Search
Close this search box.

Sejarah Acara Pride di Indonesia: Penuh Warna dan Keberanian

Oleh: Lena Tama*

SuaraKita.org – Walau Indonesia tidak memiliki budaya parade Pride yang kental, komunitas-komunitas minoritas gender dan seksual di berbagai daerah sejak abad ke-20 telah merayakan pesta kebanggaan dengan keunikan mereka masing-masing.

Dede Oetomo, akrab dengan sebutan Oma Dede, adalah aktivis senior di lingkungan minoritas gender dan seksual dari organisasi GAYa Nusantara yang telah menyaksikan beragam jenis pesta kebanggaan yang telah berlangsung dari tahun 1990-an hingga saat ini, walaupun beliau menyebutkan bahwa sejarah pesta kebanggaan di Indonesia telah berlangsung lebih tua dari itu.

Seperti halnya pergerakan minoritas gender dan seksual di Amerika pada tahun 1969 yang dipelopori oleh sosok transgender kulit hitam Marsha P. Johnson, pergerakan minoritas gender dan seksual di Indonesia pun berawal dari gerakan aktivisme sejumlah sosok transgender pada tahun 1960an.

Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia di Klimaxx, Jakarta. Foto diambil tahun 1994 oleh Florens melalui situs https://qiarchive.org/en/

Usai pergerakan ini, kelompok-kelompok transgender dan gay di Indonesia mulai aktif mengadakan pesta-pesta perayaan kebanggan seperti karaoke lip synch, drag show, dan kontes-kontes busana. Tradisi acara yang dulunya berawal di wilayah-wilayah tertentu seperti Bogor, Malang, dan Yogyakarta ini mulai berkembang dan menyebar ke berbagai wilayah lainnya di Indonesia – semua ini tanpa menggunakan istilah “Pride March.”

“Ada yang bisa memperdebatkan bahwa gerakan queer yang pertama di Asia Tenggara itu di Indonesia,” ujar Dede.

Detik awal perayaan Pride di Indonesia
Akan tetapi, Indonesia pun pada akhirnya membuat sejarah dengan mengadakan pesta Pride yang pertama kali pada tahun 1999 di Pusat Kebudayaan Perancis di Surabaya. Oma Dede menceritakan pengalamannya ketika berpartisipasi dalam acara Pride tersebut yang sempat ditolak oleh Kedutaan Besar Perancis hingga akhirnya acara tersebut berlangsung di halaman depan rumah direkturnya.

Terlepas dari kendala itu, pesta Pride tersebut tetap berlangsung dengan meriah. Teman-teman minoritas gender dan seksual mengadakan forum diskusi, pameran foto-foto, dan penampilan karaoke di panggung oleh artis-artis transgender.

Dede mengatakan, “Pesta Pride ini berlangsung tanpa adanya konfrontasi dari masyarakat. Pers pun memberitakan kami dengan segala hormat dan menuliskan bahwa, ‘Teman-teman gay, lesbian, dan transgender merayakan hari kebanggaan di Pusat Kebudayaan Perancis.’”

Selain acara tersebut, era reformasi memunculkan banyak organisasi minoritas gender dan seksual di Indonesia pada tahun 2000an yang juga dibarengi dengan bertambahnya perayaan kebanggaan di berbagai wilayah di Indonesia.

Acara Hulu Cafe Drag Final di Bali. Foto diambil tahun 1999-2001 oleh Yayasan Gaya Dewata melalui situs https://qiarchive.org/en/

Kemudian, Indonesia membuat sejarah baru pada awal tahun 2010-an dengan adanya acara Pride March di Bundaran HI di Jakarta ketika sedang ada Car Free Day. Seperti Pride March di luar negeri, teman-teman minoritas gender dan seksual mengibarkan bendera pelangi dan menyerukan perdamaian dan cinta tanpa adanya konfrontasi dari masyarakat umum.

Acara-acara perayaan kebanggan tersebut juga inklusif dan terbuka untuk umum, termasuk dengan teman-teman minoritas gender dan seksual yang juga disabilitas. Meski belum ada partisipasi dari teman-teman disabilitas di Surabaya, Dede berkata bahwa partisipasi mereka di wilayah lain lebih banyak dan teman-teman akan memfasilitasi mereka sebaik mungkin.

Inklusivitas ini juga menyebar pada teman-teman minoritas gender dan seksual ini sendiri. Menurut observasi Dede, semakin banyak partisipasi transpria dan lesbian di era reformasi ini, tidak seperti era sebelumnya yang pada masa itu pergerakannya masih didominasi oleh gay dan transpuan.

Kendala, renungan, dan penyesuaian di masa kini
Akan tetapi, era modern di masa kini menyulitkan gerakan perayaan kebanggaan untuk teman-teman minoritas gender dan seksual. Meski ada sejumlah perayaan kebanggaan yang masih terbuka untuk umum seperti acara di Yogyakarta pada tahun 2023 dan 2024, kebanyakan komunitas memilih untuk mengadakan perayaan secara tertutup.

Walau begitu, Dede masih berharap adanya perayaan kebanggaan yang masih terbuka dan berani. Menurut beliau, perayaan kebanggaan akan selalu relevan sepanjang masa karena tidak semua masyarakat itu jahat dan pasti ada banyak yang mau menerima teman-teman minoritas gender dan seksual bila lebih terbuka.

“Sebenarnya, acara virtual atau tertutup pun tidak masalah. Asalkan orang-orang luar tahu, itu sudah jadi kebahagiaan kita dalam rangka penerimaan masyarakat,” ujar beliau.

Selain itu, pesta kebanggaan tidak selalu menjadi cara utama menuju pendekatan dengan masyarakat. Menurut Dede, pendekatan bisa juga melalui cara lain seperti berpartisipasi dalam Women’s March dan demo anti Revisi RUU Penyiaran, asalkan pandai menyusup dalam gerakan-gerakan aktivisme karena situasi memaksa teman-teman untuk menjadi pintar sebagai penyintas.

Makna dan harapan untuk perayaan kebanggaan di Indonesia
Pesta kebanggaan adalah satu bentuk aktivisme yang penting karena nilai sejarah dan maknanya untuk teman-teman minoritas gender dan seksual. Menurut pengalaman Dede, acara seperti itu juga mendidik komunitas itu sendiri, seperti adanya WarCil (Waria Cilik) sebagai penduk pendidikan untuk teman-teman transgender muda di Surabaya. Oleh karena itu, beliau berharap perjuangan ini terus berlanjut.

Kemudian, Dede juga berharap agar teman-teman minoritas gender dan seksual ikut terbuka dalam pergerakan sosial dalam rangka penerimaan kepada masyarakat umum, tidak pandang bila aktivisme tersebut bersangkutan pada isu minoritas gender dan seksual ataupun yang lainnya.

“Kita harus menunjukkan bahwa kita juga peduli dengan nasib orang lain, baik itu teman-teman queer disabilitas maupun teman-teman kelompok lain, termasuk masyarakat umum,” ujar beliau.

 

*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ.