Search
Close this search box.

Bali dan Kesempatan Bekerja Minoritas Gender dan Seksual

Oleh: Lena Tama*

SuaraKita.org – Kelompok ragam gender dan seksual kerap kesulitan mendapatkan pekerjaan formal atau kantoran akibat diskriminasi yang mereka alami, baik ketika hendak melamar pekerjaan ataupun saat sudah bekerja. Akan tetapi, di balik kendala tersebut, masih ada kesempatan berkarir di Indonesia.

Hal ini terlihat dari beberapa individu ragam gender dan seksual yang kini memiliki beragam karier profesional, termasuk Jro Jane Maryam, akrab disapa Jane, yang telah bekerja sebagai wellness coach selama lebih dari 10 tahun untuk kesehatan mental dan kegiatan spiritual.

Sosok transpuan ini membangun kariernya sejak ketika masih tinggal di pulau Jawa hingga ia mulai pindah ke Bali sekitar 5 tahun yang lalu, kemudian perlahan mulai menganut adat istiadat lokal dan membangun karier yang berpusat pada kegiatan-kegiatan spiritual Bali. Hingga kini, ia menjadi tokoh spiritual yang dihormati oleh warga setempat dan memiliki rumah pribadi.

“Kalau boleh saya bilang, seakan takdir membawakan saya ke Bali,” ujar Jane.

Bergantung pada keberuntungan dan penerimaan warga setempat
Faktor keberuntungan akan selalu menjadi penentu seseorang dalam mendapatkan pekerjaan, namun faktor penerimaan warga atau budaya setempat juga sangat penting bagi ragam gender dan seksual. 

Di banyak wilayah, kerap terjadi penolakan dan kekerasan berbasis SOGIESC (sex orientation, gender identity & expression, sex characteristic) yang mengakibatkan kawan-kawan kesulitan mendapatkan atau mempertahankan pekerjaan.

Namun, hal tersebut berbeda di Bali. Berdasarkan pengalaman hidup Jane di Bali selama lebih dari satu dekade, masyarakat Bali cenderung lebih menerima dan terbuka dalam hal SOGIESC. 

Hal ini tercerminkan dari seni tari Bali yang mengenal peran “Liku,” yaitu penari laki-laki yang berpakaian feminim atau perempuan yang berpakaian maskulin. Peran penari Liku sendiri sangat dihormati warga Bali dan penari Liku kerap melakukan pertunjukan tari di pura (candi tempat ibadah masyarakat Hindu) ketika sedang melakukan upacara adat.

“Meski masyarakat Bali tidak mengenal istilah-istilah SOGIESC, mereka menerima kawan-kawan queer secara terbuka,” ucap Jane.

Jro Jane di sebuah pura (sumber: Instagram)

Bentuk penerimaan ini juga mempengaruhi kesempatan kawan-kawan ragam gender dan seksual dalam membangun karir di Bali. Masyarakat yang lebih terbuka juga membuka kesempatan pekerjaan yang lebih besar.

Menurut Jane, sektor pekerjaan yang paling populer di Bali adalah sektor pariwisata yang mencakup sekitar 90% dari total lapangan pekerjaan di Bali, termasuk pemandu wisata yang kerap menjadi salah satu pekerjaan yang populer untuk kawan-kawan ragam gender dan seksual.

Dengan segala bentuk penerimaan tersebut, Jane merasa seakan-akan, “Bali menjadi pelarian untuk teman-teman minoritas yang lelah di Jawa.”

Diskriminasi dan tantangan dalam berkarir di Bali
Meski masyarakat Bali lebih terbuka untuk kawan-kawan ragam gender dan seksual, diskriminasi di Bali tetap terjadi seperti halnya di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Kasus yang paling sering terjadi adalah kawan-kawan transgender sulit mengubah foto KTP mereka di sana seperti, berdasarkan pengalaman seorang kawan transgender.

Akan tetapi, kasus diskriminasi yang lebih sering terjadi justru berkaitan dengan sistem kasta yang masih berlaku di Bali. Jane berkata, “Bali masih menganut sistem kasta seperti Sudra (masyarakat biasa), Waisya (pedagang dan PNS), Satriya (bangsawan dan raja), serta Brahmana (pemuka agama).”

“Namun perlu diingat, bentuk diskriminasi berbasis kasta ini lebih halus dan tidak langsung, ditambah saat ini lebih sering terjadi hanya di daerah perkampungan. Budaya ini juga mulai luntur di perkotaan, sehingga siapapun dengan kekuatan ekonomi dan kemampuan juga dihormati di Bali, terlepas dari kastanya,” lanjut Jane.

Sementara itu, tantangan-tantangan dalam bekerja di Bali lebih merujuk pada bagaimana seseorang bisa menghormati aturan-aturan dalam budaya Bali, seperti tidak mengenakan celana pendek ketika sedang mengunjungi pura atau tidak buang air kecil di pura. Tantangan seperti itu kerap dialami oleh pendatang baru, apalagi bila mereka bekerja di sektor pariwisata.

Bicara tentang sektor pariwisata, Jane juga melihat adanya stereotip terkait bagaimana masyarakat memandang sektor pariwisata menjadi lapangan pekerjaan yang “ideal” untuk kawan-kawan ragam gender dan seksual, seperti bagaimana masyarakat di luar Bali pada umumnya menganggap profesi penata rias atau salon itu untuk transgender.

Menurutnya, “Industri pariwisata juga melihat adanya nilai jual dari keberagaman identitas gender & seksual, apalagi untuk mendatangkan turis-turis mancanegara. Jadi, mau tidak mau, mereka juga harus menerima teman-teman queer.”

Terlepas dari itu, kawan-kawan ragam gender dan seksual masih bisa mencari pekerjaan lainnya selain sektor pariwisata di Bali, selama memiliki kompetensi yang berkaitan dan dapat menemukan pekerjaan tersebut.

Mengharapkan penerimaan yang lebih besar di manapun kita berada
Hidup Jane saat ini adalah hasil dari perjuangannya sebelum ia pindah dari pulau Jawa ke Bali, yang meliputi diskriminasi dan budaya komunitasnya seperti budaya “mami-mami” yang sangat melekat pada komunitas transpuan.

Sejak lama, ia percaya bahwa budaya ini menciptakan sekat-sekat yang membatasi kawan-kawan transpuan sendiri dalam bertahan hidup atau mencari pekerjaan, termasuk dalam profesi pekerja seks.

Akan tetapi, dengan adanya media sosial serta ilmu pengetahuan dan jaringan komunikasi dari beragam komunitas, kawan-kawan transgender bisa lebih bersahaja dalam mencari pekerjaan tanpa terikat pada budaya tersebut.

Hal ini tentunya tanpa melepaskan ikatan yang kuat dengan komunitas masing-masing individu. Jane percaya bahwa teman-teman dan komunitas akar rumput akan sangat dibutuhkan kawan-kawan ketika mereka jatuh dan membutuhkan dukungan, sehingga semua pihak harus membangun solidaritas yang kuat.

Apalagi, penindasan masih kerap terjadi di luar sana. Meski Bali merupakan sebuah pengecualian, kawan-kawan ragam gender dan seksual masih menghadapi diskriminasi dan penolakan di Indonesia, terutama dalam mencari pekerjaan.

Karena itu, Jane berharap bahwa lapangan pekerjaan di Indonesia dapat lebih terbuka untuk kawan-kawan ragam gender & seksual agar bisa mendorong hidup yang lebih sejahtera dan setara di seluruh kalangan masyarakat, tidak pandang di Bali maupun di wilayah lainnya.

“Bukan saya mengajak atau memaksa teman-teman untuk pindah ke Bali. Alangkah baiknya bila kita semua bisa hidup sejahtera di mana pun, karena rumah bagi kita itu beragam bentuk dan tempatnya,” ucap Jane.

 

*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ. Penulis juga adalah salah satu dari finalist Transchool 2024.