkin sudah memiliki kebijakan non-diskriminasi di atas kertas, tetapi di lapangan mungkin lain cerita. Ada banyak cerita tentang para transgender yang harus berjuang lebih keras. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan kesempatan yang sama atau bahkan yang paling sederhana, untuk diakui sebagai manusia yang layak dihargai. Ini bukan cuma soal ‘kerja cerdas’ atau ‘komunikasi efektif’. Ini soal melawan ketidakadilan yang masih sering terjadi.
Tetapi, kita jangan pernah kehilangan semangat, ya. Jika harus memilih antara ‘kerja keras’ atau ‘kerja cerdas’, sebagai transgender, kita seharusnya bisa memilih keduanya. Karena kenyataannya, kita harus lebih keras berusaha agar bisa mendapatkan hal yang seharusnya menjadi hak kita.
Jadi, mungkin bukan soal seberapa pintar kamu, tetapi soal seberapa tangguh kamu dalam bertahan di dunia yang kadang tak terlalu ramah. Selain itu, untuk semua orang yang mungkin belum paham, menjadi transgender bukanlah masalah ‘pilihan’. Namun, menjadi transgender adalah bagian dari diri yang lebih besar. Menjadi transgender juga seharusnya tidak menjadi penghalang untuk bekerja dan berkembang di dunia yang masih sibuk dengan sesuatu di luar tubuh kita.
Jadi, kalau kamu merasa dunia kerja sudah cukup menantang untuk dirimu yang cisgender, coba bayangkan rasanya bekerja dengan satu tangan terikat di belakang hanya karena kamu berbeda. Di dunia kerja untuk transgender, ‘kerja keras’ itu bukan pilihan, tetapi suatu keharusan.
*Penulis adalah Kontributor Suara Kita asala CIlacap. Penulis adalah orang biasa yang suka menulis hal hal luar biasa.